Alarm Gelembung Bunga Utang
Defisit anggaran menyebabkan pemerintah mencari sumber pembiayaan eksternal lewat utang. Gelembung bunga utang yang terus membesar patut diwaspadai karena dikhawatirkan akan membebani kas negara di masa depan.
Konsolidasi fiskal menjadi terminologi yang belakangan terus digaungkan sebagai target capaian pengelolaan keuangan negara mulai tahun depan.
Gaung ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 yang menginstruksikan defisit anggaran kembali paling tinggi sebesar 3 persen dari produk domestik bruto pada 2023.
Momentum konsolidasi fiskal terasa penting setelah dalam dua tahun terakhir di periode pandemi Covid-19, posisi defisit atau selisih antara realisasi belanja negara dan pendapatan negara cukup tinggi.
Tekanan pandemi Covid-19 di tahun 2020 membuat pemerintah menelurkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Defisit anggaran di tahun pertama pandemi Covid-19 mencapai Rp 947,7 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
Setahun berselang, dalam APBN 2021, defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7 persen dari PDB, turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan proyeksi pendapatan negara sebesar Rp 1.743,65 triliun dan anggaran belanja sebesar Rp 2.750,03 triliun. Namun hingga akhir tahun, defisit anggaran bisa ditekan menjadi 4,65 persen PDB, lebih rendah dari target yang dicanangkan.
Adapun tahun ini menjadi tahun terakhir defisit fiskal boleh berada di atas 3 persen. Pemerintah memasang target defisit sebesar Rp 849,2 triliun atau setara dengan 4,5 persen PDB. Besaran ini lebih rendah dari perkiraan di awal tahun dengan defisit diperkirakan akan sebesar Rp 868 triliun setara 4,85 persen PDB.
Di kala pandemi, di saat penerimaan negara dari sektor pajak tidak bisa diandalkan, pemerintah terpaksa menarik utang dalam jumlah relatif besar guna mencukupi anggaran belanja negara yang dipakai untuk penanggulangan dampak Covid-19.
Otoritas fiskal mau tidak mau mengandalkan utang untuk membiayai tingginya defisit anggaran beberapa tahun terakhir. Di kala pandemi, di saat penerimaan negara dari sektor pajak tidak bisa diandalkan, pemerintah terpaksa menarik utang dalam jumlah relatif besar guna mencukupi anggaran belanja negara yang dipakai untuk penanggulangan dampak Covid-19.
Utang yang ditarik oleh pemerintah sejak 2020 untuk penanggulangan dampak Covid-19 bakal terakumulasi menjadi bunga utang yang harus dibayarkan pada tahun-tahun mendatang. Risiko yang muncul dari tingginya rasio bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat adalah terpangkasnya alokasi anggaran untuk belanja-belanja yang lebih produktif dan berdampak langsung pada ekonomi riil.
Oleh karena itu, pemangku kebijakan patut mewaspadai membengkaknya risiko beban utang pada era konsolidasi fiskal tahun depan.
Kementerian Keuangan mencatat, prognosis pembayaran bunga utang pada tahun ini senilai Rp 403,87 triliun. Sementara belanja pemerintah pusat diestimasi mencapai Rp 2.370 triliun. Dengan demikian, rasio belanja bunga utang terhadap belanja negara berada di angka 17,04 persen. Adapun pada tahun 2021, rasionya mencapai 17,16 persen.
Baca juga: Beban Bunga Utang
Rasio bunga utang terhadap belanja negara dalam dua tahun terakhir tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan posisi tahun 2020 atau tahun pertama pandemi Covid-19 yang hanya 12,12 persen. Pergerakan kenaikan rasio ini mencerminkan bahwa beban dari utang yang ditarik oleh pemerintah dalam rangka menangani pandemi Covid-19 makin memberatkan keuangan negara.
Rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara pun terpantau terus menjulang. Pada tahun ini, proyeksi pendapatan negara mencapai Rp 2.266,2 triliun sehingga rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara mencapai 17,82 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 17,14 persen
Dengan demikian, tatkala pemerintah dituntut untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen PDB tahun depan, maka beban belanja bunga utang akan terasa makin memberatkan.
Tak heran jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan tahun 2021 menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah sudah di tingkat yang cukup berisiko.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, BPK mencatat sebagian besar utang pemerintah akan jatuh tempo pada 2022-2031. Adapun jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) dalam rangka pelaksanaan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara pemerintah dan Bank Indonesia terjadi dalam kurun waktu 2025-2030.
Kemampuan pemerintah dalam membayar tanggung jawab utang juga makin berat, lantaran 13,73 persen utang saat ini akan jatuh tempo sampai dengan 2023.
Untuk jangka menengah, 40,08 persen utang akan jatuh tempo sampai dengan 2026. Kondisi ini, menurut BPK, dapat meningkatkan risiko kesinambungan keuangan pemerintah terkait dengan kemampuan bayar atas utang jatuh tempo tersebut.
Baca juga: BPK Ingatkan Risiko Utang dan Beban Bunga Utang
Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan risiko kesinambungan pembiayaan pembangunan mengingat ada kemungkinan sejumlah program pemerintah tidak dapat dibiayai karena dananya digunakan untuk pembayaran utang jatuh tempo.
Kendati demikian, di tengah gelembung bunga utang yang terus membesar, risiko kredit Indonesia dianggap terkendali karena eksposur utang pemerintah, dilihat dari rasio utang terhadap PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara maju, negara ASEAN, dan negara anggota G20.
Rasio utang Indonesia terhadap PDB, berdasarkan proyeksi IMF pada April 2022 yakni mencapai 42,71 persen di akhir 2022. Angka itu lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat yang sebesar 125,58 persen, Perancis (112,58 persen), Jepang (262,54 persen), Thailand (62,68 persen), Malaysia (69,25 persen), India (86,9 persen), dan Brasil (91,89 persen).
Selain dari rasio utang yang relatif rendah, credit default swap (CDS) lima tahun Indonesia juga mengalami tren penurunan menjadi berada di posisi 117 per 27 Juli 2022, setelah sempat menyentuh level tertinggi di 160,45 pada 14 Juli 2022. Sebagai informasi, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara.