Utang yang kian besar sebenarnya akan mengurangi efektivitas belanja negara. Sebab, semakin besar utang, semakin besar pula bunga utang yang harus dibayar sehingga menggerus porsi belanja untuk pembangunan.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Tahun 2022 merupakan tahun terakhir pemerintah diperbolehkan belanja besar-besaran hingga defisit anggaran melampaui 3 persen terhadap produk domestik bruto guna menangani pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
UU No 2/2020 tersebut menyebutkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) boleh dilebarkan melampaui ambang batas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama kurun 2020-2022. Selama UU ini belum direvisi, mulai 2023 defisit anggaran harus kembali maksimal 3 persen PDB.
Pemerintah pun mencoba memanfaatkan kesempatan pada tahun terakhir tersebut seoptimal mungkin. Berdasarkan Rancangan APBN 2022, pemerintah menetapkan defisit anggaran sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen PDB. Defisit tersebut untuk menyokong belanja negara yang ditargetkan mencapai Rp 2.708,7 triliun.
Seperti halnya tahun 2020 dan 2021, pemerintah masih akan mengalokasikan anggaran yang besar untuk penanganan Covid-19 serta percepatan pemulihan ekonomi nasional dan reformasi struktural. Terkait hal itu, pemerintah menetapkan sejumlah sektor strategis, antara lain kesehatan, perlindungan sosial, subsidi dan dukungan UMKM, pendidikan, infrastruktur, ketahanan pangan, serta teknologi informasi.
Di sektor kesehatan, pemerintah akan melanjutkan penanganan Covid-19, penguatan kualitas kesehatan, dan reformasi sistem kesehatan dengan total anggaran mencapai Rp 255,3 triliun.
Untuk mendongkrak konsumsi masyarakat sebagai pendorong utama perekonomian, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlinsos) sepanjang hayat sebesar Rp 427,5 triliun dengan rincian Rp 153,7 triliun merupakan program perlinsos Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Rp 273,8 merupakan program perlinsos non-PEN.
Sementara ancaman krisis pangan yang menghantui dunia akan diantisipasi dengan berbagai program ketahanan pangan, seperti peningkatan produksi, revitalisasi sistem ketahahan pangan, dan pengembangan Food Estate.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga terus memacu program yang menjadi trademark-nya, yakni pembangunan infastruktur, yang sempat tertahan pada 2020 akibat pandemi. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar Rp 384,8 triliun digelontorkan pada tahun depan, antara lain untuk pembangunan jalan tol trans-Sumatera, jalur kereta api sepanjang 6.624 km, jalan baru sepanjang 205 km, dan enam bandara baru.
Dengan belanja yang ekspansif tersebut, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 bisa mencapai sekitar 5,3 persen.
Utang
Untuk membiayai defisit dan pembiayaan lainnya pada 2022, pemerintah berencana menerbitkan surat utang yang dikenal dengan Surat Berharga Negara (SBN) secara neto sebesar Rp 991,3 triliun, tak berbeda jauh dengan proyeksi penerbitan SBN tahun 2021 yang sebesar Rp 992,8 triliun.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 973,6 triliun akan digunakan untuk membiayai defisit anggaran dan investasi. Sementara sisanya sebesar Rp 17,7 triliun akan digunakan untuk melunasi pinjaman luar negeri.
Dengan tambahan utang tersebut, posisi utang Indonesia pada akhir 2022 diperkirakan mencapai Rp 8.075 triliun atau 45,12 persen PDB. Rasio utang ini melonjak tinggi dibandingkan pada akhir 2014 yang hanya 24,68 persen PDB.
Utang yang kian besar sebenarnya akan mengurangi efektivitas belanja negara. Sebab, semakin besar utang, semakin besar pula bunga utang yang harus dibayar sehingga menggerus porsi belanja untuk pembangunan.
Berdasarkan Rancangan APBN 2022, proyeksi beban bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 405,86 triliun. Dengan proyeksi belanja negara sebesar Rp 2.708,7 triliun, rasio beban bunga utang terhadap belanja negara sebesar 15 persen, terbesar dalam sejarah Indonesia.
Ini berarti porsi belanja negara yang digunakan untuk membayar bunga utang semakin besar. Sebaliknya, porsi belanja untuk program pembangunan semakin mengecil.
Sementara apabila beban bunga utang dibandingkan dengan pendapatan negara yang diproyeksikan sebesar Rp 1.840,7 triliun pada 2022, rasionya akan mencapai 22 persen, juga terbesar sepanjang sejarah. Artinya, lebih dari seperlima penerimaan negara hanya untuk membayar bunga utang.
Kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk terus berutang dalam jumlah yang semakin besar setiap tahunnya agar tetap bisa membayar bunga utang dan melanjutkan pembangunan infrastruktur. Tanpa diimbangi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kendali yang kuat, Indonesia bisa terperangkap dalam kubangan utang.