Pasar Masih Berkembang, Operator Telekomunikasi Gencar Cari Investasi Baru
Operator telekomunikasi seluler berupaya menggaet investasi baru agar bisa terus membangun infrastruktur hingga berekspansi model bisnis yang juga baru.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
Operator telekomunikasi PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) mengumumkan penawaran umum untuk Obligasi Berkelanjutan II XL Axiata Tahap I tahun 2022 dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan III XL Axiata Tahap I Tahun 2022 dengan total nilai Rp 3 triliun. Penerbitan ini merupakan bagian dari program umum berkelanjutan obligasi dan sukuk dengan target masing-masing senilai Rp 5 triliun.
Direktur & Chief Finance Officer XL Axiata Budi Pramantika, Rabu (27/7/2022), di Jakarta, mengatakan, setiap obligasi ataupun sukuk yang ditawarkan terdiri dari empat seri. Seri A memiliki jangka waktu tiga tahun, kemudian Seri B lima tahun, Seri C tujuh tahun, dan Seri D 10 tahun. Imbal hasil yang ditawarkan 6,65-8,95 persen. Obligasi dan sukuk ijarah yang diterbitkan itu telah memperoleh peringkat AAA dari PT Fitch Ratings Indonesia.
XL Axiata melaksanakan penawaran umum obligasi dan sukuk mulai 27 Juli 2022 sampai dengan 10 Agustus 2022. Sementara penjatahan akan dilakukan pada 26 Agustus dan mencatatkan di Bursa Efek Indonesia pada 31 Agustus 2022.
”Situasi makroekonomi global dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merupakan sesuatu yang tidak bisa kami kontrol karena terkait dengan banyak faktor. Dalam menjalankan bisnis, kami telah mempertimbangkan peluang dan risiko,” ujar Budi.
Mengenai peruntukan, Budi menyampaikan, dana hasil dari penawaran itu setelah dikurangi biaya emisi akan digunakan seluruhnya oleh perusahaan untuk membiayai belanja modal perluasan infrastruktur jaringan. Secara spesifik, dia menyebutkan, 51 persen dana akan digunakan membeli radio dan interface peralatan transmisi pemancar dan 49 persen dana untuk membeli transmisi kabel fiber optik.
”Kami ingin memperkuat konektivitas jaringan 4G LTE dan 5G sehingga layanan internet ke pelanggan semakin cepat,” kata Budi.
Sementara itu, kabar perusahaan teknologi raksasa asal China, Alibaba, akan berinvestasi di operator telekomunikasi seluler PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) kembali mencuat. Mengutip DealStreetAsia.com, Alibaba dikabarkan siap berinvestasi hingga 100 juta dollar AS ke operator telekomunikasi yang merupakan bagian dari Grup Sinarmas tersebut.
Alibaba menilai rencananya itu tepat karena Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi penduduk besar. Sinarmas juga dinilai sebagai mitra bisnis strategis karena memiliki berbagai lini bisnis, mulai dari sektor teknologi, agrobisnis, properti, keuangan, hingga kertas. Kabar ini sebenarnya telah berembus sejak akhir 2021. CEO Smartfren Merza Fachys saat dikonfirmasi hanya menyebut belum ada info resmi yang akan dikeluarkan perusahaan terkait kabar itu.
Di luar aksi kedua operator telekomunikasi seluler itu, pada akhir Agustus 2021, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (Mitratel) telah melakukan kesepakatan pengalihan kepemilikan 4.000 menara pemancar milik Telkomsel. Tahun sebelumnya, Telkomsel telah mengalihkan kepemilikan 6.050 unit menara pemancar kepada Mitratel.
Dengan demikian, sampai akhir 2021, total menara pemancar Telkomsel yang dijual ke Mitratel mencapai 10.050 unit. Sebagai tindak lanjut aksi itu, Telkomsel akan menyewa menara-menara pemancar tersebut dari Mitratel.
Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam mengatakan, perusahaan ingin konsisten menjalankan portofolio bisnis digital. Keputusan perusahaan kepemilikan menara pemancar kepada Mitratel adalah wujud keseriusan Telkomsel untuk berkecimpung di bisnis digital.
”Telkomsel akan semakin memiliki lebih banyak sumber daya perusahaan yang dapat diarahkan untuk terus membuka peluang dan kesempatan dalam menguatkan ekosistem gaya hidup digital masyarakat Indonesia,” ujar Hendri dalam siaran pers.
Lebih jauh, kata Hendri, Telkomsel telah mendirikan anak perusahaan Indico yang fokus ke bisnis digital. Saat ini, Indico telah membawahi tiga perusahaan rintisan bidang teknologi digital atau start up, yaitu Fita, Kuncie, dan Majamojo. Fita bergerak di aplikasi layanan teknologi kesehatan, sedangkan Kuncie merupakan aplikasi layanan pendidikan. Adapun Majamojo bergerak di bidang penerbitan dan pengembangan konten gim.
”Kami pun telah membentuk anak perusahaan khusus di bidang modal ventura, yaitu Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TMI sudah menyuntikkan pendanaan ke sejumlah start up, seperti Kredivo, SiCepat, dan Halodoc,” kata Hendri.
Konvergensi
Menurut Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Institut Teknologi Bandung Ian Josef Matheus Edward, di dalam grup Sinarmas telah ada bisnis telekomunikasi seluler (Smartfren), jaringan tetap pita lebar (Moratelindo), dan menara pemancar (PT Inti Bangun Sejahtera Tbk). Lini bisnis lainnya yang dia nilai belum tergarap optimal adalah pusat data.
Alibaba dengan Alibaba Cloud termasuk empat besar penyedia layanan komputasi awan di pasar global. Ketiga penyedia lainnya yaitu AWS milik Amazon, Google Cloud, dan Azure milik Microsoft. Operator telekomunikasi di dunia sedang berlomba-lomba bekerja sama dengan mereka. Dengan bekerja sama menyediakan layanan komputasi awan, operator telekomunikasi hanya memerlukan biaya operasional.
”Industri telekomunikasi di Indonesia akan mengarah ke bisnis konvergensi. Operator telekomunikasi seluler, khususnya, nantinya bukan hanya berkecimpung di bisnis layanan seluler. Mereka bisa jadi terjun ke bisnis pusat data hingga konten internet,” kata Ian.
Analis pasar modal dari MNC Sekuritas, Andrew Sebastian Susilo, berpendapat, sejumlah emiten telekomunikasi sedang merambah dan memperkuat bisnis pusat data, seperti Telkom. Ini sejalan dengan konsumsi data internet yang membesar sejak pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 dan tren bekerja dari mana saja. Di luar fenomena itu, industri telekomunikasi seluler tengah mempersiapkan penggelaran komersial layanan 5G yang lebih berskala besar.
”Semuanya itu adalah prospek yang menarik bagi investor asing,” ujar Andrew.
Secara terpisah, Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, industri telekomunikasi di Indonesia masih sangat dinamis, mencari struktur bisnis yang tepat dan kuat untuk jangka panjang. Proses akuisisi, merger, investor baru masuk, dan investor lama keluar dia anggap sebagai bagian dari mencari keseimbangan struktur pasar.
Adanya investor asing dan perusahaan teknologi baru masuk ke industri telekomunikasi nasional akan berdampak positif, misalnya peningkatan layanan kepada konsumen dengan harga yang lebih terjangkau.
”Pasar layanan telekomunikasi di Indonesia itu besar. Masih bisa tetap berkembang. Oleh karena itu, kebutuhan kapasitas infrastruktur jaringan telekomunikasi akan terus naik,” kata Dendi.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, produk domestik bruto sektor informasi komunikasi tumbuh 7,14 persen pada triwulan I-2022. Sementara pada triwulan I-2021, produk domestik bruto sektor informasi komunikasi tumbuh 8,72 persen.