Anggaran 2023 Dialokasikan untuk Belanja Produktif dan Subsidi Tepat Sasaran
Pemerintah berencana mengembalikan harga bahan bakar minyak dan listrik secara bertahap ke harga keekonomiannya. Dengan demikian, subsidi energi bisa ditekan dan belanja diharapkan bisa lebih produktif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 didesain lebih efektif dan tepat sasaran, terutama terkait subsidi energi. Pasalnya, mulai tahun depan, pemerintah akan lebih ketat dalam menggunakan anggaran belanja negara guna mengejar target defisit fiskal di bawah 3 persen produk domestik bruto.
Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan dalam ”Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2023”, Senin (25/7/2022), menilai, pemberian subsidi seperti bahan bakar minyak (BBM) dan listrik belum efisien karena banyak masyarakat mampu yang ikut menikmati subsidi tersebut.
Kementerian Keuangan akan terus mendorong belanja produktif dengan subsidi yang tepat sasaran. Subsidi BBM dan subsidi listrik yang seharusnya hanya untuk rakyat miskin dan kelompok yang membutuhkan, sayangnya, saat ini mampu diakses kelompok menengah ke atas,” kata Rofyanto.
Kementerian Keuangan akan terus mendorong belanja produktif dengan subsidi yang tepat sasaran. Subsidi BBM dan subsidi listrik yang seharusnya hanya untuk rakyat miskin dan kelompok yang membutuhkan, sayangnya, saat ini mampu diakses kelompok menengah ke atas.
Pemerintah, tambahnya, secara bertahap akan mengembalikan harga BBM dan listrik ke harga keekonomiannya. Dengan demikian, belanja negara bisa lebih produktif dan subsidi energi bisa lebih tepat sasaran. Sementara dari sisi belanja, pemerintah saat ini tengah memperbaiki efektivitas dan efisiensi belanja negara.
Rofyanto memastikan pemerintah tetap berupaya menjaga belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Tentu harapannya belanja tetap terjaga untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian, termasuk untuk merespons dan memperkuat pemulihan ekonomi.
”Jadi, kita harapkan, dengan upaya bersama memperkuat Undang-Undang APBN, kita tetap agile, responsif menghadapi ketidakpastian. Kita bisa bersama-sama mengarungi tahun 2023 tetap dalam kondisi baik dan tetap terjaga pemulihan ekonomi,” ujar Rofyanto.
Pada tahun ini, pemerintah secara total menggelontorkan dana untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 520,4 triliun. Anggaran itu digunakan untuk menyubsidi BBM, listrik, dan elpiji bersubsidi (kemasan 3 kg). Dalam RAPBN tahun 2022, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi energi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun sebelum akhirnya alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi ditambah sebanyak Rp 349,9 triliun.
Pendapatan negara pada tahun 2023 diperkirakan mencapai kisaran Rp 2.255,5 triliun hingga Rp 2.382,6 triliun atau 11,28-11,76 persen dari produk domestik bruto (PDB). Adapun belanja negara tahun 2023 didesain pada kisaran antara Rp 2.818,1 triliun dan Rp 2.979,3 triliun atau 14,09-14,71 persen dari produk PDB. Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pusat, yaitu Rp 2.017 triliun hingga Rp 2.152 triliun, serta transfer ke daerah berkisar Rp 800 triliun hingga Rp 826 triliun.
Tekan defisit
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata memastikan biaya operasional pemerintah tahun depan akan dikendalikan supaya tetap efisien. Anggaran betul-betul akan lebih dialokasikan pada belanja-belanja produktif. Pada tahun 2023, pagu indikatif untuk belanja kementerian dan lembaga diperkirakan akan mencapai Rp 977,1 triliun.
”Tahun depan, momentum untuk menjaga pemulihan ekonomi tetap dijaga dengan dukungan anggaran pemerintah. Namun, pada saat yang sama, APBN juga mulai disehatkan dengan defisit yang dikendalikan di bawah 3 persen,” ujarnya.
Isa pun memastikan agar RAPBN pada 2023 kembali didesain menggunakan Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sebelumnya, dalam rangka merespons gejolak dan melindungi masyarakat dari pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Undang-undang itu ditetapkan pada 16 Maret 2020 dan diundangkan dua hari kemudian.
Keberadaan UU Nomor 2 Tahun 2020 membuat pemerintah dapat memperlebar defisit anggaran lebih dari 3 persen dari PDB sehingga otoritas fiskal tetap bisa menggelontorkan sejumlah insentif fiskal untuk pemulihan ekonomi di tengah tingginya belanja negara untuk bidang kesehatan dan perlindungan sosial.
”Sejak April 2020 hingga 2022, RUU APBN didesain berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020. Kondisi tersebut menjadi semacam pengecualian untuk periode penanganan pandemi Covid-19. UU ini senjata yang digunakan pemerintah untuk merespons serangan pandemi Covid-19,” ujar Isa.
Dengan kembali menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2003 sebagai pedoman keuangan negara, pemerintah diamanatkan untuk mengatur batas defisit APBN 2023 harus di bawah 3 persen dari PDB mulai tahun depan. Oleh karena itu, kas negara harus dapat dikelola dengan kredibel, efisien, dan efektif.
Secara rinci, asumsi dasar ekonomi makro dalam RAPBN 2023 yang disepakati pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meliputi pertumbuhan ekonomi di rentang 5,3 persen hingga 5,9 persen, inflasi di kisaran 2-4 persen, serta nilai tukar rupiah di kisaran Rp 14.300 per dollar AS hingga Rp 14.800 per dollar AS.
Sementara itu, target pembangunan yang dipatok dalam RAPBN 2023 di antaranya adalah tingkat kemiskinan berada di level 7,5-8,5 persen, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,3-6 persen, rasio gini di rentang 0,375-0,378, nilai tukar petani 105-107, serta nilai tukar nelayan 107-108.
Risiko eksternal
Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, berpendapat, postur makro fiskal 2023 akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain terkait situasi eksternal akibat perang Rusia-Ukraina seperti kenaikan harga energi dan komoditas, tekanan inflasi dari luar, serta penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. Mutasi virus Covid-19 juga masih menjadi tantangan global tahun depan kendati trennya turun.
Oleh karena harga energi dunia naik, subsidi BBM di Indonesia terkerek naik. Situasi itu menambah tekanan fiskal. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global tertekan dan terancam resesi karena dampak perang. Dampaknya, kinerja ekspor Indonesia dan sumber penerimaan pajak tertekan, sementara pasokan input yang diimpor Indonesia naik.
”Situasi itu jadi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah untuk mewujudkan target defisit 3 persen (PDB) tahun 2023. Pemerintah menghadapi dilema, terutama terkait subsidi BBM yang menekan fiskal, tetapi di sisi lain pemerintah menghadapi tekanan politik jika mencabut subsidi itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menilai perekonomian Indonesia dalam kondisi baik. Hal itu terindikasi dari sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, dan tingkat inflasi. Inflasi Indonesia per Juni 2022 mencapai 4,35 persen secara tahunan, sedangkan pertumbuhan ekonomi per triwulan I-2022 mencapai 5,01 persen. Adapun neraca perdagangan surplus 26 bulan berturut-turut.