Kendati jumlah penduduk miskin terus berkurang sejak September 2020, angka kemiskinan rentan naik lagi di tengah gejolak harga pangan dan energi tahun ini. Bantuan sosial diharapkan efektif sebagai peredam.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penduduk miskin cenderung turun sejak September 2020. Kendati demikian, jumlahnya rentan naik lagi di tengah gejolak harga pangan dan energi. Pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah meredam ketimpangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk. Angka itu turun dibandingkan dengan Maret 2021 yang tercatat 27,54 juta penduduk miskin (10,14 persen) atau September 2020 yang tercatat 27,55 juta orang (10,17 persen).
Sementara itu, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur dengan rasio gini justru meningkat. Rasio gini per Maret 2022 mencapai 0,384 poin, naik dari posisi September 2021 yang 0,381 poin. Rasio gini menggunakan angka 0-1, makin tinggi nilai rasio, makin tinggi ketimpangan yang terjadi antarpenduduk.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan, berlanjut atau tidaknya tren penurunan kemiskinan di Indonesia akan sangat bergantung pada pergerakan harga pangan dan energi sebagai dua kebutuhan utama masyarakat di sisa tahun 2022.
”Saat inflasi naik, daya beli masyarakat semakin tertekan. Kondisi ini berpotensi meningkatkan jumlah orang yang dikategorikan sebagai penduduk miskin,” kata Yusuf saat dihubungi pada Selasa (19/7/2022).
Menurut dia, peluang rasio gini meningkat ke depan masih sangat terbuka, sejalan dengan potensi kenaikan harga bahan pokok yang terkerek oleh inflasi global. Selain pengaruh inflasi dan daya beli, level ketimpangan juga bergantung pada kemampuan masyarakat golongan menengah bawah dalam menghasilkan pendapatan.
”Upaya untuk memperkecil ketimpangan bergantung juga pada bagaimana pemerintah mendorong penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Di luar upaya menekan ketimpangan, dia melihat jumlah orang yang masih berada dalam kategori rentan dan hampir miskin juga relatif besar. Kondisi ini membuat sedikit saja guncangan yang mengganggu daya beli timbul, masyarakat yang berada dalam kategori sangat rentan bisa masuk ke kategori miskin.
Pergerakan angka kemiskinan di sisa tahun ini juga akan dipengaruhi oleh kuatnya penyaluran bantuan pemerintah. Dengan masih longgarnya ruang fiskal, kata Yusuf, pemerintah bisa meningkatkan stimulus konsumsi apabila inflasi naik hingga melebihi target pemerintah, yakni 2-4 persen.
Dinilai membaik
Dalam keterangan tertulis, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, meskipun rasio gini meningkat, mengacu Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia masuk ke dalam kategori ketimpangan yang rendah. ”Perkembangan program Pemulihan Ekonomi Nasional membuat tingkat pengangguran membaik dari 6,49 persen pada Agustus 2021 menjadi 5,83 persen per Februari 2022,” ujarnya.
Kebijakan lain yang dinilai cukup krusial dalam menjaga daya beli masyarakat adalah subsidi dan kompensasi energi untuk menahan harga jual energi domestik. Menurut Febrio, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengambil peran penting sebagai shock absorber (peredam) kenaikan harga komoditas global.
Tahun ini Kementerian Keuangan menambah alokasi subsidi dan kompensasi energi Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi itu terdiri dari tambahan untuk subsidi BBM, elpiji, dan listrik Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) Rp 275 triliun.
Sebelumnya, dalam APBN tahun 2022, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran subsidi Rp 134 triliun dan kompensasi Rp 18,5 triliun. Dengan perubahan itu, anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2022 menjadi Rp 502,4 triliun.
Febrio menambahkan, jika tekanan harga komoditas global dibiarkan tertransmisi pada harga-harga domestik, inflasi Indonesia kemungkinan akan setinggi inflasi di mayoritas negara dunia sehingga bisa berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan. ”Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan harga jual energi domestik jadi sangat krusial untuk mencegah naiknya angka kemiskinan,” ujarnya.
Ke depan, lanjut Febrio, pemerintah akan terus berupaya menjaga keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional sehingga akan menciptakan kesempatan kerja baru. Upaya menjaga kesehatan fiskal juga cukup krusial sehingga dapat berperan optimal sebagai peredam gejolak sehingga masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan, tetap terlindungi.
”Pemerintah akan terus meningkatkan kualitas dan efektivitas belanja serta memperkuat program-program yang memberikan perlindungan pada masyarakat,” kata Febrio.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menegaskan, selain pergerakan harga energi, inflasi pangan juga menjadi faktor yang bisa memengaruhi pergerakan angka kemiskinan di Indonesia ke depan.
Aliran modal keluar dari pasar keuangan dalam negeri akibat tren suku bunga tinggi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, akan mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah akan menyebabkan lonjakan harga pangan impor.
”Pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk menjaga stabilitas harga beras karena menjadi bahan pokok utama bagi masyarakat. Kenaikan harga beras sangat bertalian erat dengan komoditas pangan lain sehingga perlu dijaga,” ujar Rusli.
Untungnya, lanjut Rusli, masyarakat perdesaan untuk saat ini setidaknya lebih tahan terhadap tekanan inflasi pangan karena desa menjadi lumbung pangan. Hal ini membuat harga-harga kebutuhan pokok di perdesaan cenderung lebih murah dan terjangkau.
”Ditambah lagi pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan dengan mengalokasikan 40 persen dana desa untuk bantuan langsung tunai. Kebijakan ini cukup untuk menurunkan angka kemiskinan di perdesaan,” ujarnya.