UU HKPD mereformasi alokasi sumber daya fiskal, kewenangan pemungutan pendapatan, dan penguatan belanja daerah. Desain ini dirancang untuk mewujudkan pemerataan layanan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Materi yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) ditampilkan dalam layar elektronik saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9/2021). Selain itu, rapat tersebut juga untuk mendengarkan pandangan fraksi-fraksi dan DPD terhadap penjelasan pemerintah tersebut.
Pemberlakuan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau disingkat UU HKPD digadang berpotensi mengerek pendapatan daerah. Menurut pemerintah, payung hukum tersebut didesain untuk mereformasi alokasi sumber daya fiskal, kewenangan pemungutan pendapatan, dan penguatan belanja daerah. Desain ini dirancang untuk mewujudkan pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah.
Setelah disahkan oleh DPR RI pada Selasa (7/12/2021), poin-poin aturan dalam UU HKPD akan berlaku secara bertahap mulai dari tahun 2023 hingga lima tahun sejak beleid ini diberlakukan. UU HKPD membuka potensi bertambahnya pendapatan daerah, di antaranya melalui pilar pengembangan sistem pajak dan sejumlah ketentuan.
Misalnya, dalam pengaturan dana bagi hasil (DBH) terdapat kenaikan alokasi DBH untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi pemerintah daerah, dari sebelumnya 90 persen menjadi 100 persen. Artinya, saat beleid ini diberlakukan, seluruh hasil PBB akan masuk ke kantong kas daerah sepenuhnya. Selain itu, DBH cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok naik dari 2 persen menjadi 3 persen.
Kemudian, peraturan bagi hasil DBH sumber daya alam (SDA) diatur kembali. Sebelumnya, DBH hanya diberikan kepada daerah pengolah dan daerah yang berbatasan di provinsi yang sama. Daerah yang berbatasan dengan lokasi usaha, tetapi berbeda provinsi tidak mendapat jatah DBH. Dalam UU HKPD, DBH SDA akan diberikan kepada daerah pengolah dan daerah yang berbatasan langsung dengan penghasil meskipun berada di provinsi berbeda.
Dalam UU HKPD, DBH SDA akan diberikan kepada daerah pengolah dan daerah yang berbatasan langsung dengan penghasil meskipun berada di provinsi berbeda.
Pengaturan DBH yang ditujukan untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah meliputi berbagai aspek yang komprehensif. Maka, pengalokasian DBH tidak hanya dilihat dari besaran pembagian, tetapi juga aspek keadilan, tingkat kepastian, dan aspek kinerja.
Melalui kebijakan-kebijakan DBH tersebut, hasil simulasi menggunakan data penerimaan negara tahun 2021 diperkirakan alokasi DBH akan meningkat 2,74 persen, yaitu dari Rp 108,2 triliun menjadi Rp 111,2 triliun.
Selain pengaturan DBH, UU HKPD juga mengatur dana alokasi umum sebagai komponen terbesar transfer ke daerah dan dana desa, dengan mengamanatkan earmarking untuk pendanaan pembangunan sarana dan prasarana. UU HKPD juga mengenalkan mekanisme opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dengan tarif 66 persen. Selain itu, akan terdapat pula opsi tambahan retribusi, seperti untuk pengendalian perkebunan kelapa sawit.
Serapan rendah
Pemerintah menghitung, berbagai pembaruan ketentuan apabila dikombinasikan dengan peningkatan kualitas administrasi perpajakan, akan menambah penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten dan kota hingga 50 persen, dari Rp 61,2 triliun menjadi Rp 91,3 triliun.
Kuncinya adalah meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan. Berbagai pembaruan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah tersebut belum tentu membawa manfaat jika sisi belanja anggaran tidak berjalan dengan optimal.
Berbagai pembaruan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah tersebut belum tentu membawa manfaat jika sisi belanja anggaran tidak berjalan dengan optimal.
Proyek pembangunan jalur dan stasiun kereta ringan (LRT) di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 3,5 persen sampai 4 persen pada tahun ini atau turun dari asumsi awal dalam APBN 2021 sebesar 4,5 persen sampai 5,5 persen. Proyeksi ini mempertimbangkan realisasi laju pertumbuhan ekonomi dalam tiga kuartal pertama pada tahun ini yang tercatat minus 0,74 persen.
Berdasarkan pemaparan Kementerian Keuangan, belanja daerah belum fokus dan efisien tergambar dari banyaknya program pemerintah daerah, yakni 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan, tetapi dampaknya minim bagi masyarakat.
Pola eksekusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang masih kurang inovasi selalu tertumpu di triwulan IV-2021 sehingga menyebabkan kas tertahan di daerah. Kementerian Dalam Negeri mencatat dana simpanan pemerintah daerah di perbankan hingga Oktober 2021 tembus Rp 226,71 triliun.
Terdapat sejumlah faktor yang menghambat penyerapan belanja daerah, mulai dari tagihan pihak ketiga yang disampaikan pada akhir tahun hingga adanya kegiatan gagal lelang atau putus kontrak. Selain itu, ada masalah kapasitas di daerah yang tidak merata terkait desentralisasi fiskal. UU HKPD diharapkan dapat meredam kesenjangan ini.
Oleh karena itu, optimalisasi belanja pemerintah daerah adalah pekerjaan rumah yang perlu dibenahi agar upaya optimalisasi desentralisasi fiskal tidak sia-sia. Pemerintah daerah perlu mendorong belanja publik, seperti untuk kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan.
Berhasilnya desentralisasi fiskal bergantung juga pada kapasitas atau kinerja daerah dalam mengelola keuangan, serta sejauh mana sinergi gerak langkah antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan harmonis.