Kewirausahaan Tani Jadi Solusi RI Lepas dari Jebakan Pendapatan Menengah
Kewirausahaan tani dalam skala kecil dan menengah punya peran besar dalam pembentukan dan akumulasi modal pembangunan Indonesia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akselerasi kewirausahaan di sektor agribisnis dinilai dapat menjadi salah satu strategi untuk melepaskan perekonomian Indonesia dari jebakan pendapatan menengah. Peran serta pemangku kebijakan diperlukan untuk memacu transformasi buruh tani berpenghasilan rendah menuju pengusaha tani berpendapatan tinggi.
Hal tersebut disampaikan Profesor Rachmat Pambudy dalam orasi ilmiah berjudul ”Transformasi dari Petani Menjadi Wiratani Strategi Kebangkitan Ekonomi Inklusif Indonesia”, dalam orasi ilmiah guru besar IPB University, Sabtu (16/7/2022). Rachmat merupakan guru besar tetap di Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University.
Secara umum, jebakan pendapatan menengah (middle income trap) adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, namun tidak bisa keluar dari tingkatan tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan sama sekali gagal bertransformasi menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Posisi Indonesia sebagai negara agraris membuat wirausaha di sektor agribisnis bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, tinggi, inklusif, dan berkelanjutan.
Sejumlah kajian akademis mengemukakan bahwa pendapatan nasional per kapita Indonesia harus tumbuh rata-rata di atas 6 persen, sejak 2013 hingga 2030 untuk dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah. Pencapaian tersebut semakin sulit dengan adanya pandemi Covid-19 yang disusul oleh konflik bersenjata antara Rusia-Ukraina yang menekan perekonomian global.
Rachmat menilai posisi Indonesia sebagai negara agraris membuat wirausaha di sektor agribisnis bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, tinggi, inklusif, dan berkelanjutan. Dari sisi kualitas sumber daya manusia, tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja di sektor pertanian sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri tani.
”Sebagai catatan, saat ini ada lebih dari sejuta warga Indonesia yang menjadi tulang punggung agribisnis di Malaysia dan jutaan lainnya menyebar di negara lain. Itu sebabnya, gagasan wiratani, yaitu mendorong petani kita menjadi entrepreneur, sangat relevan untuk didorong dan dikembangkan,” kata Rachmat.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif, di mana distribusi penduduk yang bekerja mencapai 29,96 persen atau sekitar 1,86 juta orang per tahun. Dengan begitu, Rachmat menilai kemakmuran petani akan sangat berkolerasi positif dengan kemakmuran negara.
”Jika kita bisa mendorong para petani Indonesia menjadi wiratani, akan ada dampak berkesinambungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Para petani, peternak, dan pekebun Indonesia punya peluang bertransformasi dari buruh berpenghasilan rendah menjadi petani berpenghasilan menengah, bahkan pengusaha berpenghasilan tinggi,” ujarnya.
Hasil survei BPS menunjukkan, rata-rata pendapatan per kapita per tahun di 2005 untuk rumah tangga buruh tani hanya Rp 4,6 juta per bulan. Sementara pendapatan rumah tangga petani gurem adalah Rp 5,3 juta per bulan; rumah tangga pengusaha pertanian Rp 6,8 juta per bulan; rumah tangga pengusaha pertanian dengan lahan hingga 1 hektar pendapatannya Rp 8 juta per bulan; dan rumah tangga pengusaha pertanian yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar pendapatannya meningkat relatif tinggi menjadi Rp 11,2 juta per bulan.
Rachmat menuturkan, jika data tersebut dikuantifikasikan, peningkatan pendapatan per kapita tiap jenjang rumah tangga tadi masing-masing sebesar 0,15 kali, 0,3 kali, 0,17 kali, dan 0,41 kali. Artinya, apabila wiratani dapat meningkatan usaha dan nilai tambah di jumlah lahan yang memadai, peningkatan pendapatan sekaligus peningkatan output ekonomi nasional bisa mencapai 30-41 persen.
”Kewirausahaan tani dalam skala kecil dan menengah, besar sekali perannya dalam pembentukan dan akumulasi modal pembangunan Indonesia. Agribisnis mencakup kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan, peternakan, serta pariwisata dari hulu, hilir, hingga penggunaan jasa-jasa penunjangnya,” ujarnya.
Dari sisi harga, lanjut Rachmat, transformasi dari petani menjadi wiratani juga akan meningkatkan nilai tambah produk yang cukup besar. Dengan mengadopsi wiratani di sektor pengolahan beras, dari harga gabah rata-rata Rp 4.500 per kilogram (kg) di Indonesia, pengolahan sederhana gabah tadi menjadi beras medium dan beras premium turut mengatrol harganya masing-masing menjadi Rp 9.000 per kg dan Rp 12.000 per kg.
”Jika diolah lebih lanjut, misalnya menjadi tepung beras, harganya berubah menjadi Rp 18.000 per kg. Bisa dilihat, tanpa inovasi dan teknologi canggih, hanya dengan proses pengolahan sederhana, wiratani Indonesia bisa melipatgandakan nilai tukar produknya sekitar dua hingga tiga kali lipat,” ujar Rachmat.
Ia menilai, sejumlah faktor keberhasilan pengembangan wiratani adalah aksesibilitas pada sumber daya pertanian, seperti modal, lahan, dan keterampilan tenaga kerja. Faktor kunci lain yang memengaruhi kewirausahaan pertanian adalah akses ke modal ventura, dukungan teknis pertanian, tenaga kerja terampil, pajak rendah di pertanian, dan akses ke pasar baru.
”Oleh karena itu, harus ada dukungan politik dari pemerintah untuk secara bulat mendukung promosi kewirausahaan pertanian. Kebijakan subsidi sebaiknya diganti dengan sistem insentif pasar dan transfer teknologi ditingkatkan ke petani di perdesaan,” kata Rachmat.
Pemerintah, imbuh Rachmat, dapat mulai dengan menggerakkan sarjana-sarjana pertanian untuk bangga menjadi petani dan mengembalikan peran penyuluh pertanian dengan menambah kapasitas pengetahuan kewirausahaan. Efek berganda kewirausahaan tani membuat petani di perdesaan mampu mengidentifikasi peluang pasar dalam ekonomi lokal, regional, nasional, dan internasional, agar petani dapat mengembangkan produknya untuk pasar-pasar tersebut.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Dedi Nursyamsi mengatakan, regenerasi petani salah satu fokus Kementan bagi keberlanjutan pembangunan pertanian. ”Pemerintah berupaya mendorong sektor pertanian sebagai lapangan kerja menarik, prospektif dan menguntungkan, dan dapat berdampak pada penurunan angka pengangguran,” ujarnya.
Kementerian Pertanian telah mengalirkan gelontoran dana dari International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang ditujukan untuk membiayai program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) sejak 2019 hingga 2025 mendatang. Targetnya pada tahun 2025, program ini dapat menghasilkan minimal 120.000 wirausaha tani yang berkiprah di sektor agribisnis.
”Usaha pertanian sangat menjanjikan karena memiliki pasar yang pasti dan menjadi basis ekonomi nasional bahkan sektor pertanian tumbuh paling tinggi di masa pandemi ini. Saatnya generasi muda untuk mengambil peranan dalam pembangunan pertanian. Terbukti banyak pemuda terdidik saat ini yang menjadi pelopor dalam usaha pertanian,” ucap Dedi.