Harga TBS Turun, Petani Biarkan Kebun Tanpa Perawatan
Terus turunnya harga tandan buah segar membuat petani kelapa sawit memutuskan untuk tidak mengurus kebunnya sampai harganya membaik. Beberapa petani pun tidak lagi menggunakan jasa perawatan kebun karena kurangnya dana.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Terus turunnya harga tandan buah segar membuat petani kelapa sawit memutuskan untuk tidak mengurus kebunnya sampai harganya membaik. Beberapa petani pun tidak lagi menggunakan jasa perawatan kebun karena kurangnya dana.
Hal ini dialami oleh Andi Triyono, petani kelapa sawit di kawasan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa (12/7/2022). Sudah hampir tiga bulan terakhir dia tidak melakukan perawatan terhadap satu hektar kebun sawitnya.
Alasannya, hasil yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan biaya perawatan untuk membeli pupuk dan herbisida. ”Walau terus menghasilkan buah, hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi biaya perawatan (kebun),” ujarnya.
Melonjaknya harga pupuk dan herbisida tidak sebanding dengan pendapatannya dari sawit. Andi pun berharap anjloknya harga tidak berkepanjangan lantaran kebun sawitnya bisa saja rusak jika tidak segera dirawat.
Sudah sejak dua bulan terakhir harga tandan buah segar (TBS) di wilayahnya berkisar Rp 500-Rp 700 per kilogram. Andi mengatakan, penurunan harga terjadi secara bertahap. Ketika sebelum kebijakan larangan ekspor dikeluarkan, harga TBS pernah menyentuh Rp 3.500 per kg.
Ketika Presiden Joko Widodo memutuskan untuk melarang ekspor, harga TBS langsung terjerembab ke angka Rp 1.500 per kg. Kini, harga TBS sekitar Rp 700 per kg.
Walau terus menghasilkan buah, hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi biaya perawatan (kebun).
Padahal, ketika pertama kali memutuskan untuk menanam kelapa sawit pada 2018, Andi berharap komoditas tersebut dapat mendongkrak pendapatannya. ”Saya mengganti tanaman karet menjadi sawit karena selain harganya lebih baik, perawatannya juga lebih mudah,” ujarnya.
Realitasnya, sampai sekarang harga sawit terus anjlok. Meski begitu, dia tetap melanjutkan untuk menanam kelapa sawit di lahan karetnya yang lain. ”Saya tetap yakin harga sawit akan kembali membaik karena melonjaknya kebutuhan akan minyak goreng,” ucap Andi.
Untuk menutupi kebutuhannya saat ini, dia mengandalkan 2 hektar kebun karetnya yang saat ini sedang dalam harga yang cukup baik. ”Beruntung harga karet masih bagus, yakni Rp 8.500 per kg. Jadi bisa menutupi sementara untuk kebutuhan sehari-hari,” ucapnya.
Memanen
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Selatan M Yunus menuturkan, saat ini banyak petani sawit yang tidak lagi merawat kebunnya dengan alasan tidak ada biaya. ”Mereka hanya fokus memanen agar pohonnya tidak rusak atau terserang hama,” ujarnya.
Mereka (petani swadaya) terpaksa memberhentikan semua buruh perawat kebun karena kurangnya pendapatan. Menurut dia, penurunan harga TBS tentu akan memberikan efek domino bagi banyak orang yang berkecimpung di perkebunan kelapa sawit.
”Ketika harga sawit turun, buruh sawit banyak yang kehilangan pekerjaan, UMKM juga harus kehilangan pelanggan, termasuk di antaranya sopir pengangkut sawit yang juga mengalami penurunan pesanan,” ujarnya.
Dengan jumlah petani sawit di Sumsel yang berjumlah sekitar 500.000 orang, tentu akan banyak yang merasakan dampaknya. ”Kondisi ini tentu akan menggoyahkan perekonomian daerah, apalagi Sumsel juga bertumpu pada komoditas kelapa sawit,” ucapnya.
Analis Sarana dan Prasarana Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian menjelaskan, ketika kebun sawit milik petani tidak dirawat dalam jangka waktu lama, biaya yang diperlukan untuk memperbaiki kebun tentu akan sangat besar.
”Sudah terbentur dengan rendahnya harga dan kenaikan ongkos produksi, petani juga harus menyediakan dana untuk memperbaiki kebunnya,” ucap Rudi.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak untuk segera mencari solusi konkret agar petani tidak terus dikorbankan. ”Karena itu, solusi cepat sangat dibutuhkan agar harga TBS bisa kembali membaik,” ujarnya.
Rudi berharap langkah pemerintah pusat yang memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengenspor minyak kelapa sawit mentah (CPO), termasuk meringankan biaya ekspor, bisa memperbaiki harga TBS dalam waktu dekat.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, oleh karena sawit sangat bergantung pada harga pasar internasional, tentu pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak. Karena itu, Herman berharap agar petani bisa memiliki komoditas lain yang bisa menjadi alternatif untuk mengganti sementara sektor kelapa sawit yang harganya sedang jatuh.
Di sisi lain, ungkap Herman, pemerintah juga terus berupaya untuk mencari investor yang mau membangun industri minyak goreng di Sumsel agar TBS milik petani dapat digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.
Saat ini Sumsel memiliki 86 pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi CPO yang sebagian besar hasilnya untuk diekspor, dan hanya memiliki tiga pabrik minyak goreng.