Harga TBS di Sumsel masih jauh dari ideal. Di tingkat petani swadaya, harganya Rp 600-Rp 800 per kilogram. Kondisi ini terjadi karena pabrikan mengurangi penyerapan TBS lantaran tangki yang hampir penuh.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harga tandan buah segar sawit di Sumatera Selatan masih jauh dari ideal. Di tingkat petani swadaya, harganya Rp 600-Rp 800 per kilogram. Harga ini jauh dari ongkos produksi yang mencapai Rp 1.800 per kg. Walau harga rendah, petani tetap memanen sawit karena jika dibiarkan akan merusak tumbuh kembang sawit ke depannya.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumsel M Yunus, Senin (11/7/2022), menuturkan, sejak pelarangan ekspor diberlakukan pemerintah, harga tandan buah segar (TBS) di Sumsel tidak kunjung naik. Sekarang harga TBS di tingkat petani swadaya Rp 600-Rp 800 per kg. “Sudah sejak dua bulan lalu harga TBS tetap pada kisaran itu,“ ucapnya.
Yunus menuturkan, kondisi ini menambah berat beban petani sawit yang saat ini juga dihadapkan dengan meningkatnya ongkos produksi akibat kenaikan harga pupuk dan herbisida. Ongkos produksi pun bertambah dari semula Rp 1.000 per kg, sekarang mencapai Rp 1.800 per kg.
Dalam kondisi saat ini, ujar Yunus, petani baru bisa bernapas lega apabila harga TBS lebih dari Rp 2.600 per kg. “Sekarang, jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sulit,“ ujarnya.
Kondisi ini, kata Yunus, membuat petani sawit tidak melakukan perawatan terhadap tanamannya. Mereka hanya memanen. Kondisi itu menyebabkan banyak perawat kebun yang kehilangan pekerjaan karena petani swadaya tidak lagi melakukan perawatan dan pemupukan pohon sawit.
Walau harga sawit terus turun, dia mengatakan, petani terpaksa menjual TBS sebagai upaya antisipasi agar pohon tidak rusak. Kalau TBS dibiarkan di atas pohon, akan menimbulkan penyakit dan mengundang hama. Petani juga kesulitan menjual TBS karena pabrik kelapa sawit (PKS) beralasan tangki sudah penuh akibat terhambatnya ekspor.
Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan berpengaruh pada kondisi ekonomi Sumsel karena sawit merupakan salah satu komoditas unggulan selain karet dan batubara.
Jumlah petani swadaya di Sumsel cukup besar. Dari 1,3 juta hektar lahan sawit di Sumsel, sekitar 40 persen merupakan milik petani swadaya dengan jumlah pemilik lahan sekitar 500.000 kepala keluarga. Itu berarti setidaknya ada 2 juta penduduk yang terdampak akibat anjloknya harga sawit.
Beragam upaya sudah dilakukan, termasuk mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan sejumlah upaya memulihkan harga sawit. ”Namun, sampai saat ini belum ada solusi,” kata Yunus.
Tidak hanya petani, pengusaha sawit di Sumsel pun tidak optimal menyerap TBS petani karena pengusaha kesulitan untuk memasarkan produknya. ”Saat ini tangki sudah penuh. Pengusaha terpaksa mengurangi pembelian TBS,” ujar Alex Sugiarto, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumsel.
Tersendatnya ekspor, ungkap Alex, karena sebagian besar perusahaan kesulitan mendapatkan pasar. Kondisi ini lantaran kebanyakan pembeli mereka sudah beralih ke produsen dari negara lain.
Untuk mengatasi permasalahan ini, ujar Alex, pihaknya terus berkoordinasi dengan pihak terkait, termasuk dengan Apkasindo, guna mendesak pemerintah mencari jalan keluar sesegera mungkin. ”Kalau tidak, akan banyak pabrik sawit di Sumsel yang tutup karena kesulitan ekspor,” ucapnya.
Sebelumnya, Koordinator Fungsi Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel Sukerik mengatakan, akibat kebijakan larangan ekspor pada Mei 2022, Sumsel tidak melakukan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO). Kondisi ini tentu berpengaruh pada nilai tukar petani.
Data BPS Sumsel menunjukkan, nilai ekspor pada kelompok minyak hewan/nabati di bulan Mei 2022 turun 9,15 juta dollar AS dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini dipicu adanya kebijakan larangan ekspor tersebut. ”Pada Mei 2022 tidak ada ekspor CPO sama sekali. Ini merupakan kebijakan pemerintah pusat yang berdampak pada nilai ekspor di Sumsel,” ucapnya.
Setelah kebijakan larangan ekspor sawit disampaikan, banyak importir CPO dari Indonesia beralih ke negara lain.
Analis Madya Prasarana dan Sarana Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, menjelaskan, saat ini harga TBS berusia 10-20 tahun di Periode II Provinsi Sumsel Rp 1.870,48 per kg atau turun Rp 766,66 per kg dibandingkan pada pertengahan Juni lalu. Penurunan ini disebabkan dinamika pasar setelah penyerapan TBS milik petani dibatasi.
Dari 86 PKS yang beroperasi di Sumsel, sebagian besar sudah mengurangi penyerapan TBS dari petani hingga 80 persen. Mereka beralasan tangki sudah hampir penuh. ”Biasanya, PKS bisa menyerap 100 truk TBS dari petani per hari, sekarang hanya 20 truk,” ucapnya.
Pengusaha sampai saat ini masih kesulitan mengekspor CPO lantaran tingginya biaya ekspor. Belum lagi, mereka masih menyodorkan kontrak baru dengan rekanan setelah kebijakan larangan ekspor dikeluarkan. ”Setelah kebijakan larangan ekspor sawit disampaikan, banyak importir CPO dari Indonesia beralih ke negara lain,” ucap Rudi.
Namun, pemerintah pusat sudah mulai mempertimbangkan untuk mengurangi biaya ekspor dan menawarkan kemudahan lainnya. ”Jika memang kemudahan itu akan diberikan, harus dilakukan dalam waktu dekat agar harga sawit bisa kembali stabil,” ujarnya.
Di sisi lain, jelas Rudi, sejak Juni 2022 pemda pun mengambil sejumlah langkah krusial. Salah satunya membentuk gugus tugas yang berfungsi memantau perkembangan harga TBS di lapangan, termasuk memeriksa kapasitas tangki di pabrik. ”Jika daya tampung tangki masih mencukupi, mereka (pabrik) diminta untuk tetap menyerap TBS milik petani,” ujarnya.