Hasil Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia menyebutkan Indeks Keyakinan Konsumen Juni 2022 berada pada level 128,2 atau menurun dibandingkan Mei 2022 yang berada pada level 128,9.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah inflasi yang terus meningkat, Indeks Keyakinan Konsumen pada Juni 2022 menurun dibandingkan Mei. Kendati demikian, keyakinan konsumen akan kondisi perekonomian masih cukup kuat.
Hasil Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia (BI) menyebutkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2022 berada pada level 128,2 atau menurun dibandingkan Mei 2022 yang berada pada level 128,9. Meski menurun, keyakinan konsumen itu tetap pada zona optimistis karena berada di atas level 100.
Adapun secara secara triwulanan, IKK pada triwulan II-2022 berada pada level 123,4 meningkat dibandingkan triwulan pertama tahun ini yang berada pada level 114,6.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, peningkatan tersebut didorong oleh optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, baik terhadap aspek penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, maupun ketepatan waktu dalam membeli barang tahan lama.
”Sejalan dengan meningkatnya optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan juga mengalami peningkatan pada semua aspek, yaitu ketersediaan lapangan kerja, kegiatan usaha, dan penghasilan,” ujar Erwin dalam keterangannya, Jumat (8/7/2022).
Semester pertama tahun ini dilalui Indonesia dengan cukup stabil. Namun, pada periode ke depan, Indonesia perlu mewaspadai berbagai tekanan global dan tantangan dalam negeri. Indonesia perlu mewaspadai potensi stagflasi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, stagflasi berpotensi melanda Indonesia pada triwulan ketiga dan keempat tahun ini.
”Pada triwulan kedua (2022) pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh karena konsumsi masyarakat dan inflasi masih cukup terjaga. Namun, pada triwulan ketiga dan keempat, isu terbesarnya perlambatan dan dibarengi inflasi. Ada potensi stagflasi pada triwulan ketiga dan keempat,” ujar Ahmad pekan lalu.
Ia menjelaskan, potensi stagflasi ini tecermin dari makin meningkatnya inflasi umum yang diikuti dengan penurunan permintaan atau konsumsi rumah tangga.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi umum pada Juni mencapai 0,61 persen meningkat dibandingkan Mei yang sebesar 0,40 persen. Adapun secara tahunan, inflasi umum mencapai 4,35 persen atau sudah lebih besar dari target atau estimasi dari pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan BI yang sebesar 4,2 persen.
Pada saat bersamaan, permintaan atau konsumsi masyarakat justru menurun. Hal ini ditandai dengan inflasi inti yang justru terus menurun pada Juni 2022 menjadi 0,12 persen setelah pada Mei 2022 sebesar 0,23 dan April 2022 sebesar 0,36 persen.
”Daya beli masyarakat menurun tergerus kenaikan harga,” ujar Ahmad.
Ia menjelaskan, terus meningkatnya inflasi umum sampai dengan Juni sangat jelas dipicu oleh unsur kenaikan harga barang (cost push inflation) ketimbang kenaikan permintaan atau konsumsi masyarakat (demand pull inflation).
Inflasi umum bulan Juni merupakan buntut dari kenaikan harga yang diatur pemerintah (administered price), seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April lalu yang mulai bertransmisi kepada inflasi. Selain itu juga kontribusi dari harga barang bergejolak (volatile foods), seperti cabai, bawang merah, dan telur ayam.
Ahmad menjelaskan, unsur kenaikan harga yang diatur pemerintah dan harga barang bergejolak masih akan mengungkit kenaikan inflasi pada triwulan ketiga dan keempat. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada awal Juli akan menaikkan inflasi dari unsur harga yang diatur pemerintah. Adapun masih tingginya harga cabai serta berbagai barang pokok masih terlihat di pasaran.
Dengan berbagai gejala itu, ia mengingatkan bahwa stagflasi di Indonesia berpotensi terjadi. ”Semua ini akan bertransmisi menjadi inflasi pada triwulan ketiga dan keempat. Di sisi lain, daya beli masyarakat bisa terus menurun. Konsumsi menurun, pertumbuhan ekonomi juga bisa melambat saat inflasi tinggi,” ujar Ahmad.
Untuk mencegah itu, Ahmad meminta pemerintah untuk terus serius mengendalikan inflasi. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola niaga perdagangan sehingga inflasi bisa terkendali. Pada komoditas cabai, misalnya, yang seakan selalu rutin melonjak harganya. Di sisi lain, pemerintah harus menahan diri untuk tidak ikut mendongkrak inflasi melalui kebijakan menaikkan harga.