Kendati transaksi sistem resi gudang terus meningkat, jumlahnya dinilai belum sebanding dengan besarnya potensi. Keberadaannya perlu terus didorong guna memacu keberlanjutan produksi dan kesejahteraan petani.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan sistem resi gudang untuk berbagai komoditas pertanian dinilai perlu terus didorong guna meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memperbaiki tata kelola stok pangan. Keberadaannya juga dianggap perlu di tengah ancaman krisis pangan global.
Resi gudang merupakan surat atau dokumen bukti kepemilikan atas komoditas yang disimpan di gudang. Penyimpanan di gudang tersebut dikelola oleh pengelola yang mendapat izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Sistem Resi Gudang (SRG) dan Pasar Lelang Komoditas Bappebti Widiastuti dalam webinar yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Jumat (8/7/2022), mengatakan, pemilik barang dapat mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan dengan resi gudang sebagai agunan.
Menurut data Bappebti, transaksi penerbitan dan pembiayaan resi gudang terus meningkat lima tahun terakhir. Pada penerbitan, misalnya, naik dari Rp 99,96 miliar pada 2018 menjadi Rp 515,77 miliar pada 2021. Sementara pada pembiayaan naik dari Rp 52,53 miliar pada 2018 menjadi 355,53 miliar pada 2021.
Sementara itu, hingga Juni 2022, transaksi penerbitan resi gudang mencapai Rp 479,13 miliar dan pembiayaan sebesar Rp 343,79 miliar. ”Sudah hampir menyamai 2021. Jadi, SRG kini semakin bisa dirasakan manfaatnya dan potensial untuk berkembang lebih baik lagi,” ujar Widiastuti.
Khusus SRG program Kemendag kini terdapat 59 gudang operasional, 42 gudang terhenti, dan 22 belum operasional. Sementara nonprogram Kemendag (dibangun pemerintah daerah, kementerian/lembaga lain, dan pihak swasta yang telah disetujui) ada 27 gudang aktif, 78 gudang pasif, dan 4 gudang terhenti.
Widiastuti menambahkan, SRG awalnya hanya untuk menyikapi masalah kelebihan pasokan pada satu komoditas saat panen melimpah. Kondisi itu membuat harga jatuh. Dengan demikian, petani bisa menunda jual hasil panennya. SRG juga memiliki fungsi lain, yakni untuk tata kelola atau manajemen stok pangan.
Salah satu contoh pola pemanfaatan SRG yang baik dan optimal yakni SRG Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, untuk komoditas beras. Sejak 2017, SRG dikelola para petani milenial yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Pengayom Tani Sejagad. Kini ada ribuan petani dibina badan usaha itu. Sejumlah produk beras mereka sudah diekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Eropa, Singapura, dan Malaysia.
”Di Italia, beras kami sudah diandalkan untuk (bahan) risotto (makanan khas Italia). Kami juga bekerja sama dengan Temasek atau BUMN Singapura. Jadi, jika di Singapura melihat ada produk Temasek Rice, itu isinya beras dari Wonogiri,” kata Direktur Utama PT Pengayom Tani Sejagad, pengelola Gudang SRG Wonogiri, Hanjar Lukito Jati, dalam webinar tersebut.
Belum sebanding
Hanjar mengaku tak menyangka BUMP Pengayom Tani Sejagad bisa terus berkembang. Bahkan, nilai total transaksi penerbitan resi gudangnya meningkat signifikan dari Rp 4,7 miliar pada 2018 menjadi Rp 11,4 miliar pada 2021. BUMP tersebut kini mengelola dua gudang, yakni milik Pemerintah Kabupaten Wonogiri dan gudang milik BUMP sendiri khusus beras organik.
Hanjar menuturkan, jika petani bisa memelajari dan mencoba, SRG akan sangat bermanfaat. ”Terkadang memang pemahaman dan sosialisasi ini yang mereka butuhkan. Harus terus diberikan. Terkait pengelolaan, awalnya juga kami bingung mau dijual ke mana. Namun, kami berinovasi mencari dan merangkul calon-calon pembeli potensial. Akhirnya, ada kontinuitas,” ujarnya.
Saat dihubungi terpisah, dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Subejo, mengemukakan, kendati jumlahnya terus bertambah, SRG yang ada masih sangat sedikit dibandingkan luas areal Indonesia. Sejumlah kendala masih ditemui dalam pengelolaan SRG.
Kendati jumlahnya terus bertambah, SRG yang ada masih sangat sedikit dibandingkan luas areal Indonesia.
”Misalnya, banyak petani yang menganggap gudang (SRG hanya jadi gudang) penyimpanan saja sehingga sistem akhirnya tidak berjalan. Pengelolaan SRG juga perlu melibatkan anak muda atau bahkan tenaga profesional. Selain itu, lembaga pembiayaan pun belum banyak yang memercayakan. Sudah ada, tetapi secara keseluruhan masih sedikit,” kata Subejo.
Ia menilai, SRG sebenarnya ide baik dan perlu terus didorong antara lain dengan memperbanyak jumlahnya, disertai dengan pengelolaan yang baik. ”Apabila semua berjalan baik dan konsisten pada akhirnya membuat petani sejahtera sehingga akan meningkatkan produksi. Jika demikian, ketahanan pangan kita terjaga sehingga mampu menghadapi ancaman krisis pangan seperti saat ini,” ujar Subejo.
Laporan Global tentang Krisis Pangan 2022 menyebut hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut. Angka itu bertambah 40 juta orang jika dibandingkan dengan laporan serupa oleh World Food Programme tahun 2020. Faktor pandemi Covid-19, gangguan rantai pasok, perubahan iklim, serta perang Rusia-Ukraina berkelindan menjauhkan sebagian warga dunia ke akses pangan.