Presiden Jokowi Mengisyaratkan Kenaikan Harga BBM dan Pangan
Presiden Jokowi mengingatkan, semua negara tidak pada posisi aman. Selain pandemi, perang Ukraina-Rusia menyebabkan harga BBM melonjak. Harga pangan juga naik karena gandum dari negara berkonflik tidak bisa diekspor.
Oleh
NINA SUSILO, NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengingatkan, kondisi dunia menghadapi tantangan berat akibat pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia. Kenaikan harga beragam pangan dan bahan bakar diisyaratkan mungkin segera terjadi.
”Semua negara tidak berada pada posisi aman-aman saja, hati-hati mengenai ini,” ujar Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato di puncak peringatan Hari Keluarga Nasional 2022 dari Lapangan Merdeka, Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis (7/7/2022).
Kondisi berat ini disebabkan pandemi Covid-19 yang belum selesai. Pengendalian Covid-19 tetap harus dijaga supaya pemulihan ekonomi lebih mudah. Di sisi lain, masalah bertambah akibat perang Ukraina-Rusia.
Perang ini memengaruhi persediaan pangan dan energi di semua negara di dunia. Presiden Jokowi menyebutkan, harga minyak bumi sebelum pandemi 60 dollar per barel, dan saat ini naik dua kali lipat menjadi 110-120 dollar per barel.
Presiden menyebutkan, harga pertalite di Indonesia masih Rp 7.650 per liter karena disubsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun di negara lain, seperti Jerman dan Singapura, harganya sudah mencapai Rp 31.000 per liter, sedangkan di Thailand Rp 20.000 per liter. ”Ini kita masih kuat dan kita berdoa supaya APBN masih kuat memberi subsidi. Kalau sudah tidak kuat, mau gimana lagi. Ya, kan?,” tutur Presiden Jokowi.
Presiden menambahkan, Indonesia masih mengimpor separuh dari kebutuhan bahan bakar minyak, yakni sekitar 1,5 juta barel. Karena itu, ketika harga minyak internasional naik, negara perlu membayar lebih banyak.
Harga gas di pasar internasional, menurut Presiden, juga sudah meningkat lima kali lipat. ”Padahal gas, kita impor juga, gede banget,” ujar Presiden.
Beragam komoditas pangan di seluruh dunia juga sudah naik. Ada yang naik 30 persen, ada yang naik 50 persen. ”Untungnya rakyat kita utamanya petani, masih berproduksi beras, dan sampai saat ini harganya belum naik. Moga-moga tidak naik karena stoknya selalu ada,” kata Presiden.
Selama tiga tahun ini, Indonesia tidak mengimpor beras. Biasanya, impor beras dilakukan sekitar 1,5 juta ton sampai 2 juta ton per tahun. Kendati beras dinilai relatif aman, Presiden juga meminta kewaspadaan pada stabilitas harga pangan ditingkatkan. Sebab, Indonesia masih mengimpor gandum sekitar 11 juta ton per tahun.
Kendati beras dinilai relatif aman, Presiden juga meminta kewaspadaan pada stabilitas harga pangan ditingkatkan. Sebab, Indonesia masih mengimpor gandum sekitar 11 juta ton per tahun.
Harga gandum tak stabil karena produksi gandum dari negara-negara yang sedang berkonflik, seperti Rusia, Ukraina, dan Belarusia, mencapai 30-40 persen. Di Ukraina, seperti disampaikan Presiden Volodymyr Zelenskyy, tambah Presiden, ada stok sekitar 22 juta ton ditambah hasil panen baru sekitar 55 juta ton. Adapun di Rusia, kata Presiden Jokowi, mengutip Presiden Vladimir Putin, ada sekitar 130 juta ton.
Perang membuat komoditas itu sulit untuk diekspor ke sejumlah negara. Karena itu, beberapa negara, seperti di Afrika dan beberapa negara Asia, sudah mulai mengalami kekurangan pangan akut.
Presiden Jokowi menyebutkan, harga pangan di beberapa negara yang sangat tergantung pada gandum sudah mulai naik 30-50 persen. Karena itu, Presiden mengajak masyarakat untuk mendorong kemandirian pangan dengan memanfaatkan lahan sekecil apa pun untuk menanam tanaman pangan dan beternak.
Sebelumnya, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar Widyasanti dalam diskusi bertajuk ”Reformulasi Kemandirian Ekonomi di Tengah Dinamika Global” yang diselenggarakan INDEF, Rabu (6/7/2022), mengingatkan, harga komoditas di pasar internasional yang tinggi akan mendorong peningkatan transaksi berjalan. Sementara itu, nilai rupiah terdepresiasi secara gradual kendati dinilai masih dalam rentang batas aman.
”Cadangan devisa menurun walau masih mencukupi 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dengan pembiayaan utang luar negeri pemerintah. Artinya ini masih di atas standar kecukupan internasional, sekitar tiga bulan impor,” katanya, menambahkan.
Adapun APBN 2022, disebut Amalia, sangat berperan sebagai bantalan guncangan (shock absorber) dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi. Dia menyebutkan, inflasi Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain sehingga daya beli masyarakat relatif lebih terjaga. Peran APBN baik subsidi maupun bantuan sosial serta belanja pemerintah perlu terus didorong.