Audit diharapkan menghasilkan data yang akurat terkait industri sawit nasional. Pemerintah berharap data itu bisa menjadi dasar untuk membenahi tata kelola dan mengatasi problem yang terjadi di hulu-hilir industri sawit.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menginstruksikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP mengaudit tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir. Langkah ini diharapkan membenahi tata kelola industri yang melibatkan 16,2 juta orang serta menjadi penghasil devisa ekspor yang utama bagi Indonesia itu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pada Rapat Koordinasi Audit Perkebunan Kelapa Sawit Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) di Jakarta, Kamis (7/7/2022), mengatakan, efisiensi dan digitalisasi kini menjadi keharusan, termasuk di industri sawit. ”Kita sudah masuk di satu era baru yang memerlukan data bagus,” ujarnya.
Oleh karena itu, industri sawit nasional dinilai perlu diaudit. Apalagi, ke depan, peran kelapa sawit sangat besar. Tak hanya untuk pangan, tetapi juga energi. ”Nanti semua tidak bisa main-main lagi. Tidak bisa ada pungut-pungut tidak jelas pada (industri) sawit,” ujarnya.
Menurut dia, audit hulu-hilir industri sawit itu merupakan perintah Presiden Joko Widodo. Terkait itu, pihaknya meminta kepada para bupati dari AKPSI membantu BPKP dalam memberi data. Audit direncanakan selama tiga bulan.
Perbaikan tata kelola yang, antara lain, ditempuh melalui audit diharapkan turut mendongkrak produktivitas sawit di Indonesia dari 4-5 ton per hektar menjadi 10-12 ton per hektar dalam 5-10 tahun ke depan.
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh menyatakan, dari penghitungan sementara, ada 16,2 juta orang terlibat di industri sawit nasional. Adapun nilai ekspornya mencapai 35 miliar dollar AS per tahun.
Sejumlah masalah yang terjadi di hulu industri sawit, antara lain, harga tandan buah segar (TBS) petani yang belum terlindungi. ”Kemudian, penggunaan lahan yang tak sesuai izin dan konflik lahan perkebunan. Ada juga soal produktivitas yang timpang antara perkebunan besar dan rakyat. Tanaman tua makin banyak, peremajaannya sedikit,” ujarnya.
Soal luas kebun juga jadi masalah karena 40 persen data yang ada merupakan data tahun 2010. Menurut Yusuf, hingga kini tak ada satu instansi pun yang memiliki data pasti terkait luas perkebunan sawit di Indonesia. Selain itu, pemanfaatan dana pungutan ekspor untuk pengembangan hulu sawit masih belum sesuai harapan.
”Tujuan utama audit sawit adalah agar hak-hak negara, termasuk hak-hak yang ada pada pemerintah daerah, bisa dipenuhi sesuai perundang-undangan. Lalu, kesejahteraan petani dan rakyat bisa dijamin. Juga agar (industri) sawit dan turunannya sehat dan transparan. Siapa saja yang salah, ada yang keliru dan tak taat asas, akan kami petakan,” ujarnya.
Yusuf menambahkan, ruang lingkup audit sangat luas sehingga para pemangku kepentingan lain dilibatkan. Kerja sama dan koordinasi, salah satunya dilakukan dengan Kejaksaan Agung. Sementara terkait hal-hal di luar kewenangan BPKP, pihaknya akan bekerja sama dengan instansi yang berwenang, seperti dengan Bea Cukai dan pajak.
Tandan buah segar
Sementara itu, pada Kamis, AKPSI membacakan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah pusat. Rekomendasi itu antara lain agar ada normalisasi harga TBS petani, dukungan penuh terhadap audit sawit, transparansi terkait kebun masyarakat, serta pemberian kewenangan pada kabupaten untuk memungut dari TBS minimal Rp 25 per kilogram (kg).
Ketua AKPSI Yulhaidir mengatakan, kewenangan yang diharapkan tersebut untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). ”Selama ini kan tidak ada bagi hasil secara khusus dari sektor sawit sebagaimana sektor migas. Keseimbangan antara kepentingan negara, investasi, dan masyarakat harus dijaga agar roda pemerintahan berjalan lebih baik,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah sempat memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan sejumlah produk turunannya dengan harapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp 14.000 per liter tercapai. Namun, kebijakan itu membuat tangki-tangki pabrik yang penuh, kemudian berdampak pada jatuhnya harga TBS di tingkat petani. Kebijakan itu kemudian dicabut, dan kembali diterapkan pemenuhan kebutuhan domestik (DMO).
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, situasi harga TBS semakin ambruk. Per Selasa (5/7/2022), harga TBS petani swadaya nonmitra yakni Rp 650-Rp 750 per kg. Sementara petani bermitra berkisar Rp 1.000-Rp 1.200 per kg. ”Tangki-tangki (pabrik) memang belum full total. Masih berputar. Namun, lambatnya ekspor mengakibatkan ketidakpastian di sektor PKS (pabrik kelapa sawit) dan refinary, yang berdampak pada harga TBS kami,” kata Gulat.
Terkait itu, Luhut menuturkan, realisasi percepatan ekspor masih memerlukan waktu. ”Kami coba, dua minggu dari sekarang, ekspor mulai lancar. Tadi malam saya bicara ke Menteri Keuangan, PE (pungutan ekspor) bawa sampai ke bawah (diturunkan). Kita kasih insentif. Kalau ekspor lancar, tangki kosong, lalu TBS diambil dan harganya akan naik,” katanya.
Dia mengakui, tidak mudah untuk menaikkan harga TBS. Pasalnya, ada dampak dari Ukraina yang melepas minyak bunga matahari, yang tidak diekspor selama beberapa bulan. Kini, minyak itu diekspor dengan pajak yang diturunkan. Oleh karena itu, percepatan ekspor CPO dan produk turunannya terus diupayakan.
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga, di sela-sela peluncuran minyak goreng kemasan sederhana Minyakita, di Jakarta, Rabu (6/7), mengatakan, percepatan ekspor jadi kunci utama agar pengosongan tangki-tangki pabrik dapat dilakukan segera. Dengan demikian, pabrik pengolah bisa menyerap TBS petani. Ia juga mengusulkan agar bea keluar dan pungutan ekspor didiskon sebesar 25 persen.