Kalangan petani mengkhawatirkan dampak pembatasan penyaluran pupuk bersubsidi terhadap penurunan produktivitas tanaman. Pemerintah diminta mencari alternatif.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bakal mengurangi pupuk bersubsidi menjadi hanya dua jenis, yakni urea dan NPK, serta menyederhanakan jenis komoditas yang berhak mendapatkannya. Kalangan petani mengkhawatirkan dampaknya pada kenaikan ongkos tanam serta penurunan produksi dan produktivitas tanaman.
Padahal, di tengah ancaman krisis pangan global akibat pandemi, perang, gangguan rantai pasok, dan perubahan iklim, negara dituntut menggenjot produksi di dalam negeri guna meningkatkan ketahanan pangan. Sejumlah lembaga internasional mengingatkan soal ancaman krisis pangan tersebut.
Pembatasan pupuk bersubsidi merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Pupuk Komisi IV DPR. Kementerian Pertanian dalam rapat dengar pendapat pada Februari 2022 menyatakan menerapkan pembatasan itu mulai Juli 2022.
Sebelumnya, jenis pupuk yang disubsidi mencakup urea, NPK, SP-36, ZA, dan pupuk organik. Sementara komoditas yang berhak mendapatkannya mencapai lebih dari 70 jenis.
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah Hardiono, saat dihubungi, Selasa (5/7/2022), mengatakan, petani sudah mendapat informasi pembatasan pupuk bersubsidi itu, antara lain dari distributor, pengecer, gabungan kelompok tani, dan kelompok tani.
Dia meyakini, kebijakan itu akan berdampak kepada petani. ”Tanpa pembatasan (selama ini) pun kami selalu kekurangan. Di Grobogan, misalnya, urea hanya memenuhi 75 persen dan NPK hanya 35 persen dari total e-RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok),” kata Hardiono.
Selama ini petani menyiasati kebutuhan pupuk dengan caranya masing-masing. Ada yang membeli pupuk nonsubsidi dari swasta, ada yang memakai pupuk organik. Namun, dengan harga jual gabah yang kerap rendah serta harga pupuk nonsubsidi yang mahal, ada juga petani tanaman pangan yang beralih ke hortikultura karena dinilai menguntungkan.
Siasat lain yang ditempuh petani ialah dengan mengurangi dosis pupuk hingga 25 persen. ”Misalkan kebutuhan pupuk yang seharusnya 1 kuintal, dikurangi 25 kilogram. Dilematis juga karena produksinya berkurang dari biasanya 8-10 ton per hektar, (musim) kemarin hanya dapat 7 ton. Akhirnya, kami gunakan pupuk organik cair yang ditawarkan swasta,” katanya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, input, termasuk pupuk, semestinya menjadi perhatian pemerintah. Akibat perang Ukraina dan Rusia, misalnya, pasokan pupuk dan bahan baku pupuk global terhambat.
”Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun skenario jangka pendek, yakni dengan mencari sumber alternatif pemasok lain. Jangka menengah panjang, seharusnya kita mampu membangun industri secara mandiri (tak impor),” ujarnya.
Selain pupuk kimia, upaya mengembangkan pupuk organik juga belum optimal. Menurut Said, pupuk organik bisa dikembangkan dengan basis regional. Satu provinsi, misalnya, terdata kebutuhannya berapa, kemudian dikelola oleh badan usaha milik daerah. Dengan demikian, ekonomi sirkular bisa tumbuh.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, menyatakan, Panja Pupuk Komisi IV DPR dibentuk karena selama ini anggaran dari pemerintah hanya mampu menutup 30 persen kebutuhan pupuk berdasarkan e-RDKK. Selain itu, ada 70 komoditas yang menerima pupuk bersubsidi.
Lewat Panja Pupuk, katanya, Komisi IV DPR meminta pemerintah menyederhanakannya. ”Apakah 70 komoditas semuanya menyangkut hajat hidup rakyat? Kementerian Pertanian menyederhanakannya menjadi belasan komoditas. Dengan begitu, jika awalnya tercakup 30 persen (e-RDKK, ke depan) bisa jadi 40-45 persen,” kata Slamet.
Akan tetapi, kata dia, penyebab utama ketidaktepatan sasaran pupuk bersubsidi selama ini berasal dari proses penyusunan e-RDKK. Sesuai keputusan Panja Pupuk, pada tahun 2023 nanti penyaluran pupuk bersubsidi tidak akan memakai e-RDKKK lagi, tetapi berdasarkan luas lahan tanam di provinsi masing-masing.
Laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan, pemfokusan ulang (refocusing) pupuk dibahas dalam Rapat Koordinasi Terbatas tentang Kebijakan Pangan, Rabu (29/6/2022). Pembahasan itu terkait transformasi kebijakan pupuk bersubsidi, seperti refocusing target subsidi menjadi 2 jenis pupuk dan 9 komoditas prioritas strategis.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, komoditas pangan yang dinilai strategis adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, kakao, tebu rakyat, dan bawang putih.
Saat dikonfirmasi tentang kebijakan pembatasan pupuk bersubsidi, Direktur Jenderal Prasaran dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil meminta Kompas berkomunikasi dengan Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian Muhammad Hatta. Namun, hingga Selasa (5/7/2022) malam, Hatta belum memberikan respons.