Rencana pemerintah membatasi pupuk bersubsidi bukan tanpa risiko. Langkah itu bisa kontraproduktif bagi upaya meningkatkan ketahanan di tengah ancaman krisis pangan global akibat pandemi, perang, dan perubahan iklim.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Pemerintah, berdasarkan rekomendasi Panitia Kerja Komisi IV DPR tentang Perbaikan Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, berencana membatasi penggunaan pupuk bersubsidi mulai Juli 2022. Selain jenis pupuk yang dikurangi menjadi dua saja, yakni urea dan NPK, jenis komoditas yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi dibatasi hanya pada 11 komoditas saja, di antaranya padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, kakao, tebu rakyat, dan bawang putih.
Sebelas komoditas itu dipilih karena dinilai strategis dan berdampak pada inflasi. Jenis komoditas itu juga mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Selain jenis komoditas yang dikurangi dari sebelumnya lebih dari 70 komoditas menjadi 11 komoditas, subsidi juga dibatasi hanya untuk pupuk urea dan NPK. Sebelumnya, pemerintah juga mengalokasikan anggaran subsidi untuk jenis pupuk SP-36, ZA, serta pupuk organik, baik cair maupun granule.
Kenaikan harga gas alam yang menjadi bahan baku pupuk serta keterbatasan anggaran menjadi pertimbangannya. Perang Rusia-Ukraina, dua negara produsen sekaligus eksportir pupuk dunia, mendorong kenaikan harga gas serta pupuk di pasar internasional. Oleh karena itu, subsidi pupuk dibatasi hanya untuk beberapa jenis pupuk dan komoditas. Harapannya, cakupan penerima subsidi bisa lebih luas untuk beberapa komoditas pangan strategis.
Sebelum muncul rencana pembatasan itu, pemerintah menganggarkan dana Rp 25 triliun untuk subsidi pupuk tahun 2022. Anggaran itu dialokasikan untuk menyubsidi 8,87 juta-9,55 juta ton pupuk. Rinciannya, urea 4,23 juta ton, NPK 2,47 juta ton, SP-36 sebanyak 0,541 juta ton, ZA 0,823 juta ton, organik granule 1 juta ton, dan organik cair 1,87 juta ton. Namun, pemerintah merevisi alokasi itu seiring dengan rencana pembatasan pupuk bersubsidi.
Ketahanan pangan
Akan tetapi, apakah langkah pembatasan itu tepat? Sejumlah organisasi petani mengkhawatirkan risiko pembatasan pupuk bersubsidi terhadap produktivitas dan produksi tanaman. Pembatasan pupuk di tengah ancaman krisis pangan global juga dinilai kontraproduktif bagi upaya menggenjot produksi pangan di dalam negeri. Apalagi jika pembatasan tidak diikuti perbaikan penyaluran dan pengawasan agar anggaran dan alokasi pupuk subsidi tepat sasaran.
Hasil investigasi Kompas terkait pupuk bersubsidi, yang disajikan di harian ini 27-28 Januari 2022, menyajikan ”tayangan ulang” praktik kotor yang bertahun-tahun melingkupi program subsidi pupuk. Subsidi triliunan rupiah terbukti masih menjadi incaran sindikat mafia dan garong di sepanjang jalur distribusi.
Sejumlah temuan tim investigasi, antara lain, ada manipulasi data dalam proses pengajuan pupuk bersubsidi, perdagangan pupuk bersubsidi secara ilegal, penjualan pupuk bersubsidi di atas ketentuan harga eceran tertinggi (HET), penjualan pupuk bersubsidi secara bebas tanpa mengacu rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK), dan data Kartu Tani tak sinkron dengan alokasi pupuk.
Kini, selain pekerjaan rumah membenahi penyaluran dan pengawasan pupuk bersubsidi, pemerintah juga menghadapi tantangan mendongkrak produksi di tengah ancaman krisis pangan global. Laporan Global tentang Krisis Pangan 2022 oleh Program Pangan Dunia (WFP) menyebut, hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut, bertambah sekitar 40 juta orang dibandingkan dengan laporan tahun 2020.
Sejumlah lembaga internasional juga menilai situasi ke depan masih serba tak pasti. Apalagi jika perang Rusia-Ukraina berlanjut, sementara rantai pasok masih terganggu dan negara-negara produsen pangan makin memproteksi produknya demi kepentingan dalam negerinya. Harga pangan, energi, dan inflasi berisiko tetap tinggi.
Di tengah ancaman itu, pilihan terbaik sebagai mitigasi adalah meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan domestik. Pembatasan pupuk bersubsidi diyakini akan berdampak pada produksi. Namun, sejumlah hal bisa ditempuh guna meminimalkan dampaknya. Pertama, pemerintah perlu memastikan subsidi benar-benar dinikmati petani sasaran sehingga tujuan menambah cakupan penerima sekaligus mendongkrak produksi pangan strategis bisa tercapai.
Di tengah ancaman itu, pilihan terbaik sebagai mitigasi adalah meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan domestik.
Kedua, pemerintah perlu memastikan petani mendapatkan harga jual yang layak atas jerih payahnya. Insentif usaha yang dinikmati petani akan menopang kelangsungan usaha tani sekaligus produksi pangan di masa depan. Ketiga, tingginya harga gas dan pupuk kimia menjadi momentum untuk menggenjot produksi serta pemakaian pupuk organik. Sumber bahan baku yang melimpah dan peluang petani memproduksi sendiri menjadi keunggulan pengembangan pupuk organik bagi sektor pertanian nasional.
Sejumlah alternatif langkah itu bisa menjadi jalan keluar atas tingginya harga gas, pupuk, dan ancaman krisis pangan. Alarm krisis yang didorong oleh pandemi, perang, dan perubahan iklim telah berdering kencang.