Pendanaan Hijau dan Berkelanjutan, Masa Depan Bisnis Perbankan
Seiring maraknya transformasi dunia usaha menuju usaha berkelanjutan berprinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pembiayaan bank ke industri yang mengusung ESG juga akan meningkat.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mengembangkan bisnis yang berkelanjutan, dunia usaha pun beramai-ramai bertransformasi menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, governance atau ESG). Mencoba mengakomodasi transformasi sektor riil itu, industri keuangan pun melihat ini sebagai salah satu segmen potensial di masa-masa mendatang.
Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Hery Gunardi menjelaskan, pihaknya melihat potensi yang besar dari sektor-sektor bisnis berkelanjutan di masa mendatang. Ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran sektor riil untuk memenuhi prinsip ESG, yang ditangkap sebagai peluang yang harus memperoleh dukungan dari perbankan.
”Pembiayaan atau investasi berbasis ESG merupakan bagian dari payung besar keuangan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran dan kapasitas industri jasa keuangan untuk menerapkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola,” ujar Hery, yang dihubungi di Jakarta, Senin (20/6/2022).
Hery menambahkan, konsep dasar keuangan operasional BSI sudah memiliki prinsip ESG, yaitu semangat dan kesamaan dalam konsep keuangan syariah (maqashid syariah). Maqashid syariah itu menjadi landasan operasional perbankan syariah, seperti propeople, proplanet, dan proprofit, sehingga kehadiran BSI benar-benar menjadi rahmat bagi alam semesta.
Kendati baru berusia setahun sejak diresmikan Februari 2021, Hery menegaskan, BSI berkomitmen untuk memberi dukungan dalam penerapan prinsip ESG yang selaras dengan aspek keuangan berkelanjutan. Hal ini tecermin dari pembiayaan yang tergolong ESG telah mencapai 27 persen dari total pembiayaan.
Sampai dengan Mei 2022, pembiayaan ke sektor ESG telah mencapai Rp 48,8 triliun. Adapun pembiayaan ESG BSI disalurkan ke beberapa sektor, antara lain, energi baru dan terbarukan (EBT), pengelolaan sumber daya alam hayati, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air limbah berkelanjutan, produk yang berorientasi lebih sedikit polusi (eco-efficient), pembangunan berwawasan lingkungan, serta pembangunan yang berkelanjutan.
Hery menambahkan, pihaknya akan terus meningkatkan porsi penyaluran pembiayaan ESG terhadap total portofolio. ”Sebab, kami meyakini secara jangka panjang penerapan bisnis tata kelola keuangan yang berlandaskan ESG merupakan salah satu jawaban bisnis keuangan perbankan berkelanjutan,” ujar Hery.
Hal serupa juga dilaksanakan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI. Sekretaris Perusahaan BNI Mucharom menjelaskan, BNI proaktif memberikan sosialisasi terhadap debitor untuk mempercepat transformasi bisnis ke model yang lebih berkelanjutan. Pihaknya juga aktif mencari berbagai proyek dan mitra baru untuk bersama mengembangkan green banking di Indonesia.
”Terkait prospek, tentunya kami menilai green banking adalah masa depan perbankan nasional. Terlebih, konsep ekonomi yang akan digunakan di masa depan adalah ekonomi sirkular, yakni ekosistem ekonomi yang mengedepankan daur ulang berbagai limbah sebagai bahan baku produksi guna mengurangi eksploitasi komoditas alam yang berlebihan. Model ekonomi ini mengedepankan efisiensi guna mengurangi pembuangan efek rumah kaca,” ujar Mucharom.
Sampai dengan triwulan I-2022, portofolio hijau BNI mencapai Rp 170,5 triliun yang setara dengan 28,9 persen dari total portofolio kredit BNI. Pembiayaan hijau ini utamanya diberikan untuk kebutuhan pengembangan ekonomi sosial masyarakat melalui pembiayaan UMKM dengan total portofolio Rp 115,2 triliun. Selebihnya digunakan untuk kebutuhan pembangunan ekosistem lingkungan hijau, proyek EBT Rp 10,3 triliun, pengelolaan polusi Rp 6,8 triliun, serta pengelolaan air dan limbah Rp 23,3 triliun.
Mucharom menambahkan, BNI menjadi bank pertama yang menerbitkan green bond atau obligasi hijau berdenominasi rupiah dengan nilai hingga Rp 5 triliun. ”Investor pun mengapresiasi langkah kami ini sehingga kami mencatat oversubscribe hingga empat kali,” ujar Mucharom.
Pengurangan emisi
Sementara Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badrudin menjelaskan, Bank Mandiri secara konsisten berupaya menerapkan aspek ESG dan praktik sustainable banking dalam rangka mendukung transisi menuju emisi nol bersih (net zero emission) dan tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG's).
”Upaya tersebut salah satunya diwujudkan melalui dukungan Bank Mandiri terhadap pembiayaan berkelanjutan,” ujar Siddik.
Sampai dengan posisi Maret 2022, penyaluran kredit berkelanjutan Bank Mandiri mencapai Rp 210 triliun atau setara 25 persen dari total portfolio kredit. Pertumbuhan tertinggi pada sektor EBT dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang juga termasuk dalam sektor prioritas Bank Mandiri dalam penerapan aspek ESG. Tidak hanya pada segmen korporasi, penyaluran kredit berkelanjutan juga dilakukan pada segmen ritel, terutama UMKM.
Semakin meningkatnya kesadaran terkait isu perubahan iklim, melatarbelakangi komitmen secara global terhadap tercapainya emisi nol bersih. Indonesia juga telah mengeluarkan target pengurangan emisi karbon secara nasional melalui nationally determined contribution (NDC) yang didukung oleh peta jalan dan program pemerintah menuju netral karbon di 2060.
Siddik menambahkan, pihaknya menyadari bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon di satu sisi menimbulkan risiko transisi yang dapat berdampak pada aspek finansial bank. Namun, di sisi lain, transisi tersebut mendorong peluang baru atas pembiayaan kepada sektor berwawasan lingkungan, seperti energi terbarukan dan ekosistem mobil listrik.
Dari sisi pendanaan, Bank Mandiri telah menerbitkan obligasi berkelanjutan (sustainability bond) sebesar 300 juta dollar AS dan transaksi ESG Repo sebesar 500 juta dollar AS, di mana hasil pendanaan tersebut disalurkan kepada kegiatan usaha yang masuk dalam kategori green & social. Adapun dari sisi pembiayaan, Bank Mandiri akan fokus mengoptimalisasi potensi pembiayaan khususnya pada ekosistem energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Bank Mandiri juga telah melakukan beragam inisiatif dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan di segmen ritel, antara lain, meluncurkan produk kredit serbaguna mikro dan kartu kredit khusus pembelian solar panel melalui kolaborasi dengan Dewan Energi Nasional, PT LEN Agra Energy, SUNTerra, dan ATW Solar. Ke depan, Bank Mandiri akan meningkatkan pembiayaan berkelanjutan melalui pengembangan produk, seperti sustainability linked-loan dan transition loan, serta akan melakukan penyelarasan strategi portofolio terhadap Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang telah diterbitkan oleh OJK pada awal tahun ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, ESG maupun proyek-proyek hijau merupakan tren global. Terlebih, sudah ada sejumlah kesepakatan berbagai negara seperti Perjanjian Paris pada 2016, untuk bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca.
”Maka, pembiayaannya (dari bank) juga menjadi tren karena semakin banyak yang peduli ke arah sana (ekonomi hijau)," kata Piter.
Sesuai karakteristiknya, bank menerapkan prinsip follow the trade atau mengikuti perdagangan. Semakin banyak permintaan pembiayaan atau kredit terkait ESG dan proyek-proyek hijau, semakin banyak pula pembiayaan yang diberikan. Apabila ekosistem kian tumbuh berkembang, sustainable loan dan pembiayaan hijau semakin besar.
Akan tetapi, yang berlangsung saat ini masih terbatas jika melihat potensi yang dapat dikembangkan mengenai kredit ataupun pembiayaan hijau dan berkelanjutan. Salah satunya mengenai sosialisasi yang masih perlu dipacu. Sebab, meski pemerintah sudah terus mendorong, pemahaman masyarakat akan hal tersebut masih terbatas.
Ada banyak manfaat didapat dari implementasi ESG maupun pengembangan proyek-proyek hijau. ”Di samping kelestarian lingkungan yang semakin terjaga, secara ekonomi juga ada potensi karena ke depan akan ada carbon trading (perdagangan karbon). Bahkan, proyek hijau sendiri bisa disertifikasi dan sertifikatnya bisa dijual di pasar global,” ujarnya.