Tahun depan, pemerintah harus mengoptimalkan seluruh sumber pendapatan negara. Pemerintah juga tetap perlu menjaga keseimbangan antara akselarasi momentum pemulihan dan pengendalian risiko fiskal.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Tekad pemerintah sudah bulat untuk menekan rasio defisit fiskal terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga di bawah angka 3 persen pada tahun 2023. Tepatnya, Badan Anggaran DPR bersama Kementerian Keuangan menyepakati nilai defisit pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 di angka 2,85 persen dari PDB.
Defisit yang merupakan selisih antara realisasi belanja dan realisasi pendapatan pemerintah akan dijaga tetap rendah. Untuk itu, tahun depan pemerintah harus mengoptimalkan seluruh sumber pendapatan negara, baik dalam bentuk pajak, bea dan cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dengan begitu, era otoritas fiskal menggelontorkan insentif fiskal akan berakhir. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk melonggarkan defisit anggaran hanya sampai tahun 2022.
Secara postur makro, batas atas nilai pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan, PNBP, dan hibah pada tahun 2023 dipatok mencapai Rp 2.510,4 triliun, setara 12,24 persen PDB. Target tersebut lebih besar 10,77 persen jika dibandingkan dengan proyeksi pendapatan negara tahun ini yang sebesar Rp 2,266,2 triliun.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pun telah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan lagi menyediakan insentif pajak yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada 2023. Keputusan ini diambil berkaitan dengan telah melandainya kasus Covid-19 di Tanah Air. Kondisi pandemi diasumsikan telah bertransisi menjadi endemi.
Insentif yang dimaksud BKF akan dihentikan pada tahun depan adalah pengurangan angsuran atau Pajak Penghasilan (PPh 25), Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor, serta Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) sektor properti.
Pada aspek regulasi, UU No 2/2020 mengasumsikan bahwa ekonomi pada tahun 2023 telah sepenuhnya kembali normal. Namun, berbagai dinamika global di tahun ini telah menyebabkan lonjakan inflasi yang turut menghambat laju pertumbuhan ekonomi global. Otoritas fiskal tentu perlu mewaspadai bila situasi ini bertransmisi ke dalam negeri dan mengganggu jalannya proses pemulihan ekonomi nasional.
Bagaimanapun keberlanjutan proses penguatan pemulihan ekonomi nasional perlu terus dijaga dengan memperkuat fondasi ekonomi dan mengakselerasi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah masih tetap perlu menjaga keseimbangan antara akselarasi momentum pemulihan dan pengendalian risiko fiskal jangka menengah.
Pemerintah masih tetap perlu menjaga keseimbangan antara akselarasi momentum pemulihan dan pengendalian risiko fiskal jangka menengah.
Ekspansi pemerintah dalam memperkuat fondasi ekonomi terlihat dari proyeksi belanja negara yang pada tahun depan masih mendekati Rp 3.000 triliun. Batas atas anggaran belanja negara pada tahun 2023 dipatok di angka Rp 2.993,4 triliun, setara dengan 14,6 persen dari PDB. Nilai ini hanya turun 3,6 persen dari nilai belanja yang disepakati tahun ini senilai Rp 3.106,4 triliun.
Postur belanja ini disusun dengan mempertimbangkan beragam hal, termasuk peningkatan subsidi energi, karena kenaikan harga minyak mentah yang diasumsikan berkisar 80 sampai 100 dollar AS per barel di 2023. Postur belanja tahun depan juga dianggarkan untuk beragam pos pengeluaran, seperti kesehatan, perlindungan sosial, pendidikan, dan belanja infrastruktur.
Keputusan pemerintah untuk tetap ekspansif dalam menganggarkan belanja negara memang beralasan. Musababnya, pemulihan ekonomi secara berkelanjutan membutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan, transformasi sistem kesehatan, dan akselerasi reformasi perlindungan sosial.
Di samping itu, percepatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan ketepatan sasaran program bantuan sosial dan subsidi adalah pendukung utama transformasi ekonomi.
Pemulihan ekonomi secara berkelanjutan membutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan, transformasi sistem kesehatan, dan akselerasi reformasi perlindungan sosial.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah tetap perlu melakukan kajian dan evaluasi terkait dengan urgensi untuk memperpanjang atau menghentikan pemberian insentif fiskal. Sebenarnya sinyal pemerintah untuk tetap mempertahankan insentif tecermin di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2020-2024.
Dalam beleid ini, pemerintah mematok target investasi sektor industri senilai Rp 21,7 triliun per tahun dalam tahapan capaian periode lima tahun. Untuk merealisasikan target tersebut, terdapat sejumlah stimulus yang dikucurkan untuk merangsang gairah industri, di antaranya tax holiday, tax allowance, investment alowance, super deduction tax, pembebasan bea masuk impor barang modal atau bahan baku dalam rangka investasi, serta bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP).
Kebijakan fiskal di tahun 2023 memang terlihat diarahkan untuk mendorong optimalisasi pendapatan dengan menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha.
Untuk itu, diharapkan perbaikan kualitas belanja secara efisien dan efektif dapat dilakukan secara konsisten. Sejalan dengan itu, terus didorong pengembangan pembiayaan yang kreatif dan inovatif sehingga target defisit fiskal tahun depan bisa tercapai dan terjaga secara berkelanjutan.