Daerah Penghasil Energi Terbarukan Minta Bagi Hasil Pemasukan Negara
Daerah penghasil minyak, gas, dan energi terbarukan mendorong pemerintah untuk menciptakan mekanisme pembagian pemasukan negara secara adil. Pemerintah daerah juga sepakat untuk mengupayakan transisi menuju energi hijau.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Daerah-daerah penghasil minyak, gas, dan energi terbarukan mendorong pemerintah untuk menciptakan mekanisme pembagian pemasukan negara secara adil. Pemerintah daerah juga sepakat untuk mengupayakan transisi menuju energi hijau demi mengatasi perubahan iklim.
Hal ini mengemuka dalam rapat kerja (raker) Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET), di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (9/6/2022). Rapat itu dihadiri 103 orang perwakilan dari sekitar 30 daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi.
Saat ini, ADPMET beranggotakan 88 daerah. Namun, ada juga daerah-daerah calon anggota, seperti Sulut yang menjadi tuan rumah. Sekretaris Daerah Sulut Praseno Hadi mengatakan, Sulut bukan penghasil migas, tetapi telah mampu memenuhi kebutuhan energinya dari sumber baru terbarukan dalam jumlah besar.
“Sulut telah melampaui target nasional (dalam bauran energi baru terbarukan untuk listrik). Target nasional 23 persen pada 2025, kami sudah 37,19 persen,” kata Praseno merujuk, antara lain, pada kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong yang mencapai 120 megawatt (MW).
Di samping itu, ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang 15 MW serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II yang total daya maksimalnya mencapai 51,38 MW. Keberadaan pembangkit-pembangkit ini berkontribusi pada surplus energi listrik sekitar 200 MW.
Namun, Praseno menyayangkan ketiadaan bagi hasil pendapatan negara dari sumber energi terbarukan layaknya migas. “Sulut sementara ini hanya dapat dari PLTP Lahendong. (Pajak) Disetor ke pusat, tetapi belum ada aturan perundang-undangan yang memayungi bagi hasil,” ujarnya.
Sebaliknya, Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyatakan, daerahnya telah memiliki kedaulatan akan pengelolaan energi. Di Blok B yang terletak di Aceh Utara, misalnya, kini telah dikelola sendiri oleh daerah melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Aceh mampu mencapai kemandirian pengelolaan energi karena adanya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Dalam konteks energi, daerah memang tidak bisa menjadi subordinat dari Jakarta. Saya yakin, di daerah lain pasti ada skema yang bisa menjadi siasat untuk menghasilkan kedaulatan energi bagi daerah,” kata Nova.
Menurut Nova, bagi hasil pendapatan negara dari sektor energi terbarukan sudah mendesak karena posisinya tidak lebih rendah ketimbang migas yang merupakan energi fosil. Pemerintah daerah pun perlu terus mewacanakan kepentingan ini kepada pemerintah pusat dan perusahaan yang mengelola sumber energi di wilayahnya.
Karena itu, ia juga mendorong para pemerintah daerah untuk menggali potensi dan bertransisi menuju pemanfaatan energi terbarukan demi mengurangi emisi karbon. “Ini harus menjadi obsesi dan cita-cita luhur pemerintah anggota ADPMET. Jadi, tidak perlu takut kalau stok migas mau habis,” ujar Nova.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang menjabat ketua umum ADPMET, dalam sambutan yang dibacakan Bupati Wajo Amran Mahmud, mengatakan, komitmen para anggota terhadap transisi energi begitu penting di masa sekarang. Sebab, harga minyak dunia terus naik, dari 80 dollar AS per barel pada awal tahun hingga menjadi 100 dollar AS per barel kini.
Daerah adalah ujung tombak dalam pencapaian zero net emission.
Keadaan tersebut menimbulkan dilema bagi Indonesia karena biaya yang digelontorkan pemerintah untuk mengimpor minyak makin besar. Keadaan ini tidak bisa berlangsung terus menerus karena kebutuhan masyarakat akan energi sangatlah tinggi.
Kamil juga menggarisbawahi kebijakan nasional untuk mendorong pemanfaatan 22 persen gas bumi pada 2025 dan 24 persen pada 2050. Di samping itu, masih ada potensi energi panas bumi di Tanah Air yang mencapai 17.506 MW. Pemanfaatannya secara maksimal dapat menekan produksi gas rumah kaca ke atmosfer.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menyatakan, daerah adalah ujung tombak dalam pencapaian zero net emission, yaitu kondisi di mana emisi karbon yang dilepas ke atmosfer tidak melebihi jumlah yang bisa diserap bumi. Jika daerah tak berbenah, bencana iklim tak dapat dicegah.
Menurut Masyita, selama 1981-2018, kenaikan suhu rata-rata di Indonesia mencapai 0,03 derajat Celsius setiap tahun. Permukaan air laut pun naik 0,8-1,2 sentimeter per tahun. Keadaan ini akan membahayakan 65 persen penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir.
“Perubahan iklim ini nyata, bahkan bisa meningkatkan risiko hidrometeorologi yang membentuk 80 persen dari total bencana di Indonesia. Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, total kerugian kita bisa mencapai Rp 544 triliun antara 2020-2024 akibat perubahan iklim kalau tidak diintervensi,” kata dia.
Untuk mengatasi keadaan ini, kebijakan fiskal dan moneter saja tidak cukup. ADPMET pun Masyita sebut akan terus berperan penting dalam upaya pencegahan perubahan iklim sekaligus mendorong transisi energi.
Daerah ia harapkan bisa mengundang investasi masuk, terutama di luar Jawa dan Sumatera yang selama ini menjadi sumber 80 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pemerintah pusat akan mendukung dengan kebijakan viability gap fund, yaitu dukungan fiskal atas biaya konstruksi pada proyek kerja sama yang belum memiliki kekayaan finansial.