Jejak Pemanfaatan dan Transisi Energi dari Era Hindia Belanda hingga Jokowi
Konversi ke energi ramah lingkungan jadi desakan sejumlah negara. Pemerintah berharap model pengembangan kawasan industri berenergi ramah lingkungan, seperti Green Industrial Park di Kalimantan Utara, bisa berjalan.
Saat memberikan pidato kunci pada acara Kompas100 CEO Forum 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/11/2021) lalu, Presiden Joko Widodo menuturkan bahwa Indonesia akan mengarah pada ekonomi hijau karena memiliki kekuatan besar dalam hal ini. Terkait hal tersebut, strategi pun harus mulai ditata.
”(Hal ini) Karena 2030 nanti Eropa dan Amerika mungkin sudah mulai stop, enggak mau terima lagi barang-barang yang berasal dari energi fosil. Undang-undang akan mereka siapkan (untuk) itu. Di G-20, omongan kita juga hanya itu-itu saja, udah. Orang larinya ke sini semuanya, ke green economy, dan kita sadar mempunyai kekuatan besar di ekonomi hijau ini,” kata Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu, bulan depan akan dimulai pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara yang energinya dari energi hijau, yakni dari Sungai Kayan. Sungai Kayan nantinya dapat memproduksi 11.000-13.000 megawatt. ”Indonesia ini memiliki 4.400 lebih sungai besar dan sungai sedang. Kita bicara baru satu sungai, Sungai Kayan. Sungai Mamberamo itu bisa kira-kira 24.000 megawatt. Ini baru dua sungai. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydro power, kita bisa bayangkan,” kata Presiden Jokowi.
Baca juga : Pacu Transformasi Ekonomi Baru
Belum lagi ketika membicarakan energi hijau lain, yakni dari geotermal. ”Kita memiliki 29.000 megawatt kalau ini dikerjain. Belum kita urusan angin, bayu. Urusan arus bawah laut, gede banget, belum bisa ngitung yang ini. Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan untuk ke depan, anak cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan,” ujar Kepala Negara.
Sadar akan urgensi transisi energi, Presiden Jokowi pun cenderung bersikap tegas ketika mendorong badan usaha milik negara (BUMN), seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN, untuk segera menyiapkan perencanaan konkret mengubah energi fosil menjadi energi hijau. Seiring perubahan iklim global yang begitu dramatis, peralihan menuju energi yang lebih ramah lingkungan tidak bisa ditunda.
Baca juga : Presiden Jokowi Dorong Pertamina dan PLN Siapkan Rencana Konkret Transisi Energi
Ketika memberikan arahan kepada Dewan Komisaris dan Direksi PT Pertamina dan PT PLN di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (16/11/2021), Presiden Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia meminta Pertamina dan PLN segera membuat grand design transisi energi. ”Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser ke geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu,” lanjut Presiden.
Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser ke geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu.
Suplai energi terbesar saat ini masih berasal dari batubara sebesar 67 persen, bahan bakar atau fuel 15 persen, dan gas 8 persen. Ke depan, pengalihan ke energi hijau akan berdampak pada keuntungan neraca pembayaran yang dapat memengaruhi mata uang (currency) Indonesia. ”Misalnya, mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga diganti listrik semuanya, karena di PLN oversupply. Artinya, suplai dari PLN terserap, impor minyak di Pertamina menjadi turun,” ujarnya.
Transisi energi
Presiden Jokowi juga menyinggung konsumsi batubara di PLN yang masih sangat besar. Bisnis Pertamina di bidang minyak dan gas mau tidak mau juga akan terkena imbas dari transisi energi. ”Sepuluh tahun yang akan datang akan stop, misalnya. Sudah harus konkret jelas dan detail, bukan hanya makro, tapi detail rencana itu ada. Pertamina ada, PLN juga ada. Harus ada,” tambah Presiden.
Menurut Presiden, tujuan besar dari transisi energi adalah bahwa negara akan memperoleh keuntungan dalam bentuk neraca pembayaran yang berpuluh tahun masih tidak bisa diselesaikan. ”Karena problemnya impor minyak terlalu besar. Dan itu memengaruhi currency kita, memengaruhi yang namanya kurs dollar kita, karena setiap bulan Pertamina harus menyediakan, harus beli dollar di pasar dalam jumlah yang tidak kecil, besar sekali,” ujar Presiden Jokowi.
Baca juga : Presiden Jokowi Minta Masukan Skema Transisi Energi
Kendati demikian, transisi energi ini disadari betul menghadapi masalah besar. Dalam sambutannya pada pembukaan The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11/2021), Presiden Jokowi juga menyebutkan, semua negara masih membahas skema untuk mengatasi harga energi baru terbarukan yang lebih tinggi ketimbang harga energi fosil. Kebingungan ini membuat pembahasan di KTT COP 26 di Glasgow, Skotlandia, awal November lalu tak membawa hasil.
”Kita hanya berkutat bicara mengenai bagaimana skenario global untuk masuk ke transisi energi. Tahun lalu sebenarnya sudah masuk ke tema ini, tapi juga belum ketemu scheme-nya seperti apa,” tutur Presiden Jokowi.
Kepada para pakar energi baru terbarukan yang berpartisipasi dalam EBTKE ConEx 2021, Presiden pun meminta masukan dan perhitungan konkret untuk mengatasi kesenjangan harga ini. Pemerintah sendiri berharap model pengembangan kawasan industri berenergi ramah lingkungan, seperti Green Industrial Park di Kalimantan Utara, bisa berjalan.
Indonesia menargetkan netral karbon (net zero emission) pada 2060. Target ini dinilai Presiden Jokowi realistis. Sebab, diakui, kontrak untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara sudah berjalan lama. Cepat atau lambat, transisi energi tak bisa dielakkan.
Baca juga : Sembilan PLTU Campurkan Biomassa dan Batubara
Merunut sejarah, pemanfaatan aneka sumber energi telah berlangsung lama di negeri ini. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, beragam sumber energi digunakan untuk mengoperasikan pembangkit tenaga listrik, termasuk pembangkit listrik tenaga air ataupun tenaga uap.
Lewat video yang ditayangkan akun Instagram resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 11 Agustus 2021, kita dapat menyimak kilas balik ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia dalam kurun waktu 1948-2021. Hal ini termasuk ikhtiar Pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan tenaga nuklir.
Syahdan, di dekade tahun 1950-an, ketika teknologi atom atau nuklir mulai populer, Pemerintah Indonesia pun berusaha mengembangkannya dengan tujuan damai serta kesejahteraan masyarakat. Hal itu diwujudkan dengan pembentukan Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom, yakni melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1958.
Lembaga inilah yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Terbit kemudian UU No 31/1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Tonggak penting penelitian dan pengembangan tenaga atom lain ialah peresmian reaktor atom pertama, yaitu Reaktor Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1965.
Briket batubara
Perbincangan soal konversi energi pun terjadi sejak berdekade lalu. Di era pemerintahan Presiden Soeharto, misalnya, ramai dibicarakan soal konversi penggunaan briket batubara sebagai bahan bakar rumah tangga dan industri. Merujuk arsip-arsip pemberitaan di Kompas, saat itu, di awal dekade tahun 1990-an, Presiden Soeharto bahkan meminta agar setidaknya pada pertengahan atau akhir Pelita VI, masyarakat Indonesia sudah memakai briket batubara.
Baca juga : Hilirisasi Batubara Berkelanjutan Terus Didorong
Pelita adalah akronim dari Pembangunan Lima Tahun. Pembabakan perencanaan pembangunan lima tahunan di era Orde Baru ini dimulai sejak tahun 1969. Pelita I berada pada kurun waktu 1969-1974. Demikian seterusnya, sehingga, kalau sesuai perencanaan, Pelita VI seperti disebutkan Soeharto ada di rentang periode 1994-1999.
”Penggunaan briket batubara ini lebih ekonomis karena harganya hanya separuh dari biaya menggunakan minyak tanah atau kayu,” kata Presiden Soeharto seusai meninjau peragaan penggunaan briket batubara oleh PT Ariyo Seto Wijoyo di halaman Bina Graha, Jakarta, Selasa (4/5/1993).
Kala itu. Soeharto pun mengajak pihak swasta turut memproduksi briket batubara. Perbankan juga diminta membantu, khususnya dalam hal modal investasi dan modal kerja, terutama bagi pengusaha kecil menengah yang akan memproduksi briket batubara. Pembuatan briket batubara ini, menurut Soeharto, merupakan kepentingan nasional, kepentingan rakyat, dan akan menghemat devisa.
Baca juga : Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Hal ini mengingat Indonesia masih mengimpor bahan bakar minyak. Dengan demikian, subsidi akan hilang dan kita akan terlepas dari ketergantungan akan bahan bakar minyak yang akan terbatas di kelak kemudian hari, sedangkan batubara tidak ada batasnya,” kata Soeharto saat itu.
Sekitar empat tahun berselang, Presiden Soeharto menuturkan bahwa penggunaan minyak tanah akan terkurangi apabila penggunaan briket batubara sebagai bahan bakar rumah tangga dan industri sudah memasyarakat. Pemerintah tidak perlu lagi menyubsidi minyak tanah. Subsidi minyak tanah pun dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan proyek yang lain.
Hal ini disampaikan Presiden Soeharto saat temu wicara dengan anggota masyarakat pengguna briket batubara dari sejumlah daerah. Pada temu wicara yang digelar seusai peresmian pabrik briket batubara PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT TBBA) di Gresik, Jawa Timur, Kamis (3/7/1997), ini disampaikan pula gambaran subsidi yang diberikan untuk minyak tanah saat itu yang nilainya tak sedikit.
Harga minyak tanah saat itu Rp 280 per liter. Pemerintah masih harus menyubsidi harga minyak tanah Rp 131 per liter. Apabila penggunaan minyak tanah mencapai 9 miliar liter, biaya subsidi dapat menembus Rp 1 triliun. ”Itu baru minyak tanah saja, belum subsidi untuk minyak lain, seperti solar, yang nilainya sangat besar,” ujar Soeharto.
Baca juga : Antre Membeli Minyak Tanah di Pangkalan
Saat itu, penggunaan minyak tanah memang sedemikian populer di masyarakat. Nostalgia mengenai hal ini masih terabadikan sampai sekarang, semisal dari unggahan di media sosial. Instagram, misalnya, dipakai sebagai tempat berbagi kisah anak-anak ”jaman dulu” yang sering diminta ibunya membeli minyak tanah menggunakan jeriken, lengkap dengan penggambaran ketika jeriken tersebut dibentur-benturkan di dengkul saat si bocah cilik iseng itu berjalan kaki ke warung.
Kenangan beli minyak tanah pakai jeriken seperti itu tentu tidak dialami anak-anak yang tumbuh ketika penggunaan elpiji, terutama yang dikemas dalam tabung ukuran 3 kilogram, mulai marak di negeri ini. Tabung gas melon berwarna hijau muda tersebut kini telah lazim dipakai warga, menggantikan jeriken minyak tanah di masa sebelumnya.
Elpiji
Sama halnya dengan briket batubara, kisah konversi dari minyak tanah ke elpiji ini pun tidak lepas dari keinginan pemerintah mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). ”Dengan pengalihan pemakaian dari minyak tanah ke elpiji ini, targetnya adalah mengurangi subsidi BBM tanpa menaikkan harga,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Luluk Soemiarso seusai rapat membahas rencana pengalihan pemakaian minyak tanah ke elpiji di Istana Wakil Presiden, Selasa (2/5/2006).
Saat itu, berdasarkan skenario kebijakan harga BBM, minyak tanah ditargetkan tak lagi disubsidi pada tahun 2008. Sejak kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005, harga jual minyak tanah ditetapkan Rp 2.000 per liter dengan harga eceran tertinggi Rp 2.250 per liter. Apabila dibandingkan harga minyak tanah nonsubsidi yang sebesar Rp 5.664 per liter, pemerintah memberikan subsidi cukup besar. Subsidi ini akan kian membengkak dengan harga minyak yang terus naik. Sementara harga jual elpiji saat itu Rp 4.250 per kilogram.
Baca juga : Bom Waktu Gas Melon
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla seusai memimpin pengarahan kepada jajaran direksi PT Pertamina di Gedung Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (30/8/2006), pun menyatakan, program konversi minyak tanah ke elpiji harus berjalan sekarang juga. Program tersebut diharapkan selesai dalam empat tahun dari rencana sebelumnya yang enam tahun sehingga 90 persen konsumen minyak tanah akhirnya beralih ke elpiji.
Berdasarkan hasil uji coba PT Pertamina terhadap 500 keluarga pengguna minyak tanah, sebanyak 85 persen menyatakan dukungan terhadap program konversi elpiji. Dengan elpiji, mereka bisa menghemat Rp 25.000 per bulan. ”Jadi, berdasarkan uji coba tersebut, banyak yang setuju. Oleh karena itu, program ini harus go,” kata Wapres Jusuf Kalla saat itu.
Pada 25 September 2006, saat berbicara dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia di Washington, Amerika Serikat, Wapres Jusuf Kalla sempat pula mengingatkan bahwa potensi yang dimiliki Indonesia untuk maju sangat besar. Dari potensi itu, pertanyaannya adalah dari mana memulai. Dia mengatakan bahwa itu harus dimulai dengan melaksanakan program dengan logika yang benar.
Potensi yang dimiliki Indonesia untuk maju sangat besar. Dari potensi itu, pertanyaannya adalah dari mana memulai? Itu harus dimulai dengan melaksanakan program dengan logika yang benar.
Bicara soal logika, saat itu, Jusuf Kalla pun mencontohkan alasan pemerintah hendak mengonversi pemakaian bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah menjadi elpiji. ”(Hal ini) Karena orang miskin yang pakai minyak tanah untuk memasak, jauh lebih mahal biayanya ketimbang orang kaya yang memasak dengan menggunakan gas yang biayanya lebih murah,” kata Wapres disambut tawa hadirin.
Waktu terus berputar. Pemanfaatan dan konversi energi berjalan di tengah ragam tantangan menyangkut ketersediaan pasokan energi dan jaminan keberlanjutannya di masa mendatang. Dipadu dengan keterbatasan sumber energi fosil dan perkembangan teknologi, kisah konversi energi untuk berbagai kepentingan pun kiranya akan terus berlanjut dengan ragam pilihan sumber yang kian mengerucut ke energi baru dan terbarukan. Penggunaan energi ramah lingkungan dan berkelanjutan pun menjadi keniscayaan.