UU Perkoperasian yang saat ini berlaku adalah UU Nomor 25 Tahun 1992. Usianya sudah 30 tahun dengan substansi yang cenderung ”obsolete” (ketinggalan) sehingga perlu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sejahtera Bersama adalah satu dari delapan koperasi bermasalah yang harus menyelesaikan pembayaran utang sesuai putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Pengadilan Niaga. Gagal bayar uang simpanan milik anggota koperasi, yang totalnya mencapai Rp 8,6 triliun, hingga kini masih samar-samar nasib penyelesaiannya. Uang tersebut adalah simpanan anggota dari puluhan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah, dari hasil jerih payah bekerja dan disiapkan sebagai bekal pensiun.
Salah satu anggota KSP Sejahtera Bersama menyimpan uang Rp 120 juta untuk bekal di masa tua. Menabung di bank tidak menjadi pilihannya. Alasan menyimpan di koperasi adalah ada kemudahan mendapat pinjaman meski harus terlebih dahulu tercatat sebagai anggota. Lagi pula, setoran pinjaman yang dikenai bunga ujung-ujungnya akan mengalir ke anggota koperasi sebagai dividen atau yang biasa disebut sisa hasil usaha (SHU).
Dulu, ia dan sejumlah orang lain yang saling ajak untuk masuk sebagai anggota koperasi, kini saling meratap membayangkan nasib uang simpanan yang seolah-olah lenyap di depan mata. Segala celah diupayakan dengan satu tujuan, yakni uang bisa dikembalikan oleh pengurus koperasi. Berharap keuntungan, rasanya jauh dari pikiran. Kembalinya uang simpanan pokok saja terasa sulit diharapkan walaupun pihak koperasi mengklaim sudah mulai mencicil pembayaran kepada anggotanya.
Sebagaimana dilaporkan kepada Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah, utang yang dibayarkan KSP Sejahtera Bersama baru Rp 134,7 miliar. Jumlah ini masih berada di bawah kewajiban pembayaran tahap pertama. Bahkan, proses pembayaran tahap pertama seharusnya sudah diselesaikan pada Desember 2021 sebesar 4 persen atau sekitar Rp 200 miliar. Bulan Juni ini sesungguhnya sudah masuk proses pembayaran tahap kedua sebesar 4 persen.
Lagi-lagi, pintu penyelesaian terasa terkunci. Baru-baru ini salah satu anggota KSP Sejahtera Bersama terpaksa menyebarkan video singkat desakan sejumlah anggota koperasi yang mengadukan persoalan ini ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Tak hanya itu, cerita banyak pikiran dan stres akibat kasus ini menyebabkan sejumlah anggota KSP sakit keras.
Bahkan, begitu menyesakkan kondisi keuangan sebagian anggota, ada anggota yang terpaksa ingin menjual ginjalnya. Sudah uang nyangkut di KSP Sejahtera Bersama, usaha dagangnya hancur akibat pandemi Covid-19. Padahal, uang simpanan di koperasi tersebut merupakan sebagian dari hasil jerih payah usaha dagangnya selama ini.
Selain KSP Sejahtera Bersama, tujuh koperasi lain yang masuk radar putusan PKPU Pengadilan Niaga adalah KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP dan Pembiayaan Syariah Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Lima Garuda, dan KSP Timur Pratama Indonesia. Total dana diperkirakan sekitar Rp 20 triliun.
Mencermati putusan homologasi PKPU, Kementerian Koperasi dan UKM perlu lebih menjalin koordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM; Kementerian Hukum dan HAM; hingga Mahkamah Agung. Bahkan, demi mengetahui larinya aliran dana anggota koperasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun dilibatkan.
Pelajaran berharga
Dari sisi gugatan-gugatan anggota koperasi ke kepolisian, koordinasi yang intens pun dilakukan dengan jajaran Kepolisian RI. Kendati segala upaya ditempuh untuk mencari solusi penyelesaian, ternyata sejumlah anggota KSP Sejahtera Bersama semakin gerah. Kelambanan proses pembayaran utang telanjur menyesakkan.
Apalagi, pengurus KSP Sejahtera Bersama diduga menjalin kesepakatan kerja sama dengan koperasi lain. Kendati kesepakatan yang diduga untuk mengalihkan kewajiban pembayaran utang kepada anggota koperasinya telah dibantah, Kementerian Koperasi dan UKM sebagai ”wasit” tak boleh mengabaikannya.
Kekisruhan koperasi bermasalah yang terkait homologasi ini perlu menjadi pelajaran berharga. Seiring proses koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, Kementerian Koperasi dan UKM juga perlu mendorong revisi atas Undang-Undang tentang Perkoperasian hingga disahkan. Ini strategi untuk menghadirkan ekosistem bisnis koperasi yang dinamis, adaptif, dan akomodatif bagi kebutuhan anggota dan masyarakat.
UU Perkoperasian yang saat ini berlaku adalah UU Nomor 25 Tahun 1992. Usianya sudah 30 tahun dengan substansi yang cenderung obsolete (ketinggalan) sehingga perlu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena munculnya koperasi bermasalah telah bertolak belakang dengan prinsip koperasi. Koperasi semestinya mempertahankan asas kebersamaan, kekeluargaan, dan demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Bukan malah melebarkan jarak antara pengurus dan anggota.
Untuk KSP bermasalah, pemerintah harus mendorong agar koperasi tersebut fokus pada pembayaran utang kepada anggota. Patuh menjalankan proses pembayaran utang dan tak lagi mencari celah yang merugikan anggota. Sanggupkah Kementerian Koperasi dan UKM menjadi ”wasit” terbaik?