Lonjakan harga minyak mentah dunia berdampak pada bisnis sektor ritel BBM dalam negeri. Situasi ini menyeret Pertamina pada persoalan aliran uang kas perusahaan yang kian tertekan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Dalam rapat kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Badan Anggaran DPR pada 19 Mei 2022 lalu, terungkap bahwa tingginya harga minyak mentah dunia membuat keuangan PT Pertamina (Persero) tertekan. Pasalnya, harga jual bahan bakar minyak eceran yang dijual Pertamina masih di bawah harga yang sesungguhnya.
Harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) yang dimaksud adalah Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92). Pertalite yang dijual seharga Rp 7.650 per liter saat ini sudah menjadi barang bersubsidi. Dengan harga keekonomian sekitar Rp 12.500 per liter, ada selisih sekitar Rp 4.850 per liter. Selisih ini ditanggung Pertamina dan akan diganti kas negara dengan mekanisme kompensasi.
Adapun Pertamax, yang harga keekonomiannya di kisaran Rp 16.000 per liter, dijual seharga Rp 12.500 per liter. Per 1 April 2022, harga Pertamax dinaikkan menjadi Rp 12.500 per liter dari semula yang Rp 9.000 per liter.
Masalahnya, sejak keputusan menaikkan harga Pertamax diambil, sebagian konsumen yang semula memakai Pertamax beralih ke Pertalite. Dengan demikian, total selisih harga yang ditanggung Pertamina semakin besar. Dampak bagi kas perusahaan adalah tersendatnya cash flow lantaran pembayaran kompensasi kerap terlambat atau tak dibayar penuh. Kompensasi di 2021 yang harus dibayar pemerintah ke Pertamina saja mencapai Rp 83,8 triliun.
Apabila situasi ini terus berlanjut, kas Pertamina bakal tertekan lebih dalam. Pada Maret 2022 saja, arus kas operasional Pertamina sudah negatif 2,44 miliar dollar AS. Seperti data yang dipaparkan Sri Mulyani dalam rapat tersebut, jika tak ada tambahan penerimaan dari pemerintah (kompensasi), pada akhir tahun ini kas Pertamina diperkirakan bisa defisit hingga 12,98 miliar dollar AS. Situasi ini akan menurunkan peringkat kredit Pertamina.
Dampak global
Semua ini bermula dari tingginya permintaan dunia akan energi seiring pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19. Harga minyak yang sempat di kisaran 40 dollar AS per barel saat pandemi mulai, perlahan beranjak ke level 70 dollar AS per barel. Harga minyak kian meroket saat Rusia menyerbu Ukraina lewat operasi militer pada Februari 2022.
Rusia, sebagai salah satu produsen minyak utama dunia, dikenai sanksi oleh AS dan sekutunya atas serangan tersebut. Sanksi tersebut mengganggu ekspor atau penjualan minyak mentah dari Rusia. Sesuai hukum pasar, pasokan yang berkurang di tengah tingginya permintaan menyebabkan harga minyak melonjak melewati level 100 dollar AS per barel. Per Minggu (5/6/2022) sore, mengutip laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent ada di level 119 dollar AS per barel.
Jika tak ada tambahan penerimaan dari pemerintah (kompensasi), pada akhir tahun ini kas Pertamina diperkirakan bisa defisit hingga 12,98 miliar dollar AS.
Apa dampaknya bagi Indonesia? Yang jelas adalah subsidi energi membengkak. Alokasi subsidi energi tahun 2022, yang mulanya ditetapkan Rp 134 triliun, melonjak menjadi Rp 208,9 triliun. Pasalnya, bukan hanya minyak yang harganya meroket, harga gas alam, yang menjadi bahan baku elpiji, juga naik drastis dari 2 dollar AS per juta metrik british termal unit (MMBTU) saat pandemi terjadi, menjadi 8 dollar AS per MMBTU.
Pemerintah berusaha keras agar APBN tidak tekor lantaran subsidi energi yang membengkak. Harga BBM dan elpiji yang naik juga dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat. Berbagai upaya lewat skenario APBN 2022 dilakukan, seperti penambahan anggaran untuk perlindungan sosial maupun menertibkan penyaluran subsidi (BBM dan elpiji) agar tepat sasaran.
Upaya menertibkan penyaluran subsidi termasuk langkah yang, sebenarnya, bisa dibilang terlambat. Mengutip pernyataan pejabat eselon I Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di awal 2020, bahwa akibat skema distribusi terbuka pada elpiji 3 kilogram, kerugian negara bisa mencapai Rp 15 triliun per tahun lantaran penyaluran yang tak tepat sasaran.
Bukan hanya itu, pemerintah pun sebaiknya mengedukasi masyarakat bahwa harga eceran BBM bersifat fluktuatif mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia. Ini wajar mengingat Indonesia adalah negara pengimpor bersih (net importer) minyak sejak 2004. Separuh dari kebutuhan BBM nasional diperoleh lewat impor.
Edukasi untuk menyadarkan publik bahwa energi harus dimanfaatkan dengan tepat dan hemat. Selain itu, publik perlu dipahamkan bahwa harga energi sangat wajar apabila naik turun sesuai pergerakan pasar dunia. Bukan kemudian menyerahkan pada mekanisme pasar, negara tetap perlu mengintervensi lewat sejumlah kebijakan tertentu untuk mengontrol harga jual agar tetap terjangkau oleh masyarakat. Termasuk menjalankan skema subsidi tepat sasaran.