PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) berupaya meninggalkan energi fosil secara bertahap guna menekan emisi. Salah satu upayanya adalah membangun energi baru terbarukan dalam skala besar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangkit-pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih dominan menggunakan bahan bakar batubara dan bahan bakar fosil lain. Namun, PLN akan beralih meninggalkan energi fosil secara bertahap hingga emisi dapat ditekan menjadi nol. Hal itu juga sejalan dengan target pemerintah yang menargetkan emisi nol bersih atau NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN Wiluyo Kusdwiharto menyampaikan hal itu pada peluncuran Indonesia EBTKE ConEx (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Conference and Exhibition) 2022 dengan topik ”Energy Transition from Commitment to Action” yang digelar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan Dyandra Promosindo, secara daring, Kamis (2/6/2022).
Wiluyo mengatakan, pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil di PLN atau sektor industri akan menyebabkan perubahan iklim yang membuat temperatur bumi naik sehingga menyebabkan kenaikan permukaan air laut hingga menenggelamkan beberapa pulau. Pihaknya menyadari hal tersebut merupakan ancaman serius.
Oleh karena itu, pihaknya berkomitmen mengejar karbon netral pada tahun 2060 agar bumi nantinya dapat ditinggali dengan nyaman. ”Inisiatif-inisiatif sudah ada serta akan kami lakukan. Kami sudah memiliki peta jalan untuk mencapai karbon netral pada 2060,” kata Wiluyo.
Saat ini mayoritas pembangkit PLN masih menggunakan batubara. ”Batubara dengan persentase sekitar 62 persen, gas 20 persen, diesel 4 persen, dan energi terbarukan 14 persen. Secara bertahap akan kami perbaiki hingga 2060. Emisi karbon dari pembangkit-pembangkit kami bisa kami nol kan,” lanjutnya.
Wiluyo mengemukakan, salah satu upaya pihaknya adalah membangun energi terbarukan dalam skala besar dengan konsep Renewable Energy Based Industrial Development (REBID). Selain itu, pihaknya juga membangun pembangkit photovoltaik atau surya dengan Battery Energy Storage System (BESS), terutama untuk daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
PLN, lanjut Wiluyo, juga akan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar yang akan disambungkan dengan grid di Cirata (Jawa Barat) serta Bali Barat dan Bali Timur. ”Ke depan, penggunaan BESS akan kami tingkatkan seiring membaiknya teknologi secara ekonomi sehingga nantinya bisa masif dan menggantikan PLTU-PLTU yang masih fosil,” kata dia.
Adapun Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Status hingga 2021, porsi energi baru dan terbarukan masih 11,5 persen dalam bauran energi nasional.
Tantangan dan peluang
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menuturkan, saat ini Indonesia berada di antara dua kondisi. Pertama adalah tantangan energi terbarukan yang tak mudah. Kedua, Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan energi baru terbarukan dan saat ini merupakan waktunya.
Untuk itu, upaya mewujudkan komitmen menuju aksi nyata terus didorong. ”Bersama-sama dengan PLN dan berbagai kementerian melihat jika peluang ini semakin besar dan terus digagas, Indonesiaa akan tetap menjadi negara kompetitif. Intermitensi (ketergantungan cuaca) ini nyata, tetapi ada cara menyelesaikannya. Apalagi, (tingkat) keekonomiannya makin hari makin baik,” katanya.
Dadan menuturkan, program PLTS Atap juga terus didorong bersama PLN. Menurut dia, sebagian berjalan, tetapi ada juga sejumlah diskusi terkait pelaksanaannya. Namun, yang jelas, hal itu merupakan salah satu upaya agar bauran energi terbarukan lebih cepat dicapai.
Program transisi energi PLN meninggalkan batubara juga menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan energi terbarukan.
Sementara itu, Ketua METI Surya Darma mengatakan, program transisi energi PLN meninggalkan batubara juga menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan energi terbarukan. Ini terkait apakah energi terbarukan akan siap pada waktunya ketika PLTU dilakukan facing down (meninggalkan) batubara.
”Kita mulai memikirkan langkah aksi ke depan dan dimulai dari sekarang. Bukan hanya capaian target 23 persen pada 2025, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimaan sebuah skenario baru (menuju NZE 2060),” kata dia.