Pelembagaan Alternatif-alternatif Baru Terkait Energi Terbarukan Jadi Tantangan
Dalam pengembangan energi terbarukan, selain pengembangan rendah karbon, juga menghadirkan sejumlah potensi, yakni berbagai kesempatan kerja baru. Pendanaan dan penerapan prinsip keadilan juga menjadi tantangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan sudah menjadi komitmen bersama, antara lain untuk mencapai nol emisi karbon atau NZE pada 2060 atau lebih cepat. Dalam transisi energi, menuju target itu, salah satu tantangan adalah terkait pelembagaan berbagai alternatif dalam energi terbarukan, yang berkeadilan dan menjangkau semua daerah.
Co-Chair Task Force 5 Science 20 (C20) Yunita Winarto dalam webinar ”Memastikan Transisi yang Adil untuk Semua” sebagai rangkaian Presidensi G20 Indonesia 2022, yang digelar hibrida, Senin (30/5/2022), mengatakan, upaya yang didorong saat ini ialah bagaimana meningkatkan kapasitas adaptif, termasuk pada transisi energi yang berkontribusi pada pemulihan ekonomi.
Menurut dia, tak dimungkiri, listrik yang dinikmati sekarang, yang bersumber dari batubara, ataupun bensin yang juga berasal dari energi fosil, menguntungkan. Hal tersebut mendukung penggunaan dan penyebaran kelistrikan ke seluruh Indonesia, dengan harga yang dapat dijangkau. Namun, dengan transisi energi, perlu disiapkan agar prinsip keadilan tetap ada.
”Tantangannya sekarang bagaimana menginstitusionalisasikan alternatif-alternatif baru dari sumber-sumber energi terbarukan yang hijau, yang menguntungkan secara sama dan berkeadilan. Untuk semua aktor serta melintasi komunitas wilayah berbeda. Bagi yang di Papua, Aceh, dan di mana-mana. Juga secara berkelanjutan,” ujar Yunita yang juga Guru Besar Purnabakti Antropologi Universitas Indonesia.
Dalam pengembangan energi terbarukan, selain pengembangan rendah karbon, juga menghadirkan sejumlah potensi, yakni berbagai kesempatan kerja baru. Dengan memberdayakan para ilmuwan, hal ini juga akan menumbuhkan keterampilan serta kepakaran baru. Potensi tersebut harus dapat dioptimalkan.
Pada akhirnya, juga menjadi tantangan dalam bagaimana menghasilkan substitusi ke energi terbarukan yang berkeadilan dan tangguh. ”Kita harapkan ada produksi bersama pengetahuan yang didasarkan pada inklusivitas. Bagaimana menemukan cara-cara efektif dalam pelaksanaannya. Harus ada perubahan paradigma dari ekstraksi sumber daya menjadi yang lebih ramah lingkungan,” kata Yunita.
Adapun Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Status hingga 2021, porsi energi baru dan terbarukan masih 11,5 persen dalam bauran energi nasional.
Co-Chair Civil 20 (C20) Indonesia Aryanto Nugroho menuturkan, 2022 menjadi tahun krusial untuk menentukan langkah Indonesia ke depan dalam mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Perhelatan G20 menjadi momen strategis untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu mengajak negara-negara G20 kian menunjukkan komitmen dalam transisi energi.
”G20 sebagai kelompok negara yang mendominasi ekonomi global dan rumah bagi dua pertiga populasi dunia bertanggung jawab terhadap 78 persen emisi global di dunia. Ini menjadi forum yang diharapkan ada aksi ambisius dari pemimpin dunia terhadap perubahan ilklim. Juga untuk memastikan stabilitas energi dan ketahanan energi dalam jangka panjang,” ucapnya.
Aryanto menambahkan, selain menghadirkan energi terbarukan yang berkeadilan, kebutuhan pendanaan dalam transisi energi juga menjadi tantangan. ”Jadi, modal perlu betul-betul diperkuat, tetapi keadilan harus ada. Tak hanya bagi negara-negara anggota G20, tetapi juga yang di luar itu,” lanjutnya.
Lanjut diproses
Sementara itu, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, Badan Legislasi DPR dan Komisi VII DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk diproses ke tahap pembahasan selanjutnya. Persetujuan ini diperoleh setelah semua fraksi di DPR telah menyampaikan pandangan mini fraksi.
Setelah forum menyetujui, Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Nasdem Sugeng Suparwoto yang mewakili pengusul menyampaikan, EBT ialah keharusan yang wajib dipilih. Dengan begitu, ada perkembangan ekosistem dalam energi terbarukan.
”Undang-undang ini menjadi harapan yang bisa menciptakan ekosistem bagaimana berkembangnya energi baru terbarukan. Sebagaimana sering kita tekankan bahwa energi baru dan terbarukan bukan pilihan, melainkan keharusan,” kata Sugeng dalam keterangannya.
Ia menambahkan, pada dasarnya semua fraksi sepakat untuk melanjutkan RUU ini dibahas dalam tahap selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyusunan undang-undang. Ia juga mengapresiasi kerja Badan Legislasi dan panja menyusul perjalanan panjang RUU EBT hingga proses harmonisasi dan kini disetujui dilanjutkan ke tahap pembahasan selanjutnya.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil menilai RUU Energi Baru dan Terbarukan yang digodok DPR bertentangan dengan semangat pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan. Pasalnya, rancangan tersebut memasukkan energi fosil dan energi nuklir. Selain itu, mereka menyebut, pada dasarnya, masyarakat menginginkan ketersediaan energi yang mudah diakses dengan harga terjangkau (Kompas, 20/5/2022).