Peningkatan frekuensi bencana terkait iklim beberapa tahun terakhir dinilai telah berdampak pada lonjakan biaya untuk normalisasi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memperluas jangkauan asuransi aset nasional sebagai bagian dari strategi memitigasi risiko fiskal yang ditimbulkan oleh bencana. Namun, strategi yang tepat dinilai perlu untuk memastikan program penanganan perubahan iklim dan kebencanaan berjalan sesuai dengan rencana pemerintah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/5/2022), menyatakan, peningkatan frekuensi bencana terkait iklim dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak pada melonjaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk normalisasi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah meningkatkan mitigasi untuk meredam risiko bencana.
Salah satu mekanisme yang ditempuh Pemerintah Indonesia dan dijadikan sebagai rujukan dalam forum Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform for Disaster Risk Reduction/GPDRR) 2022 yang berlangsung di Bali, 23-28 Mei 2022, adalah Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (Disaster Risk Financing and Insurance/DRFI).
Strategi DRFI berisi campuran instrumen yang memungkinkan pemerintah meminimalkan risiko bencana, seperti mengatur pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD serta mengalihkan risiko ke pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.
Instrumen terpenting dalam DRFI adalah skema dana bersama (pooling fund) terkait penanganan bencana yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021. Skema ini memobilisasi dana dari APBN, APBD, swasta, lembaga keuangan, masyarakat, hingga negara mitra untuk mitigasi ataupun penanganan bencana.
”Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan penanganan bencana pada tahap pra-bencana dan pascabencana, termasuk pengalihan risiko dengan memperoleh produk asuransi untuk melindungi aset publik dan masyarakat kita yang rentan, seperti petani dan nelayan,” kata Febrio.
”Pooling fund dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dalam rangka memperkuat sinergi antara aksi perubahan iklim dan pengurangan risiko karena lebih dari 90 persen bencana alam di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, angin kencang, cuaca ekstrem, atau angin topan,” kata Febrio.
Selama operasi awal, yaitu 5-7 tahun pertama, dana bersama akan difokuskan pada penghimpunan dana dan pembiayaan program mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan risiko, termasuk membayar premi untuk asuransi aset publik. Skema pengalihan risiko dilakukan melalui penerapan asuransi barang milik negara (BMN) dan asuransi pertanian.
”Kami mulai mengasuransikan aset nasional pada 2019. Asuransi untuk gedung pemerintah, pusat pelatihan, dan fasilitas kesehatan terhadap risiko bencana adalah proyek percontohan. Sampai hari ini, kami telah mengasuransikan 2.112 bangunan seluruh kementerian/lembaga dengan total nilai pertanggungan sekitar Rp 17,05 triliun, setara dengan 1,03 miliar dollar AS,” ujar Febrio.
Strategi tepat
Seusai mengasuransikan seluruh gedung kementerian dan lembaga pemerintah, perluasan asuransi aset nasional akan dilakukan untuk sarana dan prasarana lain, seperti jalan, jembatan, dan infrastruktur lain. Pemerintah daerah juga diharapkan meningkatkan keterlibatan dalam dana bersama dengan turut mengasuransikan aset-aset pemerintah daerah.
”Kementerian Keuangan sedang mengembangkan mekanisme insentif untuk merealisasikan hal ini. Fokus kebijakan fiskal tak hanya menyerap berbagai guncangan dari tekanan inflasi, kenaikan suku bunga, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, tetapi juga risiko bencana yang turut mengancam kesejahteraan,” ujarnya.
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) Alin Halimatussadiah mengatakan, strategi mobilisasi anggaran yang tepat penting untuk mamastikan program penanganan perubahan iklim dan kebencanaan berjalan sesuai rencana.
Kendati demikian, berbagai tantangan dihadapi pemerintah daerah dalam menjalankan program pengendalian perubahan iklim, salah satunya terkait pemahaman risiko perubahan iklim yang belum setara di antara pemangku di daerah. Selain itu, perencanaan yang matang untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) masih minim.
Studi LPEM-UI pada 2021 tentang ketahanan anggaran daerah sepanjang pandemi Covid-19 menemukan, realokasi anggaran untuk kepentingan jangka pendek dalam rangka penanganan dan pencegahan penyebaran virus serta mitigasi krisis ekonomi mengorbankan anggaran jangka panjang, termasuk anggaran untuk mendukung pendanaan perubahan iklim.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi, Andi Rizal, ketika dalam diskusi pada rangkaian acara Asia Disaster Management and Civil Protection Expo and Conference (ADEXCO) 2022 di Nusa Dua, Bali, Sabtu, mengatakan Kementerian Perindustrian berkomitmen terus meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan yang terkait kebencanaan.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan pengembangan teknologi dan inovasi produk atau peralatan yang dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan bencana. Saat ini sejumlah produk industri dalam negeri yang terkait upaya pencegahan dan penanganan bencana telah mampu bersaing dengan produk impor. Bahkan, cukup banyak juga yang sudah dipasarkan ke luar negeri.
”Dengan adanya negara-negara lain yang menggunakan produk kita, artinya ini menjadi potensi untuk memacu ekspor. Tentunya langkah ini mendukung akselerasi pemulihan ekonomi nasional,” ujar Andi.