Kelebihan pendapatan negara tidak bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk menambal defisit fiskal sehingga pengurangan utang jadi jalan yang paling memungkinkan untuk memperkecil defisit anggaran.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fleksibilitas serta keterukuran penerbitan utang menjadi kunci dalam upaya menurunkan defisit fiskal yang telah menjadi tujuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Upaya pemerintah dalam memangkas rasio utang tahun ini dinilai masih berada di koridor yang tepat.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada akhir April 2022 berada di angka Rp 7.040,32 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 39,09 persen. Dalam kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022, rasio utang tahun ini ditargetkan berada di kisaran 40,83-41,93 persen.
Untuk menjaga agar rasio utang tetap rendah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pemerintah telah membatalkan rencana realisasi penerbitan utang hingga Rp 100 triliun untuk memuluskan target pemangkasan defisit fiskal tahun ini dari sebelumnya 4,85 persen menjadi 4,5 persen PDB.
Pemerintah telah membatalkan rencana realisasi penerbitan utang hingga Rp 100 triliun untuk memuluskan target pemangkasan defisit fiskal tahun ini dari sebelumnya 4,85 persen menjadi 4,5 persen PDB.
”Impikasi pembatasan penerbitan utang terhadap pembiayaan bunga masih dalam koridor dan masih sesuai anggaran. Kami memanfaatkan berapa sumber pembiayaan utang dengan bunga yang lebih rendah,” kata Luky saat dikonfirmasi, Kamis (26/5/2022).
Dalam kesempatan konferensi pers APBN Kita, awal pekan ini, Luky menekankan bahwa kondisi pasar keuangan yang masih bergejolak membuat Kementerian Keuangan harus terukur dan fleksibel serta memanfaatkan bermacam peluang untuk menjaga rasio utang terhadap PDB tetap rendah.
Hal tersebut berlaku untuk penerbitan utang domestik ataupun penerbitan utang secara global. Periode dan besaran penerbitan obligasi global ataupun domestik, lanjutnya, akan memperhatikan kondisi pasar.
Pemangkasan penerbitan utang akan dilakukan lewat tiga aspek, yakni fleksibilitas penarikan utang yang berasal dari pinjaman program, memperbanyak dukungan dari mitra bilateral ataupun multilateral, serta memanfaatkan pembagian beban dengan Bank Indonesia (BI) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan III, khususnya dengan bunga rendah.
”Itu strategi kami saat ini sehingga pembiayaan utangnya akan lebih rendah. Kami juga masih punya buffer di tahun 2022,” kata Luky.
Apabila melihat lebih jauh, fleksibilitas penerbitan utang untuk tahun depan akan lebih luas dari tahun 2022, dengan rentang target rasio utang di kisaran 40,58-42,42 persen terhadap PDB. Luky mengatakan estimasi ini telah mempertimbangkan sejumlah skenario di antaranya risiko ekonomi makro, kondisi pasar keuangan global, serta dinamika APBN.
Pada perkembangan lainnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa posisi keuangan negara hingga 30 April 2022 masih surplus Rp 103,1 triliun.
Dari sisi belanja, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa belanja negara telah mencapai Rp 750,5 triliun atau sekitar 27,7 terhadap APBN. Dari realisasi tersebut, belanja barang mencapai Rp 77 triliun per 30 April 2022. Kemudian, belanja modal tercatat Rp 33,4 triliun pada periode akhir April 2022.
Adapun di sisi penerimaan, total pendapatan negara pada periode Januari-April 2022 mencapai Rp 853,6 triliun tumbuh 45,9 persen secara tahunan, ditopang harga komoditas dan perbaikan ekonomi.
Dari realisasi tersebut, penerimaan pajak mampu tumbuh 51,5 persen secara tahunan menjadi Rp 567,7 triliun. Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada periode yang sama naik 35 persen menjadi Rp 177,4 triliun. Selain itu, realisasi penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai tercatat tumbuh 37,7 persen sebesar Rp 108,4 triliun.
Sementara itu, proyeksi penerimaan negara tahun 2022 yang diperkirakan lebih tinggi Rp 420,1 triliun dari target sebelumnya menjadi Rp 2.262,2 triliun.
Meski begitu, Sri Mulyani menegaskan bahwa tak semua kelebihan pendapatan tersebut akan dialokasikan untuk menutup defisit. Pasalnya, belanja negara tetap akan tinggi, terutama untuk belanja subsidi dan program perlindungan sosial.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dengan penyesuaian defisit yang rendah, maka penarikan utang mau tidak mau perlu dipangkas. Fleksibilitas instrumen surat berharga negara (SBN) perlu dioptimalkan pemerintah untuk menjaga rasio utang tetap rendah.
”SBN umumnya mempunyai bunga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman. Namun, SBN sifatnya lebih fleksibel, artinya bisa digunakan untuk beragam kepentingan. Sementara pinjaman pada umumnya memiliki bunga yang lebih rendah, tetapi sifatnya lebih kaku, hanya diperuntukkan untuk kegiatan tertentu,” ujarnya.