PT Bukit Asam Tbk, perusahaan BUMN pada bidang batubara, mencatatkan rekor laba bersih tertinggi dalam sejarah perusahaan, yakni Rp 7,9 triliun, pada 2021. Pada 2022, harga masih tinggi, tetapi produksi sesuai RKAB.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bukit Asam Tbk, perusahaan BUMN pada bidang batubara, mencatatkan rekor laba bersih tertinggi dalam sejarah perusahaan, yakni Rp 7,9 triliun, pada 2021. Tahun 2022 dinilai menjadi momentum baik untuk meningkatkan produksi, seiring harga batubara yang masih tinggi, tetapi tak mengubah target serta memberi porsi lebih besar untuk kebutuhan dalam negeri.
Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA) Arsal Ismail, dalam telekonferensi pers hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahun Buku 2021, Selasa (24/5/2022), mengatakan, pada 2021, PTBA mencatatkan kinerja positif, baik dari segi operasional maupun keuangan. Angkutan kereta api sebesar 25,4 juta ton dan penjualan batubara 28,4 juta ton.
”Pendapatan mencapai Rp 29,3 triliun dengan laba bersih Rp 7,9 triliun. Laba bersih ini sekaligus menjadi capaian tertinggi sepanjang sejarah perseroan,” kata Arsal.
Pada 2021, harga batubara internasional terus menanjak. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, harga batubara acuan (HBA) meningkat dari 75,84 dollar AS per ton pada Januari 2021 menjadi 215,01 dollar AS per ton pada November 2021. Bahkan, pada Mei 2022, HBA mencapai 275,64 dollar AS per ton.
Menurut Arsal, masih tingginya harga komoditas batubara menjadi momentum untuk meningkatkan produksi. ”Namun, kami dari manajemen sudah sepakat, target produksi tetap sesuai rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Kami tak melakukan perubahan dan kami fokus lebih besar untuk dipasarkan di dalam negeri,” kata Arsal.
Dikutip dari situs PTBA, pada 2022, perusahaan tersebut menargetkan produksi batubara sebesar 36,41 juta ton dan target angkutan sebesar 31,50 juta ton. Sementara volume penjualan batubara 2022 ditargetkan mencapai 37,10 juta ton.
Mengenai pengembangan, PTBA salah satunya tengah menyiapkan proyek gasifikasi batubara di Tanjung Enim. Proyek strategis nasional tersebut akan dilakukan selama 20 tahun dengan mendatangkan investor asing, yakni Air Products and Chemicals Inc, dengan nilai investai 2,3 miliar dollar AS, dengan utilisasi 6 juta ton batubara per tahun.
”Dari 6 juta ton batubara tersebut nantinya menghasilkan 1,4 juta ton dimetil eter (DME) per tahun untuk mengurangi impor elpiji sebesar 1 juta ton per tahun. Januari 2022 kami sudah groundbreaking dan saat ini sedang membebaskan lahan. Pelaksanaannya (mulai produksi) ditargetkan pada 2025,” ucap Arsal.
Sejumlah proyek pengembangan lain juga tengah dilakukan PTBA, seperti PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 dengan kapasitas 2x620 megawatt, dengan nilai investasi mencapai 1,6 miliar dollar AS. Selain itu, PTBA juga mulai melakukan ekspansi ke energi terbarukan dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Sementara itu, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PTBA Farida Thamrin menuturkan, realisasi belanja modal (capex) PTBA pada triwulan I-2022 sekitar 32 persen. Ada peningkatan realisasi sekitar 43 persen secara tahunan.
”Sebetulnya ada satu item terkait setoran modal kami ke (PLTU) Sumsel 8. Masalah timing saja. Kami tinggal eksekusi. Semua telah kami cadangkan untuk modal Sumsel 8. Kalau sudah eksekusi, realisasi capex akan lebih dari 50 persen,” ujarnya.
Pembagian dividen
Dalam RUPS tersebut, para pemegang saham menyetujui penggunaan 100 persen laba bersih tahun 2021, sebesar Rp 7,9 triliun, sebagai dividen. Menurut dia, hal tersebut tak akan mengganggu kas keuangan perusahaan.
Arsal melihat arus kas PTBA relatit besar. ”Posisi akhir tahun kemarin sekitar Rp 13 triliun sehingga kalau dibagikan 100 persen atau Rp 7,9 triliun, tidak akan mengganggu kondisi cash perusahaan karena relatif cukup untuk pengembangan PTBA ke depan. Dana di perusahaan masih tersedia,” kata Arsal.