Angkutan Batubara yang Belum Terdaftar Dilarang Beroperasi di Jambi
Angkutan batubara di Jambi dilarang beroperasi bila belum terdaftar dan terafiliasi pada izin usaha pertambangan, izin pengangkutan dan penjualan batubara, atau izin usaha jasa pertambangan per 20 Mei ini.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Angkutan batubara yang belum terdaftar dilarang beroperasi di Jambi mulai 20 Mei 2022. Langkah ini diharapkan mengatasi persoalan kemacetan, dari mulut tambang hingga pelabuhan.
Direktur Lalu Lintas Polda Jambi Komisaris Besar Dhafi mengatakan, sebagai tindak lanjut Surat Edaran Gubernur Jambi tentang penataan dan pengaturan lalu lintas angkutan batubara, diberlakukan kesepakatan baru.
Angkutan batubara dilarang beroperasi jika belum terdaftar dan terafiliasi pada izin usaha pertambangan (IUP), izin pengangkutan dan penjualan (IPP) batubara, dan atau izin usaha jasa pertambangan (IUJP) batubara.
”Ini berlaku mulai 20 Mei mendatang,” ujar Dhafi, Senin (16/5/2022).
Untuk memastikan penegakan kesepakatan, telah dibentuk satuan tugas pengawasan. Satgas terdiri dari kepolisian, satpol PP, dinas perhubungan, dan inspektorat pertambangan.
Menurut Dhafi, ketegasan pemerintah diperlukan demi membenahi kemacetan di jalan publik. Setiap hari, sedikitnya 8.000 angkutan batubara melintasi jalan negara, mulai dari mulut-mulut tambang menuju pelabuhan di Jambi.
Padahal, data Dinas Perhubungan Provinsi Jambi menyebutkan, hanya 1.500-an angkutan batubara yang telah terdata.
Masifnya konvoi angkutan batubara menimbulkan kemacetan parah hingga kecelakaan lalu lintas. Masyarakat pengguna jalan mengeluh dan menuntut solusi.
Menurut Dhafi, sebagian besar angkutan batubara beroperasi dengan sistem pesan dan antar (delivery order). Aktivitasnya semakin masif seiring tingginya permintaan dunia.
Berbagai upaya penindakan di jalan, lanjut Dhafi, telah diupayakan. ”Bahkan, kami telah menahan 100-an angkutan yang melaju dengan kecepatan tinggi,” katanya. Meskipun sudah banyak angkutan ditindak, perbaikan perilaku berlalu lintas di jalan belum signifikan.
Pihaknya menyimpulkan, penindakan di jalan tidak optimal menyelesaikan kemacetan selama aturan tidak ditegakkan. Sudah ada aturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perihal kewajiban usaha angkutan batubara terdaftar atau berafiliasi dengan perusahaan pemegang IUP, tetapi tidak dilaksanakan. Pengawasannya pun tidak berjalan.
”Sebagian besar angkutan batubara beroperasi lewat sistem pesan dan antar. Padahal, sistem ini menyalahi aturan. Akibatnya, distribusi dari mulut tambang hingga pelabuhan menjadi tidak terkendali,” ujar Dhafi.
Kepala Biro Ekonomi Pemerintah Provinsi Jambi Johansyah menambahkan, Gubernur Jambi telah menyurati Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara agar menfasilitasi rapat dengan para pemegang IUP batubara. Rapat ini sebagai tindak lanjut penerapan aturan dan kesepakatan baru.
Selain itu, SE Gubernur Jambi tentang Penataan dan Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara di Provinsi Jambi juga telah mengatur, setiap kendaraan pengangkut batubara hanya boleh keluar dari lokasi tambang atau berada di jalan umum selepas pukul 18.00 setiap harinya.
Setiap angkutan batubara wajib memiliki IUP, IPP batubara, dan atau IUJP batubara.
”Jadi setiap angkutan batubara harus terafiliasi dengan perusahaan pemegang IUP. Operasionalnya menjadi tanggung jawab pemegang IUP, termasuk perihal jam operasional, batas maksimum muatan, dan ketertiban di jalan raya,” ujarnya.
Atas pelanggaran yang terjadi, lanjutnya, akan dikenakan sanksi pada pemegang IUP. Sanksi berupa penghentian sementara waktu pengoperasian produksi sampai pencabutan izin, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM.
Ketua Pelaksana Harian Pengemudi Angkutan Batubara Provinsi Jambi Ning Nawi mengatakan, ada 8.000-an angkutan memenuhi jalan negara di Jambi untuk membawa hasil tambang batubara menuju pelabuhan. Namun, sebagian besar belum terdaftar dan belum berafiliasi dalam usaha pertambangan.
Kondisi itu, lanjut Nawi, dibiarkan selama bertahun-tahun. Tak pernah ditertibkan oleh pemerintah di daerah. Akibatnya, ”serbuan” angkutan batubara yang tak terdaftar semakin masif.
Kondisi kemacetan belakang ini lebih buruk dibandingkan sepuluh tahun lalu saat berlaku pembatasan jumlah angkutan batubara yang melintas. ”Kalau dulu, kan, angkutan batubara yang melintas dibatasi maksimal 3.500 truk per hari. Kalau sekarang, tidak ada pembatasan. Akibatnya macet lebih parah di mana-mana,” katanya.
Ketidaktegasan pemerintah daerah, lanjutnya, tidak hanya merugikan masyarakat pengguna jalan. Pengemudi angkutan batubara turut dirugikan karena ongkos bahan bakar membengkak. Bila sebelumnya biayanya sekitar Rp 270.000 per perjalanan, kini biaya BBM semakin membengkak hingga Rp 350.000 per perjalanan karena macet yang bertambah parah.