Permintaan pasar, okupansi, dan pasokan apartemen masih lesu di tengah turunnya minat investor. Namun, peluang tetap terbuka di tengah pertumbuhan penduduk dan problem kekurangan rumah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
Sejumlah lembaga survei properti memprediksi permintaan pasar terhadap apartemen milik (strata) masih butuh waktu untuk pulih. Kondisi ini berbanding terbalik dengan minat rumah tapak yang terus merangkak naik.
Apartemen sewa (serviced apartment) juga mengalami penurunan tingkat hunian. Dari data Bank Indonesia, permintaan apartemen sewa selama triwulan I-2022 masih tertahan. Sejalan dengan hal itu, ada perlambatan pertumbuhan pasokan pada apartemen sewa secara triwulanan.
Sinyal penurunan penjualan apartemen berlangsung sejak tahun 2015. Colliers Indonesia mencatat, penjualan apartemen melemah hingga masa pandemi Covid-19. Tingkat okupansi apartemen sewa juga menurun, yakni dari 61 persen pada triwulan IV (Oktober-Desember) 2021 menjadi 58 persen pada triwulan I-2022.
Pasokan apartemen ikut tergerus. Jika rata-rata pasokan apartemen tumbuh di kisaran 8.000-17.000 unit per tahun, maka selama masa pandemi pasokan merosot di kisaran 2.000-4.000 unit per tahun. Pada tahun 2022, proyek yang selesai dikerjakan hanya sekitar 4.400 unit atau naik sedikit dibandingkan tahun lalu yang sekitar 4.300 unit.
Salah satu pemicu lesunya pasar apartemen adalah menurunnya minat investor. Pembeli apartemen selama ini didominasi investor. Sedangkan, investor saat ini memiliki banyak pertimbangan, terutama dari sisi bunga bank dan harapan marjin keuntungan. Investasi apartemen saat ini dinilai cenderung belum memberikan imbal hasil yang menarik.
Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (Arebi) mencatat, tekanan pasar apartemen berlangsung baik untuk pasar primer dan sekunder. Adapun pasar apartemen yang ada saat ini lebih memilih bangunan siap huni. Hal itu antara lain turut dipicu banyaknya kasus pembangunan apartemen yang wanprestasi ataupun gagal terbangun sehingga merugikan konsumen. Padahal, peluncuran proyek baru apartemen umumnya berbarengan dengan tahap pra-penjualan alias penjualan sebelum proyek mulai dibangun.
Di tengah tekanan pasar, pemerintah menggulirkan sejumlah insentif fiskal, seperti Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) yang diperpanjang hingga September 2022, pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai (LTV/FTV) rumah yang dibeli, serta suku bunga acuan yang rendah. Namun, tantangan muncul terkait potensi kenaikan suku bunga kredit perbankan, pemberlakuan kenaikan PPN menjadi 11 persen, dan kenaikan inflasi yang dapat semakin menekan sentimen konsumen.
Kebutuhan apartemen sejatinya menjadi solusi kehidupan masyarakat urban di tengah lahan perkotaan yang semakin mahal dan terbatas. Namun, pilihan menetap di apartemen bukan hanya terkait dengan kebutuhan, tetapi juga gaya hidup.
Sebelum pandemi, kehidupan back to the city menjadi pilihan kaum urban. Masyarakat yang bekerja di perkotaan cenderung mencari hunian di dekat pusat kota. Gaya hidup praktis perkotaan, upaya menekan stres akibat kemacetan dan mengoptimalkan waktu mendorong masyarakat mencari hunian vertikal yang mendekati pusat kota dan pusat transportasi massal.
Namun, pandemi Covid-19 sedikit banyak mengubah pola hidup masyarakat. Tren pola bekerja dari rumah (WFH) yang berlanjut menjadi pola kerja hibrida—perpaduan bekerja di kantor dengan bekerja dari rumah—hingga pola bekerja dari mana saja (work from anywhere), membuat orang bisa memiliki banyak pilihan hunian di lokasi mana pun. Kondisi ini menyebabkan permintaan terhadap rumah tapak di pinggiran kota hingga luar kota, dengan lahan dan udara yang lebih segar, lebih banyak diminati ketimbang apartemen.
Penurunan permintaan apartemen tidak berarti pasar apartemen bakal terus melemah. Meski belum akan pulih tahun ini, peluang pasar apartemen masih terbuka di tengah ketersediaan lahan rumah yang kian terbatas. Indonesia dengan jumlah penduduk per September 2020 mencapai 270,2 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,25 persen per tahun masih terbelit masalah kekurangan rumah untuk 11 juta rumah tangga.
Hunian vertikal merupakan solusi permukiman yang mampu menekan persoalan alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman. Di lain pihak, semakin efektifnya pemanfaatan transportasi massal untuk mengurai tingkat kemacetan akan mendorong masyarakat lebih memilih hunian vertikal yang mendekati pusat transportasi massal.
Pencarian properti residensial yang didominasi generasi milenial dan generasi Z berusia 24-41 tahun kini menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Tantangannya adalah bagaimana mengajak generasi milenial dan generasi Z berinvestasi dan membidik tinggal di apartemen. Gaya hidup praktis, kualitas hidup yang baik dan lingkungan sehat, serta hunian multifungsi kian menjadi pilihan. Hunian vertikal dituntut menjawab kebutuhan itu.