Bukan Sekadar Membangun Restoran Indonesia di Luar Negeri
Sebagai upaya mengembangkan restoran Indonesia di luar negeri, pemerintah berencana memetakan jumlah dan persoalan yang dihadapi warga Indonesia yang membuka usaha di luar negeri. Upaya itu dinilai perlu komprehensif.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memetakan restoran Indonesia di luar negeri sebagai bagian dari program Indonesia Spice Up The World. Namun, inisiatif ini dinilai perlu diikuti upaya konkret membenahi industri kuliner nasional, bukan sekadar menambah jumlah restoran.
”Kami bersama Kementerian Perdagangan sedang mendata kembali restoran Indonesia di luar negeri. Mana restoran hanya dikunjungi warga Indonesia dan mana restoran yang sudah populer di kalangan warga lokal,” ujar Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rizki Handayani Mustafa, di Jakarta, Senin (9/5/2022) petang.
Menurut dia, salah satu persoalan yang sempat mengemuka di kalangan pemilik restoran Indonesia di luar negeri adalah bahan baku bumbu. ”Terkait impor bumbu, kami dan kementerian terkait mengupayakan jalan keluar. Jangan sampai malah mengganggu kelangsungan mereka,” kata Rizki.
Indonesia Spice Up The World merupakan program lintas kementerian/lembaga, pemerintah daerah, hingga pengusaha untuk mendorong kuliner Indonesia di luar negeri. Melalui program ini, ekspor rempah diharapkan naik jadi 2 miliar dollar AS, sementara jumlah restoran Indonesia di luar negeri bertambah 4.000 restoran sampai 2024.
Salah satu restoran Indonesia yang telah berekspansi ke luar negeri adalah Kaum, bagian dari Potato Head Family. Di Indonesia. Kaum berlokasi di Bali dan Jakarta. General Manager untuk Potato Head Family area Jakarta Jessica Eveline saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/5/2022), berpendapat, secara potensi, kuliner Indonesia besar. Namun, potensi itu belum digali maksimal. Di setiap daerah mempunyai keunikan serta tantangan pengembangan yang berbeda.
”Kekayaan hasil bumi, budaya, dan tradisi memasak di Indonesia itu besar. Namun, kami mengamati hal itu seringkali tidak tereksplorasi karena kendala ketersediaan barang. Kami sering berhadapan dengan masalah logistik, khususnya mendapatkan dan mendatangkan bahan baku masakan yang spesifik atau jadi ciri khas masakan Indonesia,” ujarnya menjelaskan tantangan mengoperasikan restoran Indonesia di luar negeri.
Tantangan berikutnya adalah ketersediaan bahan baku tersebut. Setelah itu, Jessica menyebutkan, ketika pengusaha sudah berinisiatif membuka restoran di luar negeri, sejauh mana dukungan Pemerintah Indonesia.
Dosen Program Studi Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Dewi Turgarini, saat dihubungi secara terpisah berpendapat, sebelum mengejar penambahan 4.000 restoran Indonesia di luar negeri sampai 2024, pemerintah perlu sosialisasi rencana kebijakan itu sampai ke pemerintah daerah. Sebab, menurut dia, pengusaha kuliner mulai dari skala kecil sampai besar di dalam negeri juga mempunyai peluang setara untuk didukung ekspansi ke mancanegara.
Target menambah restoran Indonesia di luar negeri memerlukan langkah detail. Pemerintah pusat dan daerah perlu mendetailkan rencana kebijakan dengan tetap mempertimbangkan pandangan pengusaha kuliner nasional dan institusi pendidikan.
”Bumbunya perlu standardisasi industri. Apalagi, bumbu bersangkutan akan dijual di luar negeri. Saya kira harus ada standar, selain harus mengikuti ketentuan regulasi negara tujuan,” kata Dewi.
Sementara Co-Founder Feastin.id Kevindra Prianto Soemantri berpendapat, ada berbagai tantangan yang saling berkaitan dalam memajukan restoran Indonesia di luar negeri, baik restoran lama maupun yang akan dibangun. Dari sisi restoran Indonesia yang sudah berdiri di luar negeri, khususnya, ada kecenderungan bersifat neighboorhood restaurant atau restoran yang mayoritas dikunjungi oleh komunitas warga negara Indonesia. Apabila ingin mempromosikan mereka, pemerintah Indonesia seharusnya aktif menggaet komunitas warga lokal.
Dari sisi menu masakan, menurut dia, pemerintah terkesan tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri kuliner hingga subsektor industri kreatif lainnya. Misalnya, film dan televisi. ”Popularitas kuliner bisa terbangun karena budaya populer. Ini yang terjadi pada kuliner negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan,” ujarnya.
Kevindra menambahkan, talenta Indonesia sebagai koki (chef) bisa digali. Dia optimistis secara kualitas tidak kalah dengan asing. Pemerintah Indonesia bisa mencontoh strategi Pemerintah Singapura yang bekerja sama dengan sejumlah restoran top dunia demi mengadakan program pertukaran koki.
”Siapa tahu dari sana, bukan fisik restoran Indonesia dulu yang berdiri, melainkan produk (makanan) Indonesia dikenal semakin luas,” katanya, menambahkan.