Selain momentum Ramadhan dan Idul Fitri, ekspansi dunia usaha juga didorong oleh keputusan pemerintah untuk melonggarkan mobilitas masyarakat. Namun, ekspansi industri menghadapi tantangan terkait daya beli masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan belanja masyarakat pada periode Ramadhan dan hari raya Idul Fitri diyakini bakal menjadi pendorong kinerja industri manufaktur, terutama sektor ritel dan konsumsi. Sayangnya, upaya ekspansi industri pengolahan menghadapi potensi pelemahan daya beli masyarakat yang dipicu oleh lonjakan harga energi.
Geliat industri pengolahan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berada dalam tren peningkatan. Situasi itu setidaknya akan terjadi hingga paruh pertama tahun ini.
Tren ekspansi industri pengolahan terlihat dari proyeksi Bank Indonesia (BI) terhadap Prompt Manufacturing Index (PMI-BI) pada triwulan II-2022 yang diperkirakan akan meningkat menjadi 56,06 persen. Proyeksi ini melanjutkan peningkatan PMI-BI pada triwulan I-2022 (51,77 persen), triwulan IV-2021 (50,17 persen), dan triwulan III-2021 (48,75 persen).
Geliat industri pengolahan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berada dalam tren peningkatan. Situasi itu setidaknya akan terjadi hingga paruh pertama tahun ini.
PMI-BI merupakan komposit indikator yang dibuat untuk memberikan gambaran umum mengenai kondisi sektor industri manufaktur di Indonesia berdasarkan hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU). Indeks di atas 50 menandakan sinyal ekspansi dunia usaha, sementara indeks di bawah 50 menandakan adanya kontraksi dunia usaha.
Tren kenaikan PMI-BI sejalan dengan kenaikan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang naik tipis menjadi 51,3 pada Maret 2022 dari posisi Februari 2022 yang berada di angka 51,2.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan, pada paruh pertama tahun ini, sektor konsumsi dan ritel menjadi sektor pendorong utama ekspansi dunia usaha. Selain momentum Ramadhan dan Idul Fitri, ekspansi dunia usaha pada triwulan II-2022 juga didorong oleh keputusan pemerintah untuk tidak membatasi pergerakan masyarakat.
”Adanya momentum puasa dan Idul Fitri membuat kosumsi makanan dan minuman serta belanja pakaian pasti meningkat. Kemampuan belanja atau konsumsi masyarakat bakal meningkatkan kepercayaan pelaku usaha untuk berinvestasi dan ekspansi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (19/4/2022).
Di sisi lain, lanjutnya, perbankan masih memiliki likuiditas yang cukup baik untuk membiayai rencana ekspansi pelaku usaha pada paruh pertama tahun ini. Oleh karena itu, dia berharap agar BI tidak terburu-buru menaikkan suku bunga dari level 3,5 persen hingga dunia usaha bisa benar-benar pulih untuk melakukan ekspansi.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Andry Satrio menilai, secara umum sektor manufaktur telah mencatatkan pemulihan dari sisi kinerja di periode Januari-Maret 2022. Namun, peluang untuk melanjutkan ekspansi pada triwulan II-2022 menghadapi tantangan kenaikan harga energi.
Menurut Andry, pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk menjaga keseimbangan antara output manufaktur dan permintaan pasar. Upaya untuk menjaga keseimbangan pasar bisa goyah karena sejumlah faktor, di antaranya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan potensi kenaikan harga energi.
”Rencana kenaikan tarif dasar listrik serta BBM jenis lain di luar pertamax juga berisiko menggerus daya beli masyarakat yang berisiko menggerus daya beli masyarakat,” ujarnya.
Dalam keterangan tertulis, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan level PMI Manufaktur Indonesia dalam tujuh bulan beruntun mencerminkan adanya peningkatan nilai tambah dalam aktivitas produksi.
Kinerja PMI yang terus terekspansi, lanjut Airlangga, turut mendorong ekspor sektor industri pengolahan yang pada Maret 2022 mampu tumbuh 23,99 persen secara bulanan atau 29,83 persen secara tahunan. Sektor ini juga mendominasi komposisi ekspor Indonesia dengan porsi mencapai 72,69 persen dari total ekspor.
Sementara dari sisi impor, komposisi utamanya didominasi oleh golongan bahan baku/penolong dengan porsi 77,46 persen dan peningkatan 32,6 persen secara bulanan atau 31,53 persen secara tahunan. Adapun porsi impor barang modal mencapai 14,26 persen, tumbuh 20,31 persen secara bulanan atau 30,12 persen secara tahunan.
”Dominasi dan kenaikan impor bahan baku menunjukkan bahwa impor Indonesia ditujukan untuk aktivitas produktif guna mendorong output nasional, sementara kenaikan pada (impor) barang modal menunjukkan perusahaan manufaktur terus mendorong ekspansi usahanya,” ujar Airlangga.