JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengenakan tarif akses nomor induk kependudukan kepada lembaga swasta komersial perlu mengedepankan prinsip perlindungan data pribadi. Warga sebagai subyek data harus memiliki kontrol kuat. Mereka juga semestinya selalu mendapatkan informasi yang transparan atas kerja sama pemerintah dan lembaga swasta komersial untuk penggunaan data pribadi kependudukan.
”Pengenaan tarif Rp 1.000 per akses nomor induk kependudukan (NIK) sebenarnya bisa dianggap upaya monetisasi data yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Rencana pengenaannya harus ada rujukan hukum karena monetisasi data pribadi harus diketahui dan dipahami sejak awal oleh warga sebagai subyek data,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar saat dihubungi hari Minggu (17/4/2022) di Jakarta.
Selama ini, dia menjelaskan, warga memberikan data pribadi kependudukan untuk diproses oleh negara secara sukarela. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemdagri mengumpulkan 31 jenis data pribadi kependudukan. Data tersebut dimanfaatkan, antara lain, untuk layanan publik dan perencanaan pembangunan. Jika muncul tujuan monetisasi, Wahyudi berpendapat, pemerintah semestinya sejak awal memberikan penjelasan monetisasi di UU.
Lebih jauh, dia mengatakan, warga sebagai subyek data kependudukan harus dilindungi hak-haknya selama pemrosesan data. Artinya, jika tujuan monetisasi sudah tercantum sejak awal di UU Administrasi Kependudukan, warga memiliki peluang menolak atau memberikan persetujuan akses ke data pribadi kependudukan mereka untuk diproses lebih jauh.
”Kekhawatiran kami lainnya, yaitu warga sebagai subyek data tidak diberi tahu secara transparan mekanisme kerja sama antara Kemdagri sebagai pengendali data pribadi dan para lembaga. Bisa jadi data pribadi kependudukan digunakan semena-mena. Apalagi, kini pemerintah mewacanakan pengenaan tarif akses sebagai sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP),” ujar Wahyudi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O Baasir berpendapat, rencana pengenaan tarif akses NIK akan berdampak besar ke masyarakat. Sebab, perusahaan, seperti sektor telekomunikasi yang menggunakan data kependudukan untuk verifikasi dan validasi pengguna nomor layanan seluler, akan memberikan tambahan biaya ke warga.
Di industri telekomunikasi seluler, kata Marwan, jumlah nomor kartu perdana layanan seluler baru yang terjual setiap tahun berkisar 120–150 juta keping. Setiap bulan, rata-rata terdapat 10–12,5 juta keping nomor kartu perdana layanan seluler terjual.
”Konsumen yang berasal dari kelompok menengah ke bawah cenderung masih suka beli-pakai-ganti nomor layanan seluler karena mengejar harga murah,” ujarnya.
Industri telekomunikasi seluler pun telah mengikuti kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 menjadi 11 persen sejak 1 April 2022. Harga paket nomor kartu perdana layanan seluler disertai kuota data termasuk ikut terkerek naik karena kebijakan itu.
”Kami masih menunggu reaksi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menanggapi rencana kebijakan pengenaan tarif akses dokumen kependudukan itu. Kami juga akan memberikan tanggapan resmi kepada mereka,” ucap Marwan.
Baca juga: Lagi, Kebocoran Data Terjadi Tanpa Kejelasan Solusi
Tambahan APBN
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemdagri Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, Kemdagri akan mematok tarif Rp 1.000 per setiap kali akses NIK atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan. Tarif ini dikenakan kepada setiap lembaga swasta komersial yang menggunakan data NIK yang dikelola Kemdagri untuk verifikasi ataupun validasi data pelanggan. Instansi kementerian/lembaga pemerintahan, pemerintah daerah, dan lembaga pelayanan publik, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah, tidak akan dikenai tarif.
Rencana kebijakan itu akan diterapkan tahun ini. Menurut dia, Kemdagri akan mengeluarkan peraturan tentang PNBP tentang pengenaan tarif akses NIK atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan.
Pertimbangan dasar pengenaan tarif adalah untuk menjaga sistem Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemdagri agar tetap hidup dan meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Jumlah penduduk terus bertambah. Jumlah lembaga yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemdagri dan mengakses NIK atau dokumen kependudukan juga naik dari 30 menjadi 5.010. Namun, dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus turun.
”Penerapan PNBP dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia sudah berjalan lama, seperti PNBP dalam pembuatan surat izin mengemudi, pembuatan paspor, dan sertifikat tanah. Nilai Rp 1.000 per setiap kali akses sudah murah (dibandingkan negara lain),” ujar Zudan saat dikonfirmasi pada Sabtu (16/4/2022) di Jakarta.
Zudan menambahkan, pihaknya tidak memasang target nominal perolehan PNBP jika pengenaan tarif akses NIK atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan jadi dijalankan. Semua perolehan, berapa pun nominalnya, dimaknai sebagai tambahan APBN untuk menjaga mutu sistem ataupun layanan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemdagri.
Baca juga: Keamanan Registrasi Nomor Seluler Diutamakan