Data penyusun algoritma tak bisa digunakan begitu saja untuk layanan konsumen. Komunikasi langsung, meski berdasarkan algoritma, akan membuat pemasaran lebih berhasil. Sebab, komunikasi oleh manusia, bukan oleh mesin.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Suatu saat jika Anda sempat ikut kapal pesiar, Anda akan ”ditangani” sejak memesan tiket hingga lepas dari kapal. Begitu Anda memesan tiket dan layanan lain, Anda akan ditawari berbagai hal melalui surat elektronik dan aplikasi. Namun, setelah ditawari melalui kedua kanal itu, ada tawaran dari kanal lain, seperti bertemu langsung, seminar, event, dan pesan melalui telepon di kamar.
Ketika sudah di kapal, Anda akan ditawari berbagai kebutuhan dan produk serta layanan dengan harga menarik. Intinya, Anda diharapkan mengeluarkan uang dari kocek. Sebuah seminar akan dijadikan promosi sebuah produk atau layanan. Paket pelayaran berikutnya ditawarkan dengan harga menggiurkan. Akses internet yang semula mahal akan ditawarkan hingga tamu tergoda membeli.
Mereka bekerja berdasarkan data aktivitas kita di platform, seperti aktivitas harian dan pengeluaran kita, sehingga tersusun algoritma. Melalui algoritma ini, mereka menyajikan layanan yang pas buat para tamu. Namun, tak sekadar mengirim e-mail atau pesan. Kisah penanganan konsumen di kapal pesiar sepertinya jadi contoh betapa algoritma yang terbangun melalui aplikasi tidak cukup untuk begitu saja mengelola konsumen dengan teknologi.
Kita hidup di zaman algoritma, tetapi bila tak pintar memanfaatkannya dan memastikan kapan dipakai dan kapan kanal lain digunakan untuk menunjang, maka upaya Anda akan percuma. Algoritma seperti telah mengatur keputusan di semua bagian kehidupan dan memungkinkan perusahaan jadi lebih berorientasi pada pelanggan. Layanan makin terpersonalisasi. Namun, apa yang terjadi ketika algoritma digunakan untuk mengevaluasi pelanggan?
Sebuah hasil riset berjudul How do Customers React when Their Requests are Evaluated by Algorithms? di laman MIT Sloan Management Review menjungkirbalikkan semua itu. Perusahaan kerap kali terlalu fanatik menggunakan data teknologi yang disebut algoritma. Perusahaan semakin mengadopsi algoritma untuk mengevaluasi informasi yang diberikan oleh pelanggan dan membuat keputusan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan.
Peneliti mencontohkan penggunaan berbagai aplikasi. Aplikasi kencan dan jaringan pribadi bernama Raya menggunakan algoritma untuk memutuskan pelamar mana yang akan diterima sebagai anggota baru. Aplikasi Zendrive digunakan untuk mengevaluasi keterampilan seseorang dalam mengemudi. Hasilnya digunakan untuk menentukan premi asuransi mobil mereka.
Akan tetapi, peneliti menemukan kenyataan, ketika lamaran para calon pelanggan diterima, mereka bereaksi lebih positif ketika keputusan dibuat oleh manusia daripada oleh algoritma. Pelanggan juga mengevaluasi perusahaan secara lebih positif dan cenderung merekomendasikannya kepada orang lain ketika aplikasi mereka diterima oleh manusia.
Permintaan saya diterima karena saya istimewa dan saya pantas mendapatkannya ketika keputusan dibuat oleh manusia daripada oleh algoritma. Sementara algoritma dianggap mengurangi kehormatan setiap pelanggan karena mereka dianggap sebagai angka-angka saja.
Apa yang terjadi ketika lamaran ditolak? Dalam studi disebutkan, pelanggan mengevaluasi perusahaan dengan cara yang sama, terlepas siapa atau apa yang memutuskan. Untuk melindungi harga diri, orang termotivasi menyalahkan orang lain. Ketika permintaan ditolak, pelanggan cenderung menyalahkan algoritma dan manusia.
Sebagai contoh, mereka menyalahkan manusia karena membuat keputusan subyektif dan bias serta menyalahkan algoritma karena mengabaikan atribut unik. Dengan kata lain, ketika keputusan tidak berjalan sesuai keinginan, kita cenderung menyalahkan manusia sebagai manusia seperti halnya kita menyalahkan algoritma sebagai algoritma.
Oleh karena itu, berbagai data penyusun algoritma tak bisa digunakan begitu saja untuk layanan konsumen melalui surat elektronik atau tampilan di aplikasi. Komunikasi langsung melalui berbagai kanal akan membuat pemasaran lebih berhasil. Komunikasi langsung, meski berdasarkan algoritma, di mata konsumen tetap dianggap sebagai komunikasi oleh manusia, bukan oleh mesin.