Empati adalah kunci di tengah situasi pandemi. Perusahaan perlu menunjukkan empati di tengah masalah. Kemudian mencari cara agar relasi tetap terjaga dan mendapatkan tempat khusus di hati konsumen.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Saat pandemi Covid-19 mulai menerjang, seorang pemilik restoran ”melupakan” konsumen begitu saja. Ia repot dengan urusan pandemi. Pemilik usaha kecil lainnya mengalami musibah yang sama, tetapi di tengah masalah ia tetap membuka komunikasi dengan konsumen. Ia tetap berusaha melayani konsumen, meski berat. Ketika pandemi mulai reda, pengusaha pertama kehilangan banyak konsumen, sedangkan pengusaha kedua tetap dikunjungi pembeli.
Kasus ini banyak ditemui. Bahkan jauh sebelum pandemi sekalipun. Sebuah usaha yang tiba-tiba tutup tanpa memberi tahu konsumen karena pemilik sedang memiliki urusan lain kerap tidak bisa mendapatkan kembali konsumen lama. Konsumen lama sudah kecewa. Ketika usaha itu buka kembali, konsumen sudah tidak mau datang.
Konsumen tidak mendapat kepastian bahwa usaha itu akan membantu mereka dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha kok buka-tutup, demikian kata mereka.
Kisah sebaliknya, pemilik usaha yang ketika pandemi terjadi tetap membuka komunikasi dengan konsumen. Mereka membuat jaringan komunikasi melalui Whatsapp, mengumumkan di media sosial bahwa mereka membatasi jumlah konsumen, dan juga menggunakan berbagai kanal untuk menunjukkan mereka tetap ada dan peduli dengan konsumen. Saat itu konsumen belum tentu membeli, tetapi di pikiran mereka restoran itu tetap ada di keseharian mereka.
Kita teringat beberapa kasus konsumen meninggalkan kita. Ada beberapa alasan mereka tidak lagi peduli dengan produk kita. Menurut The American Society of Quality Control, dalam kondisi normal, penyebab utama adalah pelanggan ditolak. Bisa juga karena sikap acuh tak acuh seorang karyawan perusahaan serta konsumen yang kecewa dengan produk dan layanan kita.
Akan tetapi, di tengah situasi pandemi, penyebab itu sepertinya berubah. Apalagi kalau kita membutuhkan relasi dengan konsumen dalam jangka panjang. Klien atau konsumen memerlukan perhatian rutin sehingga mereka merasa dihargai.
Perhatian itu akan menambah kekuatan serta integritas produk dan layanan kita di mata konsumen. Jika kita tidak cukup proaktif dalam berkomunikasi, atau tidak memberikan sentuhan pribadi yang cukup, klien dan konsumen mungkin merasa seolah-olah kita telah meninggalkan mereka.
Jika kita tidak cukup proaktif dalam berkomunikasi, atau tidak memberikan sentuhan pribadi yang cukup, klien dan konsumen mungkin merasa seolah-olah kita telah meninggalkan mereka.
Oleh karena itu, kepedulian terhadap konsumen dengan terus terkoneksi dengan mereka di tengah berbagai masalah adalah penting. Sudah lama hal ini menjadi persoalan dan kerap dibahas. Di tengah pandemi, sikap itu seharusnya muncul meski pemilik usaha juga tengah ditimpa masalah. Konsumen yang juga tengah menghadapi masalah mungkin saja tidak butuh produk para pemilik usaha saat itu, tetapi setidaknya akan mengingat produk yang tetap ada di pikiran mereka.
Studi McKinsey menyebutkan, dengan tutupnya saluran fisik, banyak pelanggan beralih ke saluran lain untuk sekadar bertanya dan membutuhkan perhatian. Perusahaan yang memberikan panduan dan dukungan tambahan kepada pelanggan ternyata dapat mempertahankan komunikasi dan keterlibatan konsumen di tengah masalah yang mengimpit.
Ada juga perusahaan yang meningkatkan pilihan untuk mencari informasi secara digital dan mereka bisa mempertahankan konsumen lama.
Saran dari berbagai kalangan juga makin meyakinkan bahwa tetap terkoneksi dengan konsumen adalah suatu cara agar bisnis kita tetap berlanjut. Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat pun mengingatkan anggotanya, Anda mungkin sudah menawarkan dukungan telepon dan surat elektronik kepada pelanggan Anda, tetapi sekaranglah saatnya untuk meningkatkan kemampuan layanan kepada pelanggan Anda dan memastikan pelanggan Anda dapat menghubungi Anda di mana pun mereka berada.
Pebisnis perlu mencari kanal-kanal untuk berkomunikasi. Media sosial adalah tempat yang baik dan relatif mudah untuk memulai, karena Anda dapat menawarkan pilihan untuk mengobrol melalui Facebook Messenger, Whatsapp, dan platform perbincangan instan lainnya. Bahkan, mereka juga menyarankan, Anda juga dapat menawarkan opsi komunikasi lewat video melalui Skype atau Facetime sehingga pelanggan Anda dapat merasakan ”tatap muka” meski tanpa benar-benar bertemu langsung.
Relasi antara produk atau layanan dan konsumen akibat pandemi sepertinya menemukan makna baru. Produk dan layanan tidak lagi dianggap sebagai sekadar kebutuhan, tetapi bisa menjadi sesuatu yang unik, semisal menjadi teman, pemandu, dan juga penolong pada saat situasi sangat berat. Ketika produk atau layanan kita masuk ke dalam kategori ini, konsumen akan mengganjar lebih ketika pandemi mereda. Mereka akan mendatangi kita dan memberi apresiasi.
Empati adalah kunci di tengah pandemi. Perusahaan perlu menunjukkan empati di tengah masalah. Kemudian mencari cara agar relasi tetap terjaga dan mendapatkan tempat khusus di hati konsumen.
Untuk mendapatkan relasi yang unik, pebisnis belum terlambat membuat komunikasi dan berusaha menjangkau konsumen. Apabila selama ini terjadi kesalahan, sebaiknya segera meminta maaf. Empati adalah kunci di tengah pandemi. Perusahaan perlu menunjukkan empati di tengah masalah. Kemudian mencari cara agar relasi tetap terjaga dan mendapatkan tempat khusus di hati konsumen.
Cara ini akan berhasil apabila pebisnis bisa mengambil langkah melampaui motif komersial atau sekadar cara untung. Keuntungan akan didapat kelak ketika konsumen menilai positif langkah-langkah kita. Maskapai Southwest Airlines pernah diganjar bantuan dan dukungan dari konsumen ketika mereka berada di titik terendah. Konsumen ternyata tidak selamanya hanya sebagai pemakai produk dan jasa, tetapi bisa menjadi teman.