Regulasi Terlalu Longgar, Impor Baja Sulit Dibendung
Banjir impor produk besi dan baja ditengarai sulit dibendung karena faktor regulasi yang justru melonggarkan importasi. Instrumen dagang untuk melindungi industri nasional dari perdagangan tidak adil juga masih terbatas.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Impor produk besi dan baja dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami tren meningkat kendati sempat melandai akibat dampak pandemi Covid-19. Volume impor menguasai hingga 43 persen pangsa kebutuhan nasional hingga menggerus utilisasi industri besi dan baja dalam negeri.
Impor berbagai produk besi dan baja itu ditengarai sulit dibendung karena faktor regulasi yang justru melonggarkan importasi. Selain itu, instrumen dagang untuk melindungi industri baja dalam negeri dari praktik perdagangan yang tidak adil juga dinilai masih terbatas.
Hal tersebut menjadi salah satu isu utama yang diangkat dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Tbk) Silmy Karim, Senin (11/4/1011). Anggota Komisi VI Andre Rosiade mengatakan, persoalan impor besi dan baja sudah menjadi isu menahun yang semakin memburuk karena minimnya dukungan regulasi dari pemerintah untuk melindungi industri domestik.
Ada dua regulasi yang menurutnya bermasalah, yaitu Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 32 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis Impor Besi atau Baja Paduan dan Produk Turunannya. Selain itu, Permenperin Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penerbitan Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk Produk Besi/Baja dan Kabel secara Wajib.
Kedua regulasi yang dikeluarkan saat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto masih menjabat sebagai menteri perindustrian itu masih berlaku sampai sekarang. Menurut Andre, regulasi tersebut justru membuat impor besi dan baja lebih leluasa.
Permenperin Nomor 35 Tahun 2019, misalnya, memberi pengecualian penerapan SNI bagi sejumlah produk baja sehingga membuat produk besi dan baja dari luar lebih mudah menembus pasar dalam negeri. Sementara Permenperin Nomor 32 Tahun 2019 menghapus kewajiban pertimbangan teknis (pertek) terhadap izin importasi bahan baku baja, produk baja, serta turunannya.
”Ini sepertinya menjadi biang kerok mengapa impor baja terus naik dalam jumlah banyak. Bayangkan saja, investasi di industri ini besar, tetapi utilitasnya rata-rata hanya 54 persen dan impor naik sampai 22 persen. Berarti ada yang salah dengan arah keberpihakan pemerintah,” katanya.
Komisi VI pun berencana mengagendakan rapat gabungan dengan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Komisi VII selaku mitra kerja lainnya untuk mendalami persoalan impor besi dan baja. Terlebih, saat ini, kasus dugaan korupsi akibat izin importasi besi dan baja sedang dalam penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Bayangkan saja, investasi di industri ini besar, tetapi utilitasnya rata-rata hanya 54 persen. Berarti ada yang salah dengan arah keberpihakan pemerintah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Krakatau Steel, volume impor HS 72 (produk jadi besi dan baja) sepanjang tahun 2021 meningkat 22 persen dari 4,75 juta ton pada 2020 menjadi 5,80 juta ton. Porsi impor terbesar adalah produk baja cold rolled coil/sheet (CRC/S) sebanyak 1,85 juta ton, meningkat hingga 73 persen dibandingkan dengan tahun 2020.
Sejalan dengan itu, nilai impor besi dan baja sepanjang 2021 juga melonjak. BPS mencatat, impor besi dan baja mencapai 5,34 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 76,66 triliun (kurs Rp 14.357 per dollar AS). Jumlah tersebut meningkat hingga 66 persen dibandingkan dengan nilai impor pada 2020 yang sebesar 3,22 miliar dollar AS atau setara Rp 46,3 triliun.
Sementara itu, tingkat utilisasi produksi industri baja nasional hanya mencapai rata-rata 54 persen. Sebagai contoh, produksi Hot Rolled Coil (HRC) yang mencatat total nilai investasi 1,21 miliar dollar AS, hanya memiliki utilisasi 49 persen. Volume impor HRC meningkat hingga 14 persen pada tahun 2021. Sementara untuk produk CRC/S, dengan nilai investasi 595 juta dollar AS, tingkat utilisasi nasionalnya hanya 41 persen di tengah volume impor yang melonjak sampai 73 persen.
Instrumen perlindungan
Silmy Karim mengatakan, selain faktor regulasi, impor yang tinggi juga disebabkan oleh praktik pengalihan kode HS atau modus circumvention demi menghindari terkena bea masuk di negara tujuan serta demi mendapat potongan pajak ekspor (tax rebate) dari negara asal.
Ia mengatakan, potongan pajak yang diberikan pemerintah China kepada eksportirnya sekitar 9-13 persen, sesuai dengan jenis produknya. ”Untuk produk industri (hulu), kisaran potongan 9-13 persen itu adalah margin kita. Jadi, kalau mereka (eksportir China) bisa mendapatkan tax rebate sebesar itu, otomatis kita sudah tidak bisa lagi berkompetisi dengan sehat," katanya.
Menurut dia, hal itu sebenarnya dapat diatasi dengan mengenakan instrumen dagang untuk melindungi industri dalam negeri (tax remedies), seperti pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) atas sejumlah produk besi dan baja. Namun, kebijakan itu saat ini baru terbatas untuk impor produk baja hot rolled coil (HRC) alloy asal China.
”Masih ada beberapa lagi yang sedang dalam (penyelidikan) sunset review, sejak 2016 sudah habis masa berlaku, tetapi belum diperpanjang sampai sekarang,” kata Silmy.
Lebih lanjut, faktor regulasi juga tidak kalah penting untuk mengendalikan arus impor besi dan baja. Silmy mengatakan, untuk membendung impor, perlu ada penerapan pengenaan SNI dari produk hulu ke hilir secara wajib. Hal tersebut yang saat ini dikecualikan untuk beberapa jenis produk tertentu dalam Permenperin No 35/2019.