Kapasitas produksi produsen baja nasional disebut mampu mencukupi kebutuhan domestik. Namun, volume impor yang tinggi hingga mencakup 43 persen dari total konsumsi baja dalam negeri menggerus utilisasi industri domestik.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri besi dan baja meminta pemerintah mengendalikan arus impor dan menciptakan iklim perdagangan yang lebih kondusif bagi industri dalam negeri. Instrumen kebijakan seperti pengenaan bea masuk antidumping dan implementasi neraca komoditas dibutuhkan agar besi dan baja impor tidak menggerus produk dalam negeri.
Baru-baru ini, pemerintah menetapkan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap impor produk baja hot rolled coil (HRC) alloy asal China. Kebijakan ini diambil berdasarkan hasil penyelidikan Komite Antidumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan yang membuktikan terjadinya dumping untuk produk tersebut sehingga menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri.
Penetapan BMAD itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2022 yang berlaku selama lima tahun sejak peraturan ditetapkan pada 22 Februari 2022. Besaran pungutan bea masuk yang dikenakan terhadap eksportir asal China itu bervariasi antara 4,2 persen dan 50,2 persen.
Menurut Ketua Cluster Flat Product The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Melati Sarnita, instrumen trade remedies seperti itu sangat dibutuhkan industri untuk bertahan menghadapi gempuran impor. Namun, langkah itu perlu didorong agar lebih optimal. IISIA mencatat, masih ada empat produk baja lainnya yang telah diusulkan industri untuk dikenakan BMAD.
Keempat produk itu adalah produk cold rolled coil/sheet (CRC/S) dari Jepang, Korea Selatan, China, Taiwan, dan Vietnam; produk HRC asal Korea Selatan dan Malaysia; produk baja lapis aluminium seng asal China dan Vietnam; serta cold rolled stainless steel (CRS) asal China dan Malaysia.
”Perlu percepatan untuk pengenaan BMAD yang masih tertunda untuk mengamankan pasar dalam negeri, yang secara langsung juga akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pangsa pasar produsen baja nasional,” kata Melati, Senin (4/4/2022).
Lebih lanjut, pemerintah juga diminta untuk segera mengimplementasikan neraca komoditas baja sebagai dasar pemberian izin impor. Dengan demikian, alokasi izin kuota impor dikeluarkan berdasarkan data riil kapasitas industri dalam negeri yang ada di neraca komoditas, tidak hanya lewat rekomendasi kementerian teknis.
”Neraca komoditas dibutuhkan sebagai basis perhitungan kebutuhan produk impor secara lebih adil dan transparan dengan mempertimbangkan kemampuan suplai produsen dalam negeri,” kata Melati.
Tahun ini, neraca komoditas baru diterapkan secara terbatas untuk lima komoditas pangan, yaitu garam, gula, beras, daging sapi, dan produk perikanan. Menurut rencana, lebih banyak produk akan dimasukkan ke dalam neraca komoditas pada tahun 2023.
Tergerus impor
Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Krakatau Steel, volume impor HS 72 (produk jadi besi dan baja) sepanjang tahun 2021 meningkat 22 persen dari 4,75 juta ton pada tahun 2020 menjadi 5,80 juta ton. Porsi impor terbesar adalah produk baja CRC/S sebanyak 1,85 juta ton, meningkat hingga 73 persen dibandingkan tahun 2020.
Data volume dan nilai impor besi dan baja 2021 (Sumber: Badan Pusat Statistik/Krakatau Steel).
Sejalan dengan itu, nilai impor besi dan baja sepanjang 2021 juga melonjak. BPS mencatat, impor besi dan baja mencapai 5,34 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 76,66 triliun (kurs Rp 14.357 per dollar AS). Jumlah tersebut meningkat hingga 66 persen dibandingkan dengan nilai impor pada tahun 2020 yang sebesar 3,22 miliar dollar AS atau setara Rp 46,3 triliun.
Kenaikan impor terus terjadi di awal tahun ini. Pada Januari-Februari 2022, nilai impor besi dan baja 2,34 miliar dollar AS atau Rp 33,71 triliun, meningkat 75,2 persen dibandingkan dengan periode Januari-Februari 2021 dengan nilai impor 1,33 miliar dollar AS atau Rp 19,24 triliun.
Menurut Melati, kapasitas produksi produsen baja nasional sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan baja domestik. Peluang industri baja dalam negeri untuk memenuhi konsumsi baja domestik dan menyubstitusi produk impor terhitung memadai karena tidak ada kendala dalam kapasitas industri baja nasional.
Kalau tidak ada level playing fieldyang sepadan antara domestik dan impor, itu akan mendorong industri domestik untuk mati perlahan.
Konsumsi baja Indonesia pada tahun 2021 sebesar 15,5 juta ton atau naik 2,5 persen dari tahun 2020. Sektor konstruksi menjadi pengguna baja terbesar dengan kontribusi 78 persen, diikuti sektor otomotif 11,3 persen. Sisanya masing-masing 1-3 persen digunakan oleh sektor peralatan rumah tangga, peralatan listrik, industri permesinan, dan alat transportasi lainnya.
Meski demikian, volume impor baja yang tinggi menggerus utilisasi industri baja. Saat ini, impor baja bahkan sudah mencakup 43 persen dari total konsumsi baja. Padahal, produksi dan konsumsi baja diperkirakan akan meningkat seiring dengan berjalannya sejumlah proyek strategis nasional seperti pembangunan ibu kota negara, serta peningkatan industri otomotif.
”Impor yang tinggi ini membuat utilisasi industri baja kita posisinya sangat rendah. Rata-rata hanya 54 persen, masih sangat jauh dari kondisi seperti di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara lain, yang utilisasinya bisa 80 persen,” kata Melati.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, impor sebenarnya bukan sesuatu yang haram karena bisa mendorong peningkatan daya saing industri dalam negeri. Namun, impor yang kebablasan dapat menekan kemampuan industri untuk bersaing.
”Kalau tidak adalevel playing field yang sepadan antara domestik dan impor, itu akan mendorong industri domestik untuk mati perlahan,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyusun neraca komoditas untuk produk besi dan baja domestik. Hal-hal yang perlu didata, antara lain, kebutuhan domestik, utilisasi industri, kapasitas produksi industri, dan kebutuhan impor. ”Kalaupun mau menggunakan mekanisme ini untuk mengeluarkan izin, pengawasannya harus lebih ketat lagi,” kata Andry.