Harga Minyak Goreng Tak Kunjung Stabil, Sejumlah Produsen Mangkir dari Kewajiban
Dari total 75 perusahaan minyak goreng sawit yang sudah berkontrak dengan BPDPKS, baru 55 produsen yang sudah memproduksi minyak goreng curah bersubsidi. Belum semuanya pula menyalurkan hasil produksi sesuai komitmen.
Oleh
agnes theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program minyak goreng curah bersubsidi sudah berjalan selama hampir satu bulan, tetapi harganya masih tinggi di pasaran. Hasil pemantauan pelaksanaan program minyak goreng bersubsidi menunjukkan masih ada 20 produsen minyak goreng sawit yang belum memulai produksi minyak goreng curah dan 11 produsen yang belum mendistribusikan hasil produksinya.
Menurut data Kementerian Perindustrian, ada sebanyak 75 perusahaan minyak goreng sawit yang terlibat dalam program pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan minyak goreng curah bersubsidi bagi masyarakat serta pelaku usaha mikro dan kecil. Mereka sudah mendapat nomor registrasi dan berkontrak dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Meski demikian, dari total 75 perusahaan itu, sampai 7 April 2022 baru 55 perusahaan atau 73,3 persen dari total industri yang berkontrak yang sudah mulai memproduksi minyak goreng curah bersubsidi. Sebanyak 20 perusahaan lainnya sama sekali belum memulai produksi. Sementara dari 55 perusahaan yang sudah mulai memproduksi, belum semuanya menyalurkan hasil produksi sesuai dengan target.
Berdasarkan hasil pemantauan Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (Germak) pada periode 1-9 April 2022 di sembilan provinsi, ada 11 perusahaan minyak goreng sawit yang sama sekali belum menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi. Itu, Antara lain, adalah PT EUP di Pontianak, PT MNOI di Bekasi, PT DO & F di Kota Bekasi, PT AGR Kota Bitung, PT PNP Jakarta Timur, PT IMT Dumai, PT BKP Gresik, PT PPI Deli Serdang, PT PSCOI Bekasi, dan PT IBP di Dumai.
Koordinator Germak, Fahmy Badoh, Minggu (10/4/2022), mengatakan, hal itu menunjukkan masih rendahnya komitmen dan kepatuhan sebagian produsen minyak goreng sawit pada kontrak kewajiban yang sudah disepakati. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022, para produsen ini wajib memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng bersubsidi.
”Lambannya produksi dan distribusi minyak goreng curah bersubsidi ke pasar akan menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga, yang juga memicu permainan di tingkat penjual/pengecer ke konsumen. Ini akan semakin terasa karena kebutuhan minyak goreng akan meningkat pada bulan Ramadhan,” kata Fahmy dalam konferensi pers daring di Jakarta.
Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP) menunjukkan, meski sudah nyaris sebulan, harga minyak goreng curah belum kembali ke level Rp 14.000 per liter sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Per Minggu (10/4/2022), rata-rata harga minyak goreng curah mencapai Rp 18.500 per liter, lebih tinggi 16,35 persen dibandingkan dengan harga Rp 15.900 per liter pada 16 Maret 2022 ketika kebijakan HET mulai diberlakukan bagi minyak goreng curah.
Dari 34 provinsi, hanya dua provinsi, yaitu Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat, yang harga minyak goreng curahnya sesuai dengan HET.
Dari 34 provinsi, hanya dua provinsi, yaitu Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat, yang harga minyak goreng curahnya sesuai dengan HET. Sementara itu, ada 8 provinsi yang yang harga minyak goreng curahnya meroket di atas rata-rata harga minyak goreng nasional, yakni di kisaran Rp 19.931 per liter sampai Rp 28.000 per liter. Sisanya memiliki harga di atas Rp 14.000 dan di bawah Rp 19.000 per liter.
Fahmy melihat ada pola yang serupa dengan kebijakan terkait pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang sempat dilakukan pada awal tahun 2022 untuk produk minyak goreng kemasan. Saat itu, meskipun total DMO disebut terkumpul hingga 573.890 ton dan melebihi kebutuhan konsumsi satu bulan 327.321 ton, kelangkaan minyak goreng kemasan tetap saja terjadi.
Tindak tegas
Fahmy berharap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, dapat terus mengawasi produksi dan distribusi minyak goreng bersubsidi ini sampai ke tingkat distributor dan pengecer. Ia juga berharap pemerintah bisa lebih transparan dengan data hasil pemantauan yang tercatat di aplikasi Sistem Minyak Goreng Curah (Simirah).
”Aplikasi itu sangat diapresiasi, tetapi lebih baik lagi jika janji pemerintah untuk membuka data Simirah itu bisa direalisasikan agar bisa diawasi bersama. Di sisi lain, harus ada teguran keras dan sanksi yang tegas untuk industri yang lamban menjalankan kewajiban supaya bisa meminimalisasi dampak kelangkaan minyak goreng curah di masyarakat,” katanya.
Secara terpisah, Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri mengatakan, dari 20 perusahaan yang belum mulai memproduksi minyak goreng curah bersubsidi itu alasannya bermacam-macam. ”Ada yang mengatakan infrastrukturnya tidak menunjang untuk program minyak goreng curah, ada yang masih khawatir tidak dibayar (oleh BPDPKS), ada yang khawatir minyak goreng kemasannya jadi tidak laku, ada juga yang memang belum menyampaikan alasannya sama sekali,” kata Febri.
Sementara dari 55 perusahaan yang sudah memproduksi minyak goreng curah bersubsidi, ada juga beberapa yang belum memenuhi kewajiban penyaluran sehingga masih ada sejumlah daerah yang belum terpenuhi kebutuhannya. ”Bahkan, ada yang bulan Maret lalu penyalurannya masih nol,” katanya.
Terkait dengan perusahaan yang sudah memproduksi, tetapi belum menyalurkan, Febri mengatakan, ada kemungkinan minyak goreng dalam bentuk curah tidak disalurkan karena dijadikan minyak goreng kemasan. Seperti diketahui, minyak goreng curah diproduksi dengan satu kali pemurnian, sementara minyak goreng kemasan diproduksi dengan dua kali pemurnian.
”Semua pabrik pada dasarnya memproduksi minyak goreng. Persoalannya, apakah mereka menyalurkan minyak goreng itu dalam bentuk curah? Mungkin saja, mereka sudah produksi, tetapi belum didistribusi karena minyak goreng curah itu dimurnikan lagi jadi minyak goreng kemasan atau diekspor,” ujar Febri.
Pemerintah saat ini sedang menelusuri dan bersama kepolisian akan menurunkan tim pengawasan ke perusahaan-perusahaan yang belum menjalankan kewajibannya itu. Akhir pekan lalu, Menteri Perindustrian juga sudah mengirimkan surat teguran melalui asosiasi produsen minyak goreng ke industri yang belum menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi.
”Sebenarnya, apa pun alasannya, itu tidak bisa diterima. Ini program pemerintah dan mereka sudah mendaftar, jadi mereka harus menunaikan kewajiban sesuai dengan komitmen,” ujarnya.
Akhir pekan lalu, Menteri Perindustrian juga sudah mengirimkan surat teguran melalui asosiasi produsen minyak goreng ke industri yang belum menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi.
Pasal 14 dan 15 Permenperin No 8/2022 telah mengatur sanksi kepada perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban itu mulai dari sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, pembekuan izin usaha, serta penghentian pembayaran dana pembiayaan minyak goreng curah bersubsidi oleh BPDPKS.
”Saat ini masih tahap teguran, setelah ini kita lihat responsnya, bakal dilaksanakan atau tidak. Kalau tidak, ada tingkatan sanksi yang lebih tinggi lagi,” kata Febri.
Menurut Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, selama pemerintah hanya mengurusi masalah di hilir (melalui program subsidi atau bantuan langsung tunai), tanpa menindak tegas persoalan di hulu (dugaan praktik kartel atau mafia komoditas), persoalan yang sama akan terus terulang, apa pun instrumen yang digunakan.
”Sekarang terlihat, penyakitnya masih sama, sebelum subsidi minyak goreng curah ini diberlakukan ataupun tidak. Ini karena ada pokok masalah yang tidak disentuh. Ketika persoalan di hulu tidak dibongkar, tetapi mau menyelesaikan di hilir, tentu tidak efektif,” ujarnya.