Pengusaha Tak Boleh Menunggak THR, Pengawasan Harus Diperkuat
Pemerintah dinilai tidak cukup hanya memberikan imbauan untuk membayar THR tanpa penguatan pengawasan di lapangan. Untuk memastikan aturan berjalan, pendekatan seharusnya diubah dari penindakan menjadi pencegahan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Seiring dengan kondisi ekonomi yang mulai lepas dari imbas buruk pandemi, pemerintah tidak lagi membolehkan pelaku usaha untuk menunda atau mencicil pembayaran tunjangan hari raya keagamaan tahun ini. Kendati demikian, untuk memastikan aturan berjalan, pengawasan dan sanksi perlu lebih tegas agar tidak sekadar bagus di atas kertas tetapi melempem dalam penerapan.
Kebijakan tersebut dituangkan lewat Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaaan Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tanggal 6 April 2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang diteken Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada 6 April 2022.
Dalam SE tersebut diatur bahwa THR keagamaan wajib dibayarkan secara penuh dan tepat waktu paling lambat tujuh hari sebelum hari raya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi perusahaan yang mampu diimbau untuk membayar THR keagamaan lebih awal sebelum tenggat.
Berbeda dengan SE pada tahun 2020 dan 2021 yang dikeluarkan di saat pandemi Covid-19 memuncak, kali ini pemerintah tidak memberikan kelonggaran berupa cicilan atau penundaan pembayaran THR. Pemberian THR juga tidak boleh membedakan status pekerja. Pekerja tetap (PKWTT), kontrak (PKWT), buruh harian, pekerja rumah tangga (PRT), buruh alih daya, sampai tenaga honorer, berhak menerima THR.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beralasan, kondisi perekonomian sudah membaik dari dampak pandemi sehingga pengusaha seharusnya sudah lebih mampu untuk menjalankan kewajibannya seperti semula. "Semestinya kemampuan perusahaan telah meningkat untuk memenuhi hak pekerja, termasuk pembayaran THR keagamaan tahun ini," kata Ida dalam konferensi pers, Jumat (8/4/2022).
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) juga mengeluarkan SE M/2/HK.04/IV/2022 untuk mencabut SE pembayaran THR tahun 2020 yang selama dua tahun terakhir ini memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk menunda pembayaran THR. Di dalamnya, pemerintah beralasan bahwa berbagai langkah pemulihan ekonomi telah dilakukan lewat akses kemudahan berusaha, keringanan pemenuhan kewajiban pengusaha, bantuan subsidi upah, serta pembatasan kegiatan masyarakat yang berdampak pada pemulihan aktivitas usaha.
Tahun ini, pemerintah kembali membuka Posko THR 2022. Layanan tersebut dapat diakses pekerja dan pengusaha secara daring melalui poskothr.kemnaker.go.id mulai 8 April-8 Mei 2022. Posko juga tetap dibuka secara luring melalui kantor Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Ketenagakerjaan (PPID Kemenaker) di Jakarta. "Kami harap pengusaha menjalankan kewajiban sebagaimana seharusnya dan para pekerja menerima haknya sesuai ketentuan," kata Ida.
Kemenaker juga mengeluarkan SE M/2/HK.04/IV/2022 untuk mencabut SE pembayaran THR tahun 2020 yang selama dua tahun terakhir ini memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk menunda pembayaran THR.
Terkait tunggakan pembayaran THR tahun 2021, Ida mengatakan, pemerintah telah menyisir 2.205 pengaduan THR yang masuk ke Pos Komando (Posko) THR selama 20 April-12 Mei 2021. Laporan tersebut diverifikasi dan divalidasi dengan melihat aspek kelengkapan data dan duplikasi aduan. Hasilnya, diperoleh 444 kasus pelanggaran THR sepanjang 2021 yang menurutnya sudah tuntas diselesaikan.
Jangan hanya mengimbau
Menurut Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, kendati aturan sudah lebih baik di atas kertas, pemerintah tidak bisa hanya sekadar memberi imbauan agar pengusaha membayar THR. Pasalnya, pelanggaran pembayaran THR sudah kerap berlangsung sejak sebelum pandemi ketika pemerintah tidak memberikan kelonggaran bagi pengusaha.
"Sebelum pandemi saja pengusaha sudah banyak yang nakal dan tidak membayarkan THR. Oleh karena itu, dari jauh-jauh hari, pemerintah jangan sekadar mengimbau saja. Instruksikan ke seluruh jajaran agar dari sekarang rutin mengecek ke perusahaan untuk mencegah ada pelanggaran," kata Mirah.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, kebijakan THR dari tahun ke tahun hanya fokus pada aspek penindakan saja, tetapi tidak ada tindakan pencegahan melalui pengawasan yang lebih kuat. Seharusnya, petugas pengawas ketenagakerjaan dan mediator aktif mengecek kondisi di tiap perusahaan setidaknya tiga pekan sebelum Lebaran.
Apalagi, pemerintah seharusnya sudah memiliki daftar perusahaan-perusahaan yang selama ini kerap melakukan pelanggaran, sehingga praktik serupa tahun ini seharusnya bisa dicegah. Ia pun menilai tidak ada niat politik (political will) dari pemerintah untuk melakukan terobosan. "Saya melihat SE ini sesuatu yang normatif. Tidak ada yang baru. Seharusnya ada langkah baru dari pemerintah untuk memastikan bahwa pada kenyataannya THR ini benar-benar dibayar," ujar Timboel.
Seharusnya ada langkah baru dari pemerintah untuk memastikan bahwa pada kenyataannya THR ini benar-benar dibayar.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mengatakan, membayar THR secara penuh sudah seharusnya dilakukan pengusaha. "Kondisi perekonomian tahun ini sudah lebih baik dari tahun 2020 dan 2021. Sudah seharusnya pengusaha berkomitmen dan dari jauh-jauh hari sudah membuat proyeksi memberikan THR yang memang menjadi hak pekerja," katanya.
Meski demikian, ia menilai pembayaran THR seharusnya tetap fleksibel bagi perusahaan yang masih terdampak kondisi pandemi, khususnya usaha skala mikro dan kecil (UMK). Oleh karena itu, ia meminta agar pengusaha yang belum mampu dibolehkan melakukan dialog bipartit dengan pekerjanya.
"Dalam dialog sosial itu, pengusaha harus memberitahukan apa alasannya belum mampu membayar THR. Hal itu juga harus dilaporkan ke dinas ketenagakerjaan terkait. Pada prinsipnya THR tetap dibayar sesuai regulasi atau dengan mekanisme bipartit," kata Adi.
Hal senada diucapkan Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit. Ia meyakini, sebagian besar pengusaha akan menaati aturan pembayaran THR tahun ini. Namun, ia berharap pemerintah memberi ruang bagi usaha yang tidak sanggup untuk berunding secara bipartit dengan pekerjanya.
"Karena yang tahu kondisi perusahaan itu pekerjanya sendiri. Jangan menutup peluang bahwa ada (usaha) yang masih bermasalah. Akan sulit membayar THR kalau untuk membayar gaji saja masih tersendat," ujarnya.
Di sisi lain, ia juga meminta agar pemerintah konsekuen dengan aturan yang ada. Dengan kata lain, jika ada pengusaha yang memang dengan sengaja melanggar aturan dan melakukan moral hazard, pemerintah harus secara tegas menindak. "Kami harapkan posko yang didirikan pemerintah berjalan. Kalau perusahaan tidak mampu dan bisa menyepakati dengan pekerja (untuk mencicil atau menunda pembayaran), silakan. Tetapi, kalau ada yang memang dispute dan jadi moral hazard, itu memang harus ditindak," kata Anton.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengupahan, sanksi administratif yang dikenakan kepada pengusaha yang melanggar kewajiban THR dimulai dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, sampai pembekuan kegiatan usaha. Pemberian sanksi diberikan secara bertahap. Jika setelah teguran pertama pengusaha tidak juga membayar THR, skala sanksi akan ditingkatkan.