Evaluasi akan dilakukan berkala guna memastikan tarif baru pajak pertambahan nilai (PPN) tidak mengganggu daya beli dan konsumsi masyarakat. Namun, efeknya diyakini bakal menekan konsumsi masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah akan mengevaluasi secara berkala dampak kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN. Langkah ini ditempuh untuk memastikan pengenaan tarif pajak baru tidak mengganggu daya beli dan konsumsi masyarakat.
Pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kenaikan tarif PPN merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo mengatakan, kendati terdapat sejumlah barang dan jasa yang dikeluarkan dari daftar pengecualian PPN, dalam implementasinnya barang dan jasa tersebut masih bebas pajak.
Kebijakan tersebut diambil dengan pertimbangan menghindari gangguan terhadap pemulihan ekonomi yang masih berlangsung. "Implementasi perpajakan memang harus dievaluasi secara berkala sesuai kondisi masyarakat," ujar Suryo saat dihubungi Kamis (7/4/2022).
Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Maria Wiwiek Widwijanti, memastikan pembebasan PPN untuk sejumlah barang dan jasa yang dianggap sebagai kebutuhan primer masyarakat akan berlaku surut. Dia mencontohkan beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayuran sudah tergolong sebagai barang kebutuhan pokok yang bebas pungutan PPN.
Dalam aturan baru, pemerintah akan menetapkan gula konsumsi sebagai barang yang bebas PPN. Dalam peraturan sebelumnya, gula konsumsi tidak tergolong sebagai barang bebas PPN. Maria menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir kenaikan PPN akan memicu kenaikan harga bahan pokok.
Direktur Center of Economics and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai, sewajarnya pemerintah memfasilitasi pembebasan pajak barang yang dikonsumsi masyarakat secara luas, termasuk gula. Namun, mau tidak mau, efek kenaikan PPN tetap akan merembet kepada tertekannya konsumsi masyarakat.
Apalagi, dalam situasi saat ini, masyarakat juga menghadapi lonjakan harga pangan dan energi di tengah periode Ramadan dan hari raya Idul Fitri. "Jadi, meski ada fasilitas pembebasan, kenaikan PPN tetap akan menekan konsumsi masyarakat terutama menengah ke bawah," ujar Bhima.
Keberatan
Sementara itu, terkait Pengenaan pajak pada transaksi aset kripto mulai 1 Mei 2022, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda, berpendapat, tarif pajak terlalu besar dan memberatkan bagi investor dalam negeri. "Sebelumnya, kami telah mengajukan skema Pajak Penghasilan (PPh) final 0,05 persen, tanpa PPN,” kata Teguh.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/2022 menetapkan, penjual aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1-0,2 persen. Regulasi yang sama menetapkan tarif PPN 0,11-0,22 persen untuk transaksi aset kripto.
Menurut Teguh, industri aset kripto di Indonesia relatif masih baru. Tarif pajak yang terlalu tinggi akan membuat investor memilih pedagang aset kripto luar negeri. Situasi itu juga akan menekan volume perdagangan 18 pedagang yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Pengenaan PPN pada jasa layanan teknologi finansial (tekfin) juga dikhawatirkan kontraproduktif. Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, mengibaratkan, bisnis jasa penyelenggaraan tekfin di Indonesia seperti anak baru belajar berjalan. Namun, kehadirannya berdampak positif, seperti naiknya inklusi keuangan.
Ketika pemerintah akhirnya mengenakan PPN atas jasa tekfin, dia khawatir hal itu mendorong masyarakat kembali ke layanan keuangan tradisional, misalnya bertransaksi dengan uang tunai.
Menurut Head of Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda, selain transaksi nontunai, pengenaan PPN dikhawatirkan mengurangi minat masyarakat berinvestasi di platform tekfin.