Pengenaan Pajak Kripto Dinilai Bebani Industri yang Baru Tumbuh
Aspakrindo menilai pengenaan pajak atas transaksi aset kripto bakal memberatkan investor dan industri yang baru tumbuh di dalam negeri. Namun, sebagian menilai ketentuan itu dapat menciptakan sistem pajak yang adil.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengenaan pajak pada transaksi aset kripto sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 dinilai belum mengakomodasi pedagang lokal. Tarif pajak yang telah ditetapkan dalam peraturan itu juga dianggap memberatkan investor dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda, di Jakarta, Rabu (6/4/2022), berpendapat, pemerintah sudah seharusnya melibatkan para pelaku usaha dalam merumuskan peraturan sehingga hasilnya adil bagi industri.
”Tarif pajak saat ini terlalu besar dan memberatkan bagi investor dalam negeri. Sebelumnya, kami telah mengajukan skema Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,05 persen, tanpa Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” kata Teguh.
Dia memandang, regulasi perpajakan semestinya tidak melihat seberapa besar tarif yang harus dikenakan, tetapi mengikuti perkembangan aset kripto yang terjadi di suatu negara. Saat ini, menurut dia, industri aset kripto di Indonesia masih baru sehingga butuh kajian regulasi yang tepat dan tidak mengekang.
Tarif pajak yang terlalu tinggi juga diyakini akan membuat investor merasa rugi dan tidak adil. Sebab, pada saat untung, mereka dipungut pajak. Sementara ketika investor rugi, mereka tidak dapat pengurangan pajak. ”Padahal, investasi di instrumen berisiko tinggi akan penuh dengan ketidakpastian,” kata Teguh.
Tarif pajak yang besar akan membuat investor bisa memilih pedagang aset kripto luar negeri untuk bertransaksi. Dia khawatir, 18 pedagang yang telah resmi terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akan mengalami penurunan volume perdagangan.
Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, saat dihubungi terpisah, berpendapat berbeda. Menurut dia, pengaturan terbaru pengenaan PPN dan PPh bagi aset kripto sejalan dengan agenda pemerintah menciptakan sistem pajak yang adil. Pemerintah mengedepankan kesetaraan perlakuan antara pelaku industri tradisional dan digital di tengah perkembangan model bisnis yang kian terdigitalisasi.
Dia menilai, ketentuan PPN dalam aset kripto pada dasarnya mengikuti paradigma pengakuan aset kripto sebagai komoditas yang diperdagangkan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Adanya perbedaan tarif PPN dan PPh Pasal 22, yaitu antara pedagang fisik aset kripto yang terdaftar dan tidak terdaftar, berarti pemerintah sebenarnya mendorong pedagang kripto untuk terdaftar di Bappebti.
Adanya perbedaan tarif PPN dan PPh Pasal 22 berarti pemerintah sebenarnya mendorong pedagang kripto untuk terdaftar di Bappebti.
”Kehadiran skema withholding tax atau sistem pemotongan pajak dari pihak ketiga yang bersifat final pada dasarnya di peraturan menteri keuangan itu bertujuan untuk mengedepankan kesederhanaan. Situasinya akan berbeda jika pemerintah mengikuti skema capital gain tax atau biaya pajak tambahan penghasilan yang dibebankan pada investor dan wajib dibayarkan sebagai pajak terutang yang diterapkan di beberapa negara lain,” imbuh Bawono.
Mulai 1 Mei
Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto ditetapkan 30 Maret 2022. Peraturan ini akan berlaku mulai 1 Mei 2022.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kemenkeu Neilmaldrin Noor dalam siaran pers, Selasa (5/4/2022), di Jakarta, menegaskan, kripto bukan mata uang atau surat berharga, melainkan merupakan barang berupa hak dan kepentingan lainnya yang berbentuk digital. Oleh karena itu, kripto dipandang sebagai barang kena pajak tidak berwujud.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik(PPMSE)yang memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto (exchanger atau pedagang fisik aset kripto) yang terdaftar di Bappebti dan penyelenggara jasa dompet elektronik aset kripto ditetapkan sebagai pemungut PPNatas penyerahan aset kripto oleh penjual kepada pembeli. PPN yang terutang atas perdagangan kripto dipungut dan disetor oleh PPMSE.
Tarif PPN yang dikenakan adalah 0,11 persenjika transaksi aset kripto dilakukan oleh pedagang aset kripto yang terdaftar di Bappebti. Sementara untuk transaksi di luar pedagang (exchanger) yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN yang dikenakan mencapai 0,22 persen.
Jasa penyediaan sarana elektronik untuk memfasilitasi transaksi aset kripto, seperti jasa exchange dan dompet elektronik,merupakan jasa kena pajak dan dikenai mekanisme umum PPN. Jasa pertambangan atau miningaset kripto merupakan jasa kena pajak yang dipungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 10 persen dari tarif PPN atau 1,1 persen dikali nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang (miner).
Terkait penghasilan yang diterima atau diperoleh, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 menetapkan, penjual aset kripto dikenai PPh 22 final dengan tarif 0,1 persen dari nilai transaksi untuk pedagang fisik aset kripto dan 0,2 persen dari nilai transaksi untuk selain pedagang fisik aset kripto. Kemudian, penambang aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1 persen dari nilai transaksi. Adapun PPMSE atas penyelenggaraan perdagangan kripto dikenai PPh dengan tarif umum dan atas transaksi aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1 persen dari nilai transaksi.