Proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter yang digadang menggantikan elpiji menghadapi tantangan besar di tengah lonjakan harga batubara. Faktor harga batubara menentukan kelayakan dan keekonomian proyek tersebut.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berupaya menggenjot proyek gasifikasi batubara guna meningkatkan nilai tambah hasil tambang sekaligus mengurangi ketergantungan pada elpiji impor. Namun, upaya itu kini menghadapi tantangan, terutama terkait lonjakan harga batubara. Faktor harga batubara menentukan keekonomian dan kelayakan proyek gasifikasi.
Gasifikasi batubara merupakan proses mengolah batubara menjadi dimetil eter (DME) yang akan digunakan untuk menggantikan elpiji. Upaya itu ditempuh Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada elpiji impor yang porsinya mencapai 70 persen kebutuhan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, dalam diskusi publik ”Keekonomian Gasifikasi Batubara” yang digelar Indef, Kamis (7/4/2022), mengatakan, impor elpiji Indonesia (liquefied petroleum gas) rata-rata mencapai 6-7 juta ton per tahun. Apabila berlanjut, konsekuensinya adalah subsidi pemerintah semakin membengkak seiring kenaikan harganya.
Proses gasifikasi 6 juta ton batubara diproyeksikan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME. Menurut Tauhid, upaya gasifikasi penting bagi Indonesia untuk menekan impor elpiji, apalagi di tengah gejolak harga energi dan geopolitik akibat konflik Rusia-Ukraina.
Dalam studi yang dilakukan Indef ditemukan bahwa faktor harga batubara dan DME menentukan kelayakan gasifikasi. Melalui simulasi, proyek gasifikasi dinyatakan layak jika harga batubara 25 dollar AS per ton dan harga DME 0,6 dollar AS per kilogram. Namun, jika harga batubara melonjak atau harga DME lebih tinggi, proyek gasifikasi menjadi kurang layak.
”Kami melihat investasi batubara penting bagi perekonomian. Namun, dengan tingkat harga batubara saat ini, kelayakan gasifikasi menjadi problematik. Sebab, gasifikasi menjadi layak pada level harga batubara 25 dollar AS per ton dan harga DME 0,6 dollar AS per kg,” kata Tauhid.
Dari studi yang dilakukan Indef diketahui rerata harga batubara gasifikasi, yakni 4.200 GAR kilokalori (kcal), mencapai 44,96 dollar AS per ton pada 2009-2022. Pada Februari 2022, harga batubara dengan spesifikasi itu bahkan telah mencapai 92,84 dollar AS.
Oleh karena itu, kata Tauhid, diperlukan pengaturan melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) khusus untuk gasifikasi serta pegaturan harga DME dengan batas bawah 0,6 dollar AS per kg. Selain itu, untuk kelayakan investasi gasifikasi batubara yang nol emisi karbon, diperlukan insentif fiskal 130 juta dollar AS atau setara Rp 1,84 triliun.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, ketidakpastian harga migas serta pengaruh iklim membuat sumber bahan bakar alternatif yang bersih dan ekonomis diperlukan. Sementara pabrik pengolahan batubara untuk produk industri kimia, seperti metanol, polyprophylene, dan DME, merupakan pasar potensial utama di Asia.
Namun, guna mengejar target gasifikasi batubara diperlukan dukungan pendanaan berupa insentif fiskal dan nonfiskal, antara lain penundaan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk proyek gasifikasi batubara. Selain itu, insentif pajak karbon dengan memanfaatkan teknologi bersih, seperti carbon capture, utilizaton, and storage (CCUS), akan menurunkan harga DME sehingga harganya dapat lebih lebih kompetitif dengan harga elpiji.
”Kemudian, perlu ada kepastian alokasi pasar dan penetapan formulasi harga DME, serta memberikan subsidi langsung kepada masyarakat pengguna DME agar tepat sasaran,” kata Satya.
Mengenai CCUS, kata Satya, saat ini kondisinya masih menantang. Pasalnya, dari 28 fasilitas CCUS yang beroperasi di dunia hingga tahun 2020, hanya 9 unit di antaranya yang memiliki kapasitas di atas 1 juta ton per tahun. Selain itu, sebagian besar proyek CCUS berskala besar.
Melimpah
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lana Saria mengatakan, dari sisi ketersediaan, batubara di Indonesia sangat melimpah. Pihaknya juga diminta mengurangi emisi dari energi yang dihasilkan bahan bakar.
Menurut data Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Kementerian ESDM, per 19 Januari 2022, terdapat 91,6 miliar ton sumber daya batubara di Indonesia. Sementara jumlah cadangan batubara mencapai 31,7 miliar ton.
Menurut Lana, dalam program pegembangan dan pemanfaatan batubara, ada sejumlah teknologi hilirisasi. Selain gasifikasi, ada juga liquifaction, briket, kokas, dan ekstraksi batubara. ”Untuk gasifikasi, produk yang disiapkan aadalah metanol dan DME serta SNG (substitute natural gas), amonia, hidrogen, dan olefin,” katanya.
Saat ini, lanjut Lana, sudah ada 11 perusahaan yang berkomitmen dalam mempersiapkan proyek hilirisasi batubara hingga 2030 dan akan menyusul dua perusahaan lagi. Dari semua perusahaan yang sudah bersiap, sudah ada di antaranya yang berproduksi, yakni PT Megah Energi Khatulistiwa (produksi semi kokas), PT Thriveni (coal upgdaring dan briket), serta PT Bukit Asam yang memproduksi briket.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, sejak awal, pihaknya mendukung pengolahan lebih lanjut batubara dengan proses gasifikasi. APBI pun terbuka untuk berkontribusi dalam menyumbang pemikiran agar rencana gasifikasi dapat mencapai tingkat keekonomian.
Sebab, kata kunci dari hilirisasi ialah keekonomian. ”Bagi pelaku usaha, di bidang mana pun, dalam melihat peluang investasi, harus lihat apakah menguntungkan secara ekonomi atau tidak. Mengenai kajian keekonomian, kita harus lihat secara makro. Selain itu, bicara transisi energi, hakikatnya adalah bagaimana penggunaan teknologi bisa mendorong transisi dari energi fosil ke energi yang lebih bersih,” katanya.
Ia menambahkan, dalam gasifikasi, banyak tahap yang harus dilalui dan untuk mencapai keekonomian dan tantangannya tidak mudah. Selain itu, off-taker atau penjamin serta pasarnya juga perlu dilihat. ”Kemudian, yang paling penting ialah konsistensi dari regulasi karena ini berlaku untuk jangka panjang,” ucap Hendra.