Pembenahan pendataan perikanan masih perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan perikanan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
Pemerintah kembali merilis data estimasi stok dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Data ini telah dinanti-nantikan pemangku kepentingan perikanan setelah rilis pemutakhiran data itu mengalami kevakuman selama hampir lima tahun terakhir.
Data stok dan pemanfaatan sumber daya ikan tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, yang ditetapkan tanggal 29 Maret 2022. Pemutakhiran data stok ikan terakhir dilakukan pada tahun 2017 melalui Kepmen-KP Nomor 50 Tahun 2017.
Pendataan kondisi sumber daya ikan diperlukan sebagai landasan pemerintah dalam pengelolaan perikanan. Data yang merupakan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) itu bertujuan memetakan kondisi kesehatan stok ikan nasional, hingga menentukan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) per kelompok jenis ikan.
Berdasarkan data, terlihat penurunan stok kumulatif sumber daya ikan di Indonesia. Jika estimasi stok ikan pada 2017 sebesar 12,5 juta ton per tahun, maka pada tahun 2022 tercatat sebesar 12,01 juta ton per tahun. Adapun JTB ditetapkan 8,6 juta ton. Data stok itu belum termasuk kelompok jenis tuna dan cakalang yang diperkirakan 1,26 juta ton per tahun.
Terdapat 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP-RI) di Indonesia, masing-masing terbagi dalam sembilan kategori kelompok ikan sehingga terdapat total 99 pengelompokan. Hanya 11 kelompok jenis ikan yang statusnya moderat atau kategori zona hijau. Sementara 53 kelompok dalam status penangkapan penuh (fully exploited) atau zona kuning, serta 35 kelompok jenis ikan dalam kondisi penangkapan berlebih (over exploited) atau zona merah. Terdata 4 dari 11 WPP-RI sudah tidak memiliki lagi kategori zona hijau pada kelompok jenis ikan.
Misalnya, WPP 711, meliputi Laut Natuna, Laut Natuna Utara, dan Selat Karimata, masuk kategori penangkapan penuh dan berlebih. Penangkapan berlebih untuk kelompok lobster, kepiting dan rajungan, sedangkan penangkapan penuh pada kelompok ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang, udang dan cumi.
Hal serupa di WPP 718 meliputi Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur masuk kategori penangkapan penuh dan berlebih. Penangkapan berlebih adalah pada kelompok ikan karang dan cumi, serta selebihnya masuk kategori penangkapan penuh. Meski demikian, Komnas Kajiskan mengakui data WPP 718 itu masih menggunakan data tahun 2017 karena ada keraguan terhadap hasil pendataan terkini.
Adapun pada tahun 2017, dari 11 WPP dan 9 kategori per WPP, tercatat 18 kelompok jenis ikan dalam penangkapan moderat, 44 kelompok dalam kategori penangkapan penuh, dan 37 kelompok berstatus penangkapan berlebih yang wajib dikurangi.
Di tengah kondisi stok ikan yang menurun, pemerintah menyiapkan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota tangkapan, lewat sistem kontrak penangkapan ikan. Kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada badan usaha dalam sistem kontrak sejumlah 100.000 ton per tahun atau disesuaikan dengan potensi ikan.
Sistem kontrak itu rencananya akan diuji coba di WPP 718, diikuti pelaksanaan di WPP 711, WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara). Kebijakan penangkapan terukur ditargetkan menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor perikanan mencapai Rp 12 triliun pada tahun 2024.
Pemakaian kembali data lama untuk WPP 718 seharusnya menjadi lampu kuning bahwa masih banyak yang harus dibenahi dalam pendataan. Dengan basis data yang belum optimal, percontohan sistem kontrak di WPP 718 harus dikaji dengan hati-hati agar tidak menjadi bumerang yang semakin menekan stok sumber daya ikan.
Kelemahan data berpotensi memunculkan dua masalah, yakni penangkapan ikan berpotensi berlebih karena kuota tangkapan yang diberikan melebihi daya dukung dan stok ikan. Atau, sebaliknya, penangkapan ikan kurang dari stok riil yang tersedia dan sumber daya kurang termanfaatkan.
Komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa aspek kesehatan ekologi menjadi panglima pembangunan sektor kelautan dan perikanan nasional masih perlu dibuktikan lewat upaya pemulihan stok ikan dan penguatan skema pengawasan hulu-hilir. Pengawasan tidak hanya dari aspek patroli dan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga pemerintah perlu transparan mengumumkan investor dalam dan luar negeri yang mendapat kontrak jangka panjang dan kuota penangkapan ikan yang diberikan. Keberpihakan terhadap nelayan lokal selayaknya mendapat tempat terdepan.
Penangkapan terukur berbasis kuota adalah keniscayaan, mengingat sumber daya ikan di Tanah Air yang semakin terbatas wajib untuk dikelola secara terukur. Namun, masih butuh jalan panjang dalam pembenahan akurasi data, penguatan pengawasan, dan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab guna memastikan penangkapan betul-betul terukur dan mendukung sektor perikanan berkelanjutan.