KKP: Sistem Kontrak Penangkapan Ikan Tidak akan Mundur
Pemerintah memastikan sistem kontrak penangkapan ikan akan diterapkan sebagai bagian dari kebijakan penangkapan ikan terukur. Sejumlah masukan akan ditampung untuk perbaikan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski menuai penolakan sebagian masyarakat, pemerintah memastikan akan menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan sebagai bagian dari kebijakan penangkapan terukur. Uji coba kontrak penangkapan ikan pada zona industri perikanan rencananya dimulai pada Maret 2022. Hingga saat ini, aturan terkait ketentuan sistem kontrak tersebut dalam tahap finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia atau HAM.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi, mengemukakan, pihaknya kini menunggu proses finalisasi di Kementerian Hukum dan HAM terkait rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dengan Sistem Kontrak.
“Pembahasan lintas kementerian dan lembaga untuk harmonisasi aturan itu dijadwalkan pekan depan. Jika aturan sudah terbit, maka (sistem kontrak) bisa langsung jalan,” kata Zaini, saat dihubungi, Sabtu (26/2/2022).
Terdapat empat zona industri perikanan yang akan menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera), WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur), serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara). Uji coba sistem diterapkan di WPP 718.
Total kuota penangkapan ikan yang ditawarkan untuk industri mencapai 5,99 juta ton per tahun dengan perkiraan nilai ekonomi Rp 180 triliun. Hingga pertengahan Februari 2022, pelaku industri yang menjajaki sistem kontrak tersebut berjumlah 20 perusahaan dengan kuota tangkapan berkisar 4,1 juta ton. Sebagian pelaku usaha itu bekerja sama dengan mitra perusahaan asing. Disamping itu, ada pula badan usaha dalam negeri, seperti koperasi di Juwana, koperasi di Bali, serta dua korporasi di Bali.
Sementara itu, rencana pemerintah memberlakukan sistem kontrak penangkapan terukur terus menuai penolakan sejumlah kalangan. Penolakan antara lain disampaikan lewat pernyataan sikap sembilan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL), Rabu (23/2). Pemberian kuota kontrak tangkapan ikan kepada korporasi besar ataupun investor asing dikhawatirkan menyuburkan pengerukan kekayaan laut Indonesia.
Sembilan organisasi itu meliputi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJ), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace Indonesia, Indonesian Center of for Environmental Law (ICEL), Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, dan Yayasan Terangi. Alih-alih menerapkan sistem kuota kontrak, KORAL mengusulkan agar KKP menerapkan perizinan berbasis tingkat kepatuhan kapal penangkap ikan, memperkuat kapasitas dalam pengkajian stok ikan dan pengawasan, serta menutup kegiatan penangkapan ikan dari invasi kapal ikan asing.
KORAL mengusulkan agar KKP menerapkan perizinan berbasis tingkat kepatuhan kapal penangkap ikan, memperkuat kapasitas dalam pengkajian stok ikan dan pengawasan, serta menutup kegiatan penangkapan ikan dari invasi kapal ikan asing.
Ketua Umum Pandu Laut Nusantara, Susi Pudjiastuti, yang juga Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, dalam cuitannya di media sosial, Kamis (24/2), meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk meninjau kembali rencana pemberian kuota dan konsesi wilayah tangkap di laut. Ia menilai, pengelolaan laut jangan disamakan seperti pengelolaan hutan dan hak pengelolaan hutan.
Konsisten
Zaini menyatakan, sistem kontrak berbeda dengan sistem kavling laut. Zona industri perikanan dikelola oleh perusahaan-perusahaan dengan konsesi tangkapan ikan diberikan berdasarkan kuota. Kuota dihitung berdasar kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMOs).
Pihaknya memastikan tetap akan melaksanakan program penangkapan terukur melalui sistem kontrak penangkapan ikan. Kelemahan-kelemahan program baru akan terus dievaluasi dan diperbaiki. “Sistem kontrak pasti akan kita berlakukan. Tidak mungkin mundur. Presiden sudah setuju, menteri setuju, saya tinggal melaksanakan. Tetapi, program baru tentu ada kelemahan-kelemahan. Mari kita perbaiki. Kami memberikan karpet merah untuk masukan-masukan,” ujarnya.
Dari sisi pengawasan, pergerakan kapal perikanan akan dipantau melalui sistem monitoring kapal (VMS) dan sistem identifikasi otomatis (AIS), serta kewajiban setiap kapal untuk sandar hanya di satu pelabuhan. Kamera pemantau juga akan dipasang bertahap di kapal penangkapan ikan. Pemerintah juga akan menerapkan timbangan digital yang terhubung dengan aplikasi yang bisa terpantau secara daring.
“(Pengawasan) ini bukan soal bisa atau tidak bisa. Semuanya bisa dilakukan, hanya tinggal mau atau tidak. Pengawasan ini tugas kita semua, baik pemerintah, aparat pengawasan, maupun LSM,” kata Zaini.
Menurut Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi, pemerintah tetap menjadikan WPP 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda) sebagai pemijahan dan pengasuhan ikan (spawning dan nursery ground) dan sama sekali tidak boleh disentuh industri perikanan tangkap. “Hanya nelayan kecil lokal di bawah 5 gross ton yang boleh,” katanya.