Pemerintah Diminta Jelaskan Aturan Kenaikan Tarif PPN
Petunjuk teknis aturan Pajak Pertambahan Nilai terkait bahan pokok yang penting diperlukan agar aturan tidak multitafsir. Pelaku sektor ritel berharap momentum Ramadhan dan Lebaran tetap bisa mendongkrak penjualan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo menilai pemerintah perlu menjelaskan secara detail aturan terkait pengecualian pengenaan Pajak Pertambahan Nilai/PPN pada barang-barang kebutuhan pokok dan penting. Regulasi yang tegas dan detail diperlukan agar kebijakan kenaikan tarif PPN yang dikecualikan terhadap bahan pokok dan penting tidak multitafsir.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey berpendapat, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen berdampak pada konsumsi masyarakat. Saat terjadi fluktuasi atau kenaikan harga jual beberapa barang kebutuhan pokok, harga bahan bakar minyak/BBM dan elpiji, serta biaya tol, masyarakat juga mulai memasuki bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
Pada Maret 2022 atau sebelum pemberlakuan PPN 11 persen, tingkat inflasi bulanan tercatat 0,66 persen dan merupakan inflasi bulanan tertinggi sejak Mei 2019. Kenaikan PPN dikhawatirkan akan mendorong inflasi naik lebih tinggi lagi.
”Penundaan konsumsi rumah tangga berpotensi terjadi di seluruh lapisan masyarakat, antara lain dengan cara menghemat atau menyimpan dana bagi kelompok masyarakat menengah ke atas serta menahan atau tidak mampu belanja bagi kelompok sosial ekonomi status marjinal,” ujarnya, saat dihubungi, Minggu (3/4/2022).
Industri ritel modern, lanjut Roy, berharap agar periode Ramadhan 2022 mampu mendorong kenaikan penjualan melalui belanja dan konsumsi masyarakat, seperti April-Mei 2021 atau ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 7,07 persen secara bulanan. Namun, kenaikan tarif PPN per April 2022 berpotensi menghilangkan momentum kenaikan penjualan di ritel modern yang telah terpuruk bersama berbagai sektor lain akibat pandemi Covid-19.
Di sisi lain, pemerintah perlu menerbitkan petunjuk teknis secara detail barang kebutuhan pokok dan penting yang dikecualikan terhadap pengenaan tarif PPN ataupun yang bakal terkena tarif PPN. Sebab, 11 barang kebutuhan pokok, seperti beras/gabah, gula, sayur, buah, kedelai, cabe, garam, susu, telur, dan jagung, yang sebelumnya dikecualikan dari PPN kini dijadikan obyek PPN dengan mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Hingga saat ini, Aprindo bersama dengan pelaku berbagai sektor lain, kata Roy, masih menunggu petunjuk teknis atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang HPP, terutama terkait definisi detail bahan pokok dan penting. Petunjuk itu antara lain terkait perubahan atau penambahan jenis barang pokok dan penting yang belum dikenai PPN 11 persen.
”Tanpa aturan yang jelas (pengenaan PPN) terhadap bahan pokok dan penting, ada potensi multitafsir, harga tidak terkontrol, dan menyulitkan pengawasan. Akhirnya, pedagang bisa pukul rata bahan pokok dan penting dikenai PPN,” ujarnya.
Sebelumnya, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022 akan berdampak langsung terhadap inflasi. Ia mengalkulasikan kenaikan tarif PPN bisa menambah inflasi hingga 0,35 persen.
”Terlebih lagi periode implementasi tarif baru PPN bersamaan dengan bulan Ramadhan, yang secara historis selalu mendorong inflasi bulanan meningkat,” ujarnya (Kompas 24/3/2022).