Sejalan dengan semakin terkendalinya kasus harian Covid-19, penyesuaian pembiayaan mulai dilakukan melalui penyesuaian jumlah, tenor, waktu, serta komposisi mata uang dari SBN yang akan diterbitkan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bertekad untuk memangkas utang negara tahun ini dengan berbagai cara, salah satunya mengurangi penerbitan surat berharga negara atau SBN. Penerbitan surat utang direm demi mengejar target defisit fiskal di bawah 3 persen produk domestik bruto di tahun 2023.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir mengatakan, rencana penurunan target utang utamanya akan dilaksanakan dengan mengurangi penerbitan SBN.
”Ini dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip fleksibilitas dalam pelaksanaannya, kondisi kas, dan biaya atau risiko portofolio utang,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (29/3/2022).
Pengurangan penerbitan SBN dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip fleksibilitas dalam pelaksanaannya, kondisi kas, dan biaya atau risiko portofolio utang.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi pembiayaan utang periode Januari-Februari 2022 mencapai Rp 92,9 triliun. Nilai ini tercatat turun 66,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 273,8 triliun.
Dari total realisasi utang tersebut, realisasi penerbitan surat utang sepanjang Januari-Februari 2022 hanya Rp 67,7 triliun, turun 75,1 persen secara tahunan. Sementara realisasi penarikan pinjaman pada periode yang sama mencapai Rp 25,2 triliun, naik tajam 954,4 persen dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 2,4 triliun.
Riko mengatakan, sejalan dengan semakin terkendalinya kasus harian Covid-19, penyesuaian pembiayaan mulai dilakukan melalui penyesuaian jumlah, tenor, waktu, serta komposisi mata uang dari SBN yang akan diterbitkan. Sementara itu, pada saat yang sama pemerintah masih memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia dalam skema burden sharing untuk membiayai APBN.
Sebelumnya dalam konferensi pers APBN Kita, awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan penerbitan utang akan membantu pemerintah menghindari risiko dari sektor keuangan.
”Ini hal yang bagus karena risiko bergeser kepada sektor keuangan dengan adanya Fed Fund Rate yang meningkat, inflasi tinggi, suku bunga naik, dan ini memengaruhi yield SBN, tentu harus kita jaga,” ujar Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan berkomitmen untuk menjaga kesehatan APBN agar dapat menjalankan fungsi peredam kejut untuk melindungi masyarakat dan ekonomi dari ketidakpastian global yang menyebabkan peningkatan harga komoditas hingga pada akhirnya memengaruhi inflasi global.
Sri Mulyani juga menargetkan penurunan utang tunai hingga Rp 100 triliun pada tahun ini. Meski begitu, ia memastikan hal itu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan perkembangan kondisi pasar dan fiskal.
”Kementerian Keuangan masih berkoordinasi dengan BI dalam kondisi pasar yang volatile dengan masih melakukan burden sharing melalui Surat Keputusan Bersama (SKB),” ujarnya.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai, keputusan pemerintah untuk mengurangi pembiayaan utang di saat perekonomian domestik mulai pulih adalah langkah yang tepat. Hal ini dapat mengurangi beban APBN dari kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang di masa mendatang.
”Terlebih lagi tahun depan defisit fiskal diamanatkan untuk ada di bawah 3 persen PDB (produk domestik bruto). Artinya pengurangan dari sisi penerbitan SBN sangat penting untuk dilakukan,” ujar Eko.
Pengurangan penerbitan SBN juga penting untuk pemulihan ekonomi karena dapat menghindari dana-dana sektor keuangan yang mengendap di SBN. ”Dengan berkurangnya SBN, dana bank bisa dialirkan ke sektor rill untuk mendukung pemulihan ekonomi secara langsung,” kata Eko.
Tingkat kepemilikan asing pada SBN menunjukkan penurunan hingga akhir triwulan I-2022. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga pertengahan Maret 2022, kepemilikan asing tercatat Rp 865,49 triliun atau 18,15 persen dari total SBN.
Angka itu lebih rendah bila dibandingkan dengan kepemilikan pada awal Januari 2020 yang mencapai Rp 894,21 triliun atau 19,11 persen dari total surat utang. Adapun pada Januari 2021, investor asing memiliki 25,29 persen atau Rp 978,99 triliun dari total SBN.