Santunan Kecelakaan Lalu Lintas 2021 Capai Rp 2,41 Triliun
Kecelakaan lalu lintas dalam dua tahun di masa pandemi Covid-19 relatif tak terjadi peningkatan drastis. Namun, santunan Jasa Raharja tahun 2021 mencapai Rp 2,41 triliun.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecelakaan lalu lintas dalam kurun dua tahun di masa pandemi Covid-19 relatif tak terjadi peningkatan drastis. Namun, fatalitas kecelakaan lalu lintas terus bertumbuh. Hal itu tergambar dalam besar santunan PT Jasa Raharja yang menunjukkan kenaikan. Nilai santunan yang diserahkan Jasa Raharja pada 2021 mencapai Rp 2,41 triliun atau naik 3,3 persen dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar Rp 2,33 triliun.
Dari total santunan tahun 2021, Rp 1,29 triliun diperuntukkan bagi ahli waris korban kecelakaan yang meninggal. Sementara santunan bagi korban luka-luka mencapai Rp 1,117 triliun.
Direktur Operasional Jasa Raharja Dewi Aryani Suzana dalam webinar ”Safety Campaign: Psikologi Lalu Lintas”, Kamis (24/3/2022), di Jakarta, mengatakan, ”Yang sangat memprihatinkan, jika dilihat dari populasinya, 42,7 persen kecelakaan menimpa korban usia produktif di kisaran usia 26-56 tahun. Sementara 37,3 persen dikategorikan pelajar dan mahasiswa atau usia 11-25 tahun. Dilihat secara jender, 68,23 persen adalah laki-laki, sedangkan sisanya perempuan.”
Menurut Dewi, bukan nilai santunan yang dikhawatirkan, melainkan beban dampak ekonomi bagi korban kecelakaan. Berdasarkan kajian Jasa Raharja, apabila mereka yang meninggal adalah kepala keluarga atau berperan sebagai tulang punggung keluarga, dampaknya akan memiskinkan anggota keluarganya sebesar 62,5 persen. Sementara korban luka-luka akan memiskinkan 20 persen.
Terdorong tingginya fatalitas kecelakaan ini, Jasa Raharja terus bermitra dengan pemangku kepentingan terkait keselamatan berkendara untuk menekan angka kematian. Dari kajian Jasa Raharja, salah satu penyebab kecelakaan adalah kurang kompeten atau mampunya pengendara mengoperasikan kendaraan.
Ketua Himpunan Keselamatan Transportasi Masyarakat (Hikatama) Irwan Nasir menambahkan, jumlah kecelakaan transportasi jalan di Indonesia menunjukkan tren meningkat dalam dua tahun terakhir. Direktorat Penegakan Hukum Korlantas Polri mencatat, tahun 2021 terjadi kecelakaan lalu lintas secara nasional sebanyak 103.645 kasus atau naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 100.020 kasus. Sementara jumlah korban meninggal tahun 2021 sebanyak 25.265 jiwa atau naik dari tahun 2020 sebanyak 23.529 jiwa.
Menurut Irwan, data statistik ini tentunya masih jauh dari yang diharapkan, terutama menyangkut target pemerintah dalam dokumen perencanaan keselamatan jalan. Tingkat fatalitas kecelakaan di Indonesia masih tergolong tinggi. Beberapa laporan mengklaim bahwa 80 persen kecelakaan diakibatkan oleh kelalaian manusia, sisanya diakibatkan faktor alam, infrastruktur jalan, dan kendaraan.
Direktorat Penegakan Hukum Korlantas Polri mencatat, tahun 2021 terjadi kecelakaan lalu lintas secara nasional sebanyak 103.645 kasus atau naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 100.020 kasus.
Aspek psikologis
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (FKUI) Prof Guritnaningsih mengatakan, tingginya angka kecelakaan bukan sekadar jumlah, melainkan fatalitasnya yang sangat tinggi. Ketika berkendara, sebetulnya ada empat hal yang berperan dalam keselamatan, yaitu pengendara itu sendiri; kondisi infrastruktur jalan yang meliputi keberadaan rambu-rambu lalu lintas hingga penerangan jalan; faktor lingkungan menyangkut cuaca, kondisi kemacetan jalan, dan perilaku pengguna jalan; serta unsur kendaraannya.
Di antara empat faktor itu, penyumbang terbanyak kecelakaan adalah pengendara itu sendiri. Dalam psikologi, menurut Guritnaningsih, perilaku orang merupakan fungsi dari diri dan lingkungannya. Reaksi dan interaksi orang itu sendiri sangat menentukan dan tidak bisa melihat secara terpisah sekadar faktor infrastruktur jalan, lingkungan, atau kendaraan.
”Interaksi antara pengendara dan lingkungan sangat menentukan. Faktor pengendara kini sering menjadi perhatian. Selama ini, kecelakaan sekadar dilihat atau terjadi akibat human error, tetapi sebenarnya, jika lebih mendalam, mengapa terjadi human error? Banyak juga kecelakaan yang dikaitkan dengan infrastruktur dan kondisi geografis lingkungan,” ucapnya.
Di dalam masyarakat, kegiatan berkendara acap kali sekadar bisa mengoperasikan kendaraan. Terlihat, banyak anak di bawah umur sudah dibiarkan naik sepeda motor. Orangtua kerap kali hanya menunjukkan bahwa posisi kaki sudah bisa sampai ke bawah untuk sekadar menopang, menahan kendaraan, serta mengoperasikan fungsi-fungsi gas dan rem kendaraan.
Padahal, perilaku berkendara tidaklah sesederhana itu. Situasi jalan raya dapat berubah secara cepat. Banyak hal berubah karena ada kendaraan lain dan pengguna jalan lain. Pengendara sangat menentukan dalam bertindak mengoperasikan kendaraannya.
”Berkendara di jalan raya tidak hanya memerlukan keterampilan psikomotorik atau fungsi-fungsi fisiologis, tetapi juga banyak hal yang menentukan berkendara di jalan raya, antara lain motivasi berkendara atau bersikap terhadap pentingnya berkendara secara aman,” ujarnya.
Yang sering kali dilupakan, lanjut Guritnaningsih, berkendaraa di jalan raya sesungguhnya merupakan sistem sosial. Dibutuhkan situasi untuk berinteraksi dan beradaptasi menampilkan perilaku yang adaptif terhadap hal-hal yang ditemui di jalan raya.
Menurut Dewi Maulina, Lektor Fakultas Psikologi UI, ketika menganalisis tingkah laku yang terjadi di jalan raya, ada tiga pendekatan, baik dari sisi kognitif, kepribadian pengendara, maupun sisi sosial emosionalnya.
”Dari sisi kognitif, pengendara memusatkan perhatian dan mengolah berbagai informasi ketika sedang mengemudi di jalan raya. Manusia memiliki kapasitas kemampuan mengolah yang terbatas. Begitu banyak informasi yang dilihat, tidak seluruhnya bisa diolah dengan baik sehingga mengarahkan pengendara pada kesalahan-kesalahan yang akhirnya mengalami kecelakaan,” kata Dewi.
Dari sisi kepribadian, biasanya ada pemicu-pemicu kepribadian tertentu yang bisa mendorong pengendara menampilkan perilaku-perilaku tidak aman. Di sisi lain, dari sisi emosional, kebutuhan atau motivasi dan tujuan berkendara akan mengarahkan perilaku pengendara. Misalnya, kebutuhan untuk cepat sampai tujuan dan tepat waktu bisa mengarahkan pengendara untuk berperilaku buru-buru dengan laju yang lebih cepat.
Sementara aspek kognitif yang berperan biasanya meliputi atensi, persepsi risiko dan kemampuan mendeteksi atau merespons dengan tepat terhadap potensi bahaya, serta mempersepsi jarak secara akurat.