Krisis telah menjadi ujian paling nyata dari kualitas regulasi. Semakin besar krisis, semakin nyata juga tuntutan perubahan regulasi. Pemerintah tak harus menunggu krisis lebih besar lagi untuk melakukan perbaikan nyata.
Oleh
A Prasetyantoko
·5 menit baca
Krisis menandai situasi tak terkendali yang diikuti hiruk-pikuk kepanikan. Begitu pula yang terjadi dengan krisis minyak goreng belakangan ini. Bahkan mitigasi melalui penerbitan enam kebijakan Kementerian Perdagangan tak mampu membuat barang tersedia dengan harga terjangkau. Regulasi belum mampu membangun keseimbangan antara mekanisme pasar dan kepentingan publik.
Paling tidak ada dua faktor fundamental yang memicu krisis minyak goreng. Pertama, kenaikan harga komoditas, terutama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar global. Kedua, kegagalan merancang sekaligus melaksanakan kerangka regulasi yang mengatur pasar minyak goreng di dalam negeri.
Masalahnya, faktor harga komoditas sangat terkait dengan perkembangan global yang tidak bisa dipengaruhi. Karena itu, perlu mitigasi lebih baik dalam hal rancangan dan pelaksanaan regulasi di pasar domestik.
Bukan menurun, krisis komoditas di pasar global diperkirakan justru meningkat pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Perang telah memicu krisis komoditas, baik pangan maupun energi, menjadi salah satu yang terburuk sejak 1973. Rusia merupakan produsen gandum terbesar yang menyumbang sekitar 18 persen total produksi global.
Bersama dengan Ukraina, peranannya dalam produksi gandum dunia mencapai sekitar 25 persen. Semakin panjang konflik Rusia dan Ukraina, semakin parah krisis gandum, sehingga diperkirakan akan menjadi krisis gandum terburuk dalam seratus tahun terakhir. Minyak mentah WTI sempat menyentuh 123,70 dollar Amerika Serikat per barel pada 8 Maret lalu pasca-invasi Rusia. Begitu pun harga batubara serta CPO.
Kenaikan harga komoditas di satu sisi menguntungkan perekonomian kita. Neraca perdagangan Februari 2022 tercatat surplus sebesar 3,83 miliar dolar AS atau naik dari surplus Januari yang hanya sebesar 960 juta dollar AS.
Dari sisi penerimaan bea dan cukai, kenaikan harga komoditas akan menambah potensi penerimaan yang sudah cenderung tinggi. Pada bulan Januari 2022 ini saja, penerimaan dari kepabeanan dan cukai mencapai Rp 24,9 triliun, dengan penerimaan bea keluar melonjak 225 persen.
Krisis Ukraina akan menolong penerimaan fiskal kita sehingga defisit bisa ditekan. Demikian pula, cadangan devisa yang diperkirakan terus naik. Hal ini bisa menjadi modal menghadapi tekanan nilai tukar akibat pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed.
Krisis Ukraina akan menolong penerimaan fiskal kita sehingga defisit bisa ditekan. Demikian pula, cadangan devisa yang diperkirakan terus naik. Hal ini bisa menjadi modal menghadapi tekanan nilai tukar akibat pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed.
Di sisi lain, kenaikan harga komoditas akibat perang juga menimbulkan persoalan. Pengaturan kecukupan pasokan dalam negeri untuk beberapa komoditas pokok menjadi semakin menantang. Apalagi, situasi ini terjadi saat regulasi di pasar domestik terlihat tak mampu mengendalikan dinamika akibat lonjakan harga.
Mengatur mekanisme pasar
Sebelum krisis Ukraina, sudah terjadi kecenderungan kenaikan harga komoditas akibat macetnya mata rantai pasok global pascapandemi. Begitu pemulihan ekonomi mulai terjadi, barang tak mencukupi kebutuhan sehingga harga naik.
Terhadap kecenderungan ini, pemerintah kita mengambil kebijakan penerapan aturan pembatasan ekspor untuk beberapa komoditas utama, khususnya batubara dan minyak sawit. Melonjaknya harga batubara membuat pasokan ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkurang. Sementara kenaikan harga minyak sawit membuat bahan baku minyak goreng di pasar domestik merosot.
Itulah mengapa pemerintah menerapkan aturan wajib pasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) baik untuk batubara maupun minyak sawit mentah. Sayangnya, keduanya gagal meregulasi pasar.
Kewajiban memenuhi pasokan batubara sebesar 25 persen dari total produksi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22.K/30/MEM/2020 hanya berumur 11 hari. Sementara itu, Menteri Perdagangan juga akhirnya mencabut kebijakan wajib pasok kebutuhan dalam negeri serta penetapan harga minyak sawit pada Rabu (16/3/2022). Pencabutan dua aturan ini akan diganti dengan kenaikan pungutan ekspor dan bea keluar agar pengusaha lebih tertarik menjual CPO ke dalam negeri.
Penerapan dua aturan sekaligus, yaitu pembatasan ekspor dan penerapan harga eceran tertinggi, membuat barang tidak tersedia di pasar. Minyak goreng sempat hilang dari peredaran. Operasi pasar tak mampu membuat kebutuhan domestik tercukupi, sekaligus menandakan pasokan yang merosot tajam. Dari sana muncul tuduhan permainan kartel minyak goreng.
Struktur minyak goreng memang cenderung dikuasai oleh segelintir pelaku usaha. Empat pengusaha menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng sehingga pasokan dan harga bisa dikendalikan oleh segelintir pelaku. Meski begitu, pemerintah memiliki instrumen kebijakan berikut otoritas untuk meregulasi mekanisme pasar. Pada prinsipnya mekanisme pasar tidak bisa dilawan, tetapi bisa dikelola dengan berbagai insentif. Kerangka inilah yang digunakan guna mengendalikan pasar minyak goreng.
Pemerintah memiliki instrumen kebijakan berikut otoritas untuk meregulasi mekanisme pasar. Pada prinsipnya mekanisme pasar tidak bisa dilawan, tetapi bisa dikelola dengan berbagai insentif.
Persoalannya, rancangan kebijakan dalam meregulasi pasar harus dijalankan sampai ke level teknis, seperti kepastian serta pengendalian pasokan. Dalam hal sembilan bahan pokok sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, pengelolaan pasokannya bisa dikendalikan melalui Badan Pangan Nasional. Bagaimana dengan komoditas lain di luar bahan pokok, seperti minyak goreng ini?
Meregulasi pasar, selain perlu instrumen berupa insentif (seperti pemberian subsidi), juga perlu sistem kelembagaan yang mampu menertibkan perilaku para pelaku pasar. Setelah kebijakan diambil, koordinasi serta pemantauan di lapangan menjadi kunci.
Krisis telah menjadi ujian paling nyata dari kualitas regulasi. Semakin besar krisis, semakin nyata juga tuntutan perubahan regulasi.
Terbitnya enam aturan Kementrian Perdagangan menunjukkan diskrepansi dari fase perencanaan kebijakan, implementasi, ataupun penindakan terhadap penyimpangan. Krisis telah menjadi ujian paling nyata dari kualitas regulasi. Semakin besar krisis, semakin nyata juga tuntutan perubahan regulasi. Pemerintah tak harus menunggu krisis lebih besar lagi guna melakukan perbaikan nyata dalam berbagai regulasi pasar di masa depan.
Krisis Ukraina tampaknya akan mengubah arah jalannya perekonomian global. Berbagai macam krisis, seperti dalam komoditas pangan, diperkirakan akan terus terjadi. Menghadapi perubahan situasi ini, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan melakukan koordinasi dan komunikasi yang efektif dengan para pelaku pasar agar mampu meregulasi pasar jika memang diperlukan. Ini demi melindungi kepentingan domestik, seperti ketersediaan pangan di masa depan.