Ketidakpastian kondisi ekonomi global akibat ekses pandemi dan ketegangan geopolitik akhir-akhir ini berpotensi mengganggu pemulihan sektor swasta, menghambat investasi serta penciptaan lapangan kerja baru.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 resmi memasuki tahun ketiga. Kendati kini berangsur melandai dan diiringi kondisi perekonomian yang lebih baik, badai belum sepenuhnya berlalu. Dampak jangka panjang pandemi yang mendisrupsi sektor ketenagakerjaan bisa mengguncang pasar kerja untuk waktu yang cukup lama.
Sekilas, angka pengangguran memang menurun meski belum kembali lagi ke level pra-pandemi. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 adalah 6,49 persen dari total angkatan kerja atau sebanyak 9,1 juta orang, menurun dari kondisi Agustus 2020 dengan TPT 7,07 persen atau 9,7 juta orang.
Jumlah pengangguran yang secara langsung diakibatkan oleh pandmei Covid-19 juga menurun dari 2,56 juta orang pada 2020 menjadi 1,82 juta orang pada 2021. Demikian pula, jumlah penduduk bekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sementara tidak bekerja karena pandemi menurun dari 1,77 juta orang pada 2020 menjadi 1,39 juta orang pada 2021.
Namun, tingkat pengangguran bukan satu-satunya indikator untuk menilai pulih atau tidaknya sektor ketenagakerjaan. Sebab, kendati pengangguran dan jumlah PHK menurun, yang sebenarnya sedang terjadi adalah realokasi tenaga kerja atau pergeseran dari pekerjaan formal ke informal atau dari status kerja tetap menjadi kontrak.
Dengan kata lain, meskipun laju PHK selama pandemi berhasil ditahan dan masyarakat kembali terjun ke dunia kerja, kualitas bekerja, baik dari segi upah, kepastian, dan perlindungan kerja, justru menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
Data Sakernas menunjukkan, jumlah pekerja yang terserap di sektor informal meningkat dibandingkan dengan kondisi pra-pandemi. Pada Agustus 2019, pekerja informal adalah 55,72 persen dari total angkatan kerja (70,49 juta orang), sedangkan pada Agustus 2021, pekerja informal meningkat ke 59,45 persen (77,91 juta orang).
Mereka yang kehilangan pekerjaan dan sulit mencari kerja di masa pandemi memilih membuka usaha sendiri atau membantu usaha orang lain tanpa dibayar atau dengan bayaran minim. BPS mencatat, pekerja yang berusaha sendiri meningkat dari 20,22 persen pada Agustus 2019 menjadi 20,78 persen pada Agustus 2021. Pada periode yang sama, jumlah pekerja keluarga yang tidak dibayar juga naik dari 11,53 persen menjadi 13,68 persen.
Kehadiran program seperti Kartu Prakerja ikut mendukung fenomena ini. Melalui program semi bansos tersebut, jumlah wirausaha meningkat sekitar 13 persen selama pandemi. Mayoritas peserta menjadikan jatah bantuan uang tunai sebagai modal memulai usaha.
Hal ini menjadi pedang bermata dua. Meski di satu sisi bertambahnya wirausaha bisa menjadi hal baik, tanpa dukungan pendampingan, bantuan modal, dan akses pasar yang memadai, kondisi ini hanya akan menambah informalitas pasar kerja dan memupuk kondisi kerja yang buruk.
Fenomena ini juga terjadi di banyak negara berkembang di kawasan ASEAN. Mengutip laporan riset Covid-19 and Labor Markets in Southeast Asia oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Desember 2021, di banyak negara berkembang, masyarakat tidak punya ”kemewahan” untuk tidak bekerja.
Akhirnya, untuk merespons guncangan krisis ekonomi, pasar kerja di negara berkembang pun mengalami penyesuaian melalui realokasi dari satu sektor lapangan kerja ke sektor lainnya, atau seperti yang lebih banyak terjadi, dari status pekerjaan formal ke informal.
Riset yang sama mencatat, meskipun pengangguran di banyak negara ASEAN mulai menurun sejak akhir tahun 2020, sebagai gantinya, pekerja lebih banyak terserap di pekerjaan informal, seperti membuka usaha sendiri (own-account workers) dan bekerja untuk keluarga tanpa dibayar (unpaid family work).
Bekerja, tetapi miskin
Selain pergeseran dari struktur kerja formal ke informal, laporan World Employment and Social Outlook 2022 oleh Organisasi Buruh Dunia (ILO) pada Januari 2022 menyoroti bentuk realokasi tenaga kerja yang lain, yakni dari pekerja tetap menjadi kontrak. Selama krisis, untuk melakukan efisiensi dan menghindari PHK, pekerjaan berstatus kontrak marak bermunculan dan trennya diperkirakan berlanjut pascapandemi.
Di Indonesia, ekses pandemi ini diperburuk dengan regulasi pasar kerja yang lebih fleksibel di bawah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di beberapa sektor, marak terjadi praktik pemutihan kerja dari pekerja tetap menjadi kontrak, bahkan dari pekerja tetap dan kontrak menjadi alihdaya (outsource) dan magang. Sifat kerja yang fleksibel (easy hire easy fire) itu berdampak buruk pada kepastian, perlindungan, dan produktivitas kerja.
Pekerja dengan status setengah pengangguran juga meningkat. Mereka adalah pekerja yang jam kerjanya di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam per minggu) dan masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan lain.
Sepanjang Agustus 2019-2021, tingkat setengah pengangguran bertambah signifikan dari 6,43 persen menjadi 8,71 persen. Alih status ke pekerja kontrak serta pengurangan jam kerja itu berdampak pada penurunan upah dan berkontribusi pada semakin banyaknya jumlah pekerja miskin (working poor) di Indonesia, atau orang-orang yang hidupnya tidak sejahtera meskipun memiliki pekerjaan.
Hal itu tampak dari banyaknya provinsi dengan angka pengangguran rendah dan tingkat kemiskinan tinggi. Mengacu pada data BPS, per September 2021, sebagian besar daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi nasional justru memiliki pengangguran rendah, antara lain Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Papua, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah. Dengan kata lain, sekadar memiliki pekerjaan tidak menjamin seseorang lepas dari kemiskinan.
Untuk mencegah dampak panjang pandemi di sektor ketenagakerjaan, perlu ada perbaikan dari sisi permintaan (demand) dan penawaran (supply) pasar kerja secara seimbang. Pendekatan yang hanya fokus pada sisi supply, seperti peningkatan kapasitas atau keterampilan tenaga kerja, tidak akan efektif tanpa diiringi strategi investasi berkualitas serta penciptaan lapangan kerja formal yang layak.
Demikian pula sebaliknya, dari sisi demand, kompetensi tenaga kerja perlu didorong melalui pendidikan dan pelatihan kerja yang terstruktur dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Berbagai regulasi yang mendorong fleksibilitas dan ketidakpastian kerja tanpa perlindungan memadai juga harus ditinjau ulang agar tidak semakin memperkeruh disrupsi pasar kerja dan menggerus kesejahteraan pekerja.
Upaya pemulihan kondisi ketenagakerjaan akan menghadapi tantangan kompleks. Ketidakpastian kondisi ekonomi global akibat ekses pandemi dan ketegangan geopolitik akhir-akhir ini berpotensi mengganggu pemulihan sektor swasta, menghambat investasi, serta penciptaan lapangan kerja baru. Pemulihan sektor ketenagakerjaan tampaknya masih akan menghadapi jalan berliku dan panjang.