Pandemi Covid-19 menyebabkan agen asuransi kesulitan memasarkan produk asuransi secara tatap muka. Adaptasi teknologi asuransi atau ”insurance technology” jadi solusi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah agen asuransi jiwa dan pendapatan premi dari jalur keagenan cenderung berkurang. Hal ini dipicu oleh menurunnya aktivitas pemasaran tatap muka selama pandemi Covid-19 dan kian berkembangnya penggunaan aplikasi layanan asuransi digital atau insurance technology.
Mengutip data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jumlah agen asuransi berlisensi di seluruh Indonesia hingga akhir 2021 sekitar 574.000 orang, menurun 5,5 persen dibandingkan dengan 2020 yang sebanyak 607.000 orang.
Berkurangnya jumlah agen berdampak pada menurunnya pendapatan premi dari jalur keagenan. Pada 2021, pendapatan premi industri asuransi jiwa dari agen sebesar Rp 58,8 triliun, menurun 9,7 persen dibandingkan dengan 2020 yang sebesar Rp 65,11 triliun.
Porsi pendapatan premi dari jalur keagenan terhadap total pendapatan premi asuransi jiwa pada 2021 sekitar 29 persen. Adapun porsi terbesar disumbangkan oleh saluran pemasaran asuransi melalui perbankan atau bancassurance sebesar 48,1 persen.
Duta Perhimpunan Agen Asuransi Indonesia (PAAI) Deddy Karyanto mengakui, selama pandemi, jumlah agen memang berkurang lantaran kesulitan memasarkan produk asuransi secara tatap muka. Selain itu, tekanan ekonomi, khususnya beberapa bulan pada awal pandemi, membuat para agen kesulitan mencari nasabah. Kesulitan yang berdampak pada minimnya pendapatan komisi ini membuat sebagian agen berhenti mencari nasabah baru.
”Saat pandemi, khususnya pada periode awal, banyak agen yang betul-betul berhenti beraktivitas. Kami dihadapkan berbagai kebingungan dan tantangan, seperti bagaimana strategi memasarkan asuransi yang bisa aman dan nyaman, baik untuk agen asuransi maupun nasabahnya, tanpa tatap muka,” ujar Deddy pada acara temu media bertajuk ”Asuransi sebagai Antisipasi Risiko Finansial” di Jakarta, Senin (14/3/2022).
Namun, perlahan-lahan, para agen mencoba bangkit untuk mendapatkan nasabah baru. Beruntung, pandemi menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mencari proteksi keuangan melalui produk asuransi. Para agen pun mencoba menjelaskan edukasi dan pemasaran produk asuransi melalui perantaraan telepon video atau pertemuan virtual.
Pendiri PAAI Wong Sandy Surya menjelaskan, pihaknya mengapresiasi langkah cepat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada masa awal pandemi yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2020 tentang saluran pemasaran produk asuransi. Melalui surat edaran itu, OJK mengizinkan pemasaran asuransi dengan metode tanpa tatap muka.
Sandy juga mengapresiasi sejumlah perusahaan asuransi jiwa yang mengembangkan aplikasi layanan asuransi digital atau insurance technology (insurtech). Dengan demikian, calon nasabah bisa mengakses informasi produk asuransi secara cepat dan mudah. Aplikasi insurtech juga membantu pembuatan polis dan pengurusan klaim secara daring tanpa tatap muka.
”Adaptasi dengan teknologi dan insurtech ini sangat membantu sekali di masa-masa pandemi. Nasabah pun senang dan dimudahkan,” ujar Sandy.
Kendati demikian, menurut Sandy, masih banyak masyarakat Indonesia yang memerlukan sentuhan personal dalam berasuransi. Dengan penjelasan para agen, masyarakat menjadi lebih yakin dan percaya untuk berasuransi.
”Memang di sinilah seninya, bagaimana agen bisa mengombinasikan upaya pemasaran, baik secara daring maupun tatap muka. Sentuhan personal tetap diinginkan nasabah,” ujar Sandy.
Literasi dan inklusi
Perencana keuangan dan praktisi asuransi Bonita Larope menjelaskan, potensi penetrasi asuransi di Indonesia sangat besar mengingat masih sangat banyak penduduk yang belum memiliki asuransi. Berdasarkan data AAJI, hingga akhir 2021, ada sekitar 65,56 juta penduduk Indonesia yang menjadi tertanggung atau dilindungi asuransi. Jumlah tersebut baru 24,07 persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 270 juta orang.
Bonita menambahkan, masih banyak masyarakat yang belum memikirkan pentingnya proteksi. Padahal, penyakit dan kematian bisa datang secara mendadak.
Menurut dia, seharusnya orang mengasuransikan kendaraan sebelum terjadinya kecelakaan atau pencurian, mengasuransikan rumah sebelum terjadinya kebakaran, dan mengasuransikan diri sebelum dirawat di rumah sakit atau terkena penyakit kronis.
”Apabila kita peduli terhadap keluarga dan orang yang kita kasihi, kita akan memutuskan untuk memiliki proteksi dari sekarang. Jangan biarkan keluarga terhantam bencana keuangan karena harus menanggung biaya yang sangat besar,” ujar Bonita.
Masih minimnya jumlah masyarakat yang berasuransi sejalan dengan masih rendahnya literasi dan inklusi masyarakat soal produk asuransi. Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019, tingkat literasi keuangan produk asuransi baru mencapai 19,4 persen. Artinya, masih ada 80,6 persen penduduk Indonesia yang belum memahami produk asuransi.
Bonita menambahkan, selama pandemi, asuransi bisa membantu dan memberikan proteksi keuangan kepada nasabah. AAJI mencatat total klaim manfaat Covid-19 selama periode Maret 2020 hingga Desember 2021 mencapai Rp 8,82 triliun.
”Klaim manfaat itu tentu digunakan untuk meringankan beban keluarga Indonesia, terutama meningkatkan ketahanan ekonomi keluarga pada masa sulit,” ujar Bonita.
Adapun total klaim industri asuransi jiwa pada 2021 mencapai Rp 159,43 triliun atau bertumbuh 5,5 persen dari 2020 yang sebesar Rp 151,12 triliun. Total klaim meninggal dunia tahun 2021 meningkat sebesar 72,8 persen dengan total Rp 21,14 triliun, sementara manfaat klaim kesehatan meningkat sebesar 32 persen dengan total Rp 13,04 triliun.
”Kenaikan klaim ini juga mengindikasikan meningkatnya komitmen perusahaan asuransi untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah,” ujar Bonita.