Perjanjian Dagang Indonesia-Bangladesh Ancam Industri Tekstil Kecil
Pelaku industri tekstil meminta pemerintah melindungi industri lokal dalam perundingan perjanjian dagang antara Indonesia dan Bangladesh atau IB-PTA. Impor garmen yang terbuka bebas dapat mengganggu pemulihan sektor TPT
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Industri tekstil yang baru mulai bangkit kembali terancam dengan perundingan perjanjian dagang Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement atau IB-PTA yang rencananya akan diteken tahun ini. Impor pakaian dari Bangladesh yang dibuka lebih bebas dapat menekan pemulihan industri tekstil lokal yang mayoritas berskala kecil-menengah dan bersifat padat karya.
Asosiasi tekstil dari sektor hulu ke hilir pun meminta pemerintah untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lokal dalam proses perundingan perjanjian dagang antara Indonesia dan Bangladesh atau Indonesia-Bangladesh Preferential Trade Agreement (IB-PTA).
Kementerian Perindustrian mencatat, Bangladesh merupakan eksportir pakaian jadi kedua terbesar di dunia setelah China dengan nilai ekspor senilai 36,13 miliar dollar AS per tahun 2021. Sebagai perbandingan, nilai ekspor pakaian jadi Indonesia per tahun 2021 hanya 6,98 miliar dollar AS.
Dari tahun 2016-2020, Bangladesh juga tercatat sebagai negara pengimpor pakaian jadi kedua terbesar ke Indonesia setelah China. Per 2020, nilai impor garmen dari Bangladesh senilai 52,12 juta dollar AS.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, jika pemerintah menyanggupi poin-poin permintaan dari Bangladesh dalam perjanjian IB-PTA yang saat ini sedang dirundingkan kedua negara, impor pakaian jadi dari Bangladesh terbuka semakin lebar dan itu akan berdampak pada seluruh rantai industri.
Dalam negosiasi IB-PTA, Bangladesh mengajukan permintaan untuk membebaskan 220 pos tarif produk tekstil, kulit dan alas kaki, dengan 133 di antaranya untuk pos tarif barang berkode HS 61 dan HS 62 atau produk pakaian jadi.
“Dari hulu sampai hilir akan terdampak. Di hulu memang banyak perusahaan besar, tetapi ujung tombak yang nanti akan paling banyak terkena serangan langsung impor garmen dari Bangladesh itu industri-industri kecil yang ada di hilir,” katanya dalam konferensi pers gabungan asosiasi tekstil menyikapi perjanjian IB-PTA, Selasa (8/3/2022).
Terlebih, persetujuan impor garmen dari Bangladesh itu ditengarai dilakukan sebagai “tukar guling” kemudahan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia ke Bangladesh. Hal itu dinilai tidak adil dan hanya akan menguntungkan perusahaan CPO yang berskala besar dibandingkan sektor tekstil yang didominasi oleh industri kecil-menengah (IKM).
“Kami melihat ada tekanan agar merelakan impor pakaian ini dibuka untuk Bangladesh. Kami tidak mau kalau disuruh harus berkorban demi ekspor CPO. Jangan sampai industri kecil dikorbankan demi segelintir kelompok saja,” katanya.
Merusak pasar
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman khawatir IB-PTA akan merusak kembali pasar domestik IKM garmen, yang saat ini mulai membaik setelah pandemi melandai dan kebijakan tindakan pengamanan (safeguard) impor produk tekstil dimulai sejak akhir tahun 2021 lalu. Bangladesh tidak termasuk di antara negara-negara yang dikenakan safeguard itu.
Tahun 2020 lalu, ketika pandemi pertama kali muncul, 40 persen industri konveksi rumahan terpaksa gulung tikar. Sekarang, menurut Nandi, industri konveksi sudah bisa sedikit bernapas, meski belum pulih normal. Industri butuh waktu dan ruang untuk pulih terlebih dahulu agar bisa bersaing dengan produk dari negara lain.
“Kami tidak anti-impor. Kalau betul-betul dibantu pemerintah, saya yakin kami bisa bersaing dengan negara lain. Tetapi kalau situasinya seperti ini, baru mau pulih dari pandemi dan impor mau dibuka lagi, satu per satu bisa kembali tutup seperti waktu awal pandemi,” katanya.
Kami tidak anti-impor. Kalau betul-betul dibantu pemerintah, kami bisa bersaing dengan negara lain. Tetapi kalau situasinya seperti ini, baru mau pulih dari pandemi dan impor mau dibuka lagi, satu per satu bisa kembali tutup.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi mengatakan, perjanjian dagang seharusnya menguntungkan industri dalam negeri. Apalagi, industri dalam negeri yang bersifat padat karya adalah penyedia lapangan kerja dan penggerak utama ekonomi nasional.
"Kami memohon kepada pemerintah dan tim perunding agar mengingat dampak sektoral yang akan muncul dari ditekennya perjanjian dagang dengan negara lain. Kalau perundingannya tidak mutual benefit, yang rugi Indonesia," kata David.
Berhati-hati
Saat dihubungi, Direktur Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan, pemerintah dapat memahami kekhawatiran pelaku industri tekstil dan akan lebih berhati-hati dalam bernegosiasi dengan Bangladesh.
“Kalau garmen Bangladesh masuk dengan mudah melalui IB-PTA, tentu yang paling terdampak industri garmen dengan pasar lokal, yaitu para IKM. Harus ada kepentingan nasional yang kita perhatikan serta bagaimana dampaknya terhadap tenaga kerja yang kemungkinan kehilangan pekerjaan jika produk tekstil dan garmen Bangladesh masuk dengan mudah,” katanya.
Kemenperin bersama dengan asosiasi TPT sudah melakukan kajian terhadap 220 pos tarif yang diminta oleh Bangladesh dan menyetujui 34 pos tarif di antaranya. Hal ini juga sudah dikomunikasikan dengan Kementerian Perdagangan sebagai leading sector negosiasi perjanjian IB-PTA.
“Sudah kami komunikasikan dengan Kemendag. Di luar 34 HS tersebut merupakan produk yang diproduksi di dalam negeri. Kita harus hati-hati karena Bangladesh kompetitor kita di sektor tekstil garmen dan alas kaki,” ujar Elis.