Selain kesadaran tata kelola data akurat dan integratif, upaya memajukan sistem informasi desa membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan intens menangani sistem tersebut.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya memajukan sistem informasi desa membutuhkan kesadaran tata kelola data yang akurat dan integratif. Kesadaran ini mesti diikuti dengan pendampingan dan pembagian peran yang jelas untuk mengurus sistem informasi desa.
Wakil Ketua Perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (Hidora) Bachtiar Djanan Machmoed, saat dihubungi Sabtu (26/2/2022), di Jakarta, menceritakan, berdasarkan pengalamannya mendampingi pengembangan beberapa desa wisata, masyarakat desa sudah melek internet. Akan tetapi, penggunaan internet cenderung lebih banyak untuk konsumsi informasi, belum banyak desa bergerak sampai punya tata kelola data yang mumpuni.
Contoh desa yang sudah bergerak untuk mempunyai sistem informasi desa yang bagus adalah Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam laman resmi desa tersebut, yakni https://desanglanggeran.gunungkidulkab.go.id/first tersaji transparansi jumlah pengunjung dan tiket masuk ke Desa Wisata Nglanggeran.
“Tata kelola data (data base) di Indonesia masih menjadi persoalan. Masih ada kecenderungan sama di kebanyakan desa, walaupun masyarakatnya sudah mulai sadar. Mungkin beberapa desa wisata yang maju telah memiliki tata kelola data yang sudah bagus, seperti tergambar dari laman yang diisi dengan aneka informasi akurat seputar desa hingga produk-produk yang dibutuhkan wisatawan,” ujar Bachtiar.
Bachtiar menambhakan, kalaupun pemerintah mendorong agar desa-desa mengembangkan secara optimal sistem informasi desa, masyarakat desa mesti mendapat pendampingan. Perguruan tinggi bisa ambil bagian dalam pendampingan ini. “Dalam konteks desa wisata, pengembangan sistem informasi desa bukan hanya menyangkut profil desa, melainkan juga konten produk yang akan dijual ke calon wisatawan, seperti paket wisata. Saat pendampingan di Sumatera Utara, kami mengajak perguruan tinggi ikut mendampingi,” ujarnya.
Saat dihubungi terpisah, praktisi sistem informasi desa Imung Yuniardi berpendapat, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data, integrasi data yang dari desa merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya perlu mengeluarkan protokol data. Perpres No 39/2019 juga telah mengatur tentang interoperabilitas, yakni data bisa dibagi-pakaikan antarsistem.
Akan tetapi, sampai sekarang, lanjut Imung, masih ada beberapa persoalan dalam memajukan sistem informasi desa. Misalnya, pola pikir yang selalu fokus pada aplikasi. Kecenderungan pola pikir ini menyebabkan integrasi data, siklus pembaruan data, dan validasi data dari desa hingga ke tingkatan lebih tinggi susah terwujud.
“Jadi, data yang akurat di desa tidak berarti banyak kalau tidak terintegrasi di level pemerintah daerah lebih tinggi. Sebab, perencanaan pembangunan desa, apapun bentuk programnya, mesti menyambung ke pemerintah daerah lebih tinggi,” ucap Imung.
Data yang akurat di desa tidak berarti banyak kalau tidak terintegrasi di level pemerintah daerah lebih tinggi.
Mengenai sumber daya manusia untuk mengelola sistem informasi desa, Imung menilai hal itu tergantung kondisi desa. Dia lantas menceritakan pengalamannya mengunjungi Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar staf aparat desa di sana adalah generasi muda. Mereka memiliki kemampuan dasar di teknologi informasi. Namun, mereka cenderung dibebani banyak penugasan sehingga tidak fokus mengurus tata kelola data/sistem informasi desa.
Permasalahan lainnya adalah minimnya pembagian peran pendampingan oleh dinas. Setiap tahun semestinya ada pelatihan dan pendampingan tata kelola data/sistem informasi desa di desa. Dinas Komunikasi dan Informatika, misalnya, berperan memberikan pelatihan, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa berperan membiayai pelatihan tersebut.
“Hal lain yang lebih mendesak yaitu kepegawaian untuk mengurus sistem informasi desa. Misalnya, siapa yang semestinya secara khusus mengurusi,” imbuh Imung.
Pembangunan desa
Sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar dalam peluncuran Lomba Promosi Desa Wisata Nusantara, Jumat (25/2), di Jakarta, mengatakan, desa penting memiliki tata kelola data yang akurat. Menurut dia, dengan cara itu, pemerintah desa ataupun level pemerintahan yang lebih tinggi dapat mengetahui permasalahan sosial dan ekonomi warga.
“Kami ingin program-program pembangunan tertata dalam sebuah sistem. Data-data dari desa harus menjadi acuan baik saat perencanaan maupun evaluasi. Data desa yang dimaksud juga mencakup budaya, seperti bahasa,” kata Abdul Halim.
Abdul Halim juga menyebut proses pemulihan ekonomi yang paling tepat adalah wisata. Desa wisata jadi peluang. Promosinya mesti menggunakan teknologi digital, seperti media sosial dan aplikasi milik desa wisata bersangkutan. “Jadi, bukan hanya aplikasi agen perjalanan atau online travel agent. Desa wisata juga mesti punya untuk mendukung produk-produk wisata mereka,” ujarnya.